Jumat, 31 Maret 2017
MAKALAH TINDAK TUTUR ASERTIF GURU PASCASARJANA UNISMUH MAKASSAR
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada prinsipnya sebagai makhluk sosial, antara individu yang satu dengan yang lainnya pasti membutuhkan kerjasama. Ketergantungan manusia satu dengan yang lain merupakan suatu gejala yang wajar dalam kehidupan. Dalam hubungan tersebut, komunikasi merupakan salah satu komponen yang penting. Corak komunikasi akan banyak ditentukan oleh latar belakang orang yang berkomunikasi, seperti kebiasaan dan kepribadian. Agar komunikasi berlangsung secara efektif seseorang perlu memiliki kemampuan tindak tutur asertif.
Hubungan interpersonal perilaku seseorang terhadap orang lain dapat terjadi melalui tindak tutur asertif (Depdiknas, 2008). Asertif berasal dari bahasa inggris yaitu ascertain yang berarti menentukan, menetapkan. Joseph Wolpe (Festerhem and Bear, 1995:22) mendefenisikan perilaku asertif sebagai perilaku individu yang penuh keyakinan diri. Berdasarkan pengertian diatas dapat diartikan bahwa asetif adalah perilaku yang merupakan pengungkapan perasaan, minat, pikiran, kebutuhan, pendapat yang dilakukan secara bijaksana, adil, serta penuh keyakinan diri, tepat dan tegas, bertanggung jawab serta tetap memperhatikan penghargaan atas kesetaraan dan hak orang lain. Sikap tegas artinya menuntut hak pribadi dan menyatakan pikiran,perasaan dan keyakinan dengan cara langsung, jujur dan tepat dan bertanggung jawab. Tindak asertif membuat seseorang menjadi lebih percaya diri dan merasa berharga, memiliki konsep diri yang tepat dalam kehidupan sehari-hari, serta memperoleh hubungan yang adil dengan orang lain dan orang lain akan memberi respon yang positif terhadapnya.
Penjabaran di atas, memberikan gambaran secara umum mengenai pentingnya tindak tutur asertif dalam berkomunikasi. Asertif dapat berimplikasi secara positif maupun negatif jika sesorang tidak mengetahuinya maksud tindak tuturannya. Mengenali asertif sebagai satu disiplin ilmu akan mampu menambah kesantunan berbahasa. Oleh sebab itu, maka makalah ini berisi penjabaran secara spesifik mengenai tindak tutur asertif sebagai referensi praktis bagi guru dalam berinteraksi di lingkungan sekolah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu:
1. Bagaimanakah tindak tutur asertif guru di sekolah?
2. Apakah yang dimaksud perilaku asertif?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu
1. Untuk mendeskripsikan tindak tutur asertif guru di sekolah?
2. Untuk mengetahui hakikat perilaku asertif?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tindak Tutur Asertif Guru
Pada ilokusi ini penutur terikat pada kebenaran proposisi yang diungkapkan, misalnya, menyatakan, mengusulkan, membual, mengeluh, mengemukakan pendapat, melaporkan. Dari segi sopan santun ilokusi ilokusi ini cenderung netral. Tetapi ada perkecualian misalnya, membual biasanya dianggap tidak sopan. Dari segi semantik ilokusi asertif bersifat proposisional.
Tindak tutur asertif adalah ketika seseorang dengan tegas dan positif mengekspresikan diri. Keterusteranganlah yang disebut dengan Tindak tutur Asertif.
“ Saya saat ini membutuhkan buku uang yang Anda pinjam dua minggu yang lalu”. Bukan dengan berkata,” Anda koq pura-pura lupa ya untuk mengembalikan buku atau uang yang saya pinjam?”.
Sebab ada dua perbedaan yang sangat besar dalam kalimat di atas, yang asertif mengakatan “Saya saat ini membutuhkan……Jadi ada maksud menyampaikan atau mengekspresikan kebutuhan. Kalau kalimat yang kedua, “Anda koq……” berarti ada pernyataan menuduh atau menyerang seseorang. Kalimat kedua ini disebut dengan kalimat asertif.
Contoh yang lain misalnya,
“Anda disodori kopi oleh seseorang ternyata rasanya tidak sesuai dengan selera Anda, katakanlah kemanisan. Kalu Anda diam dan pura-pura tidak ada apa-apa, berarti Anda memilih bertindak tutur secara pasif. Selanjutnya Anda mungkin kapok meminum kopi buatannya. Atau Anda berkata, “Ah kopi yang kamu buat terlalu manis, saya tidak suka”.
Kalimat di atas netral, tapi termasuk kategori yang agresif. Dampaknya dia akan kapok membuat kopi untuk Anda. Kalimat yang paling asertif adalah : “Saya sebenarnya lebih suka kopi yang tidak terlalu manis”. Dia akan berfikir bahwa dia tidak salah, hanya lidah Anda saja yang kurang pas. Dia senang, dan lain waktu dia kan berkata “saya akan bikin kopi, maunya gula seberapa banyak”. Nah hasil tindak tutur asertif ini akan membuat hubungan lebih baik. Yang membuat hubungan putus adalah ketika dengan diam-diam menjauhi orang lain karena tidak setuju, dan tidak mau berterus terang, atau ketika sering menyerang orang lain, dan kapok bertindak tutur. Jadi kunci pertama untuk bertindak tutur asertif adalah “I Message” Sampaikan perasaan, pikiran atau opini yang dipikirkan. Tidak ada satu kekuatan pun di dunia ini yang dapat menghambat seseorag untuk tindak tuturkan diri
Asertifs adalah suatu kemampuan untuk tindak tutur apa yang diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan kepada orang lain namun dengan tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan pihak lain. Dalam bersikap asertif, seseorang dituntut untuk jujur terhadap dirinya dan jujur pula dalam mengekspresikan perasaan, pendapat dan kebutuhan secara proporsional, tanpa ada maksud untuk memanipulasi, memanfaatkan ataupun merugikan pihak lainnya (Pratanti, 2007).
Menurut Pratanti (2007) Seorang yang asertif memiliki kriteria:
1. Merasa bebas untuk mengekspresikan perasaan, pikiran dan keinginan.
2. Mengetahui hak mereka.
3. Mampu mengontrol kemarahan. Tidak berarti me-repress perasaan ini, akan tetapi mengontrol dan membicarakannya kembali dengan logis dan tidak dilandasi emosi semata.
Guru merupakan salah satu elemen pendidikan yang mempunyai peran penting. Bahasa sebagai medium komunikasi guru kepada siswa sangatlah vital. Pesan mendidik ataupun mengajar akan tersampaikan dengan baik jika tindak tutur yang digunakan oleh seorang guru sifatnya baik. Jika diidentifikasi, maka hampir semua jenis tindak tutur digunakan oleh guru begitupun dengan tindak tutur asertif.
Dari hasil pengamatan yang dilakukan di SD 179 Tanahberu, diidentifikasi beberapa tindak tutur asertif yang sering kali di ucapkan oleh guru kepada siswanya dalam berbagai konteks dan tujuan yaitu:
1. Menyatakan
Tindak tutur asertif menyatakan merupakan tindak tutur yang memuat maksud menyatakan atau mempertegas sesuatu yang sifatnya benar atau salah. Misalnya pada tuturan berikut:
Ibu guru memarahi Ali karena telah memukul temannya sehingga temannya menderita kesakitan. Ibu guru mengatakan “kamu ini nakal sekali, tidak punya aturan, apakah kamu mau di hukum?”
Kalimat tersebut di atas berada pada konteks guru yang memarahi siswanya karena perilakunya. Tuturan tersebut begitu tegas dan langsung untuk menyatakan bahwa Ali telah bersalah karena memukul temannya. Kalimat ini mengandung nada yang begitu emosi, meskipun maksudnya benar dan tetap sasaran tapi kamimat tersebut bisa berdampak buruk terhadap psikologi siswa yang dikenai hukuman. Bentuk justifikasi guru seperti nakal bodoh dan sebagainya akan terafirmasi pada diri seorang anak yang belajar menemukan dirinya.
Dalam kasus yang lain, tindak tutur asertif sangat sering dijumpai dalam proses belajar mengajar ketika guru memberikan pertanyaan kepada siswanya dan siswanya tidak mampu menjawab maka guru seringkali mengatakan asertif:
“Kamu ini bodoh, kenapa tidak belajar di rumah”
“Ani memang pintar, kamu layak untuk di contoh”
Pernyataan-pernyataan seperti di atas sangat baik, tapi justifikasi biasanya menimbulkan gap antara yang siswa yang memilki kemapuan lebih dengan yang kurang. Seharusnya guri lebih pandai menggunakan bahasa dalam menyatakan pendapatnya kepada siswa secara halus atau dalam bentuk motivasi.
2. Mengusulkan
Tindak tutur aseertif mengusulkan adalah tindak tutur guru yang diasosiasikan ketika guru ingin memberi masukan kepada rekan kerjanya atau dalam mendesain keberlangsungan pendidikan di sebuah sekolah. Tindak tutur ini sering kali didengar dalam rapat-rapat di sekolah. Tindak tutur asertfi merupakan tindak tutur yang sifatnya solusi terhadap permasalahan yang diperbincangkan.
A: Siswa kita sekarang khususnya, siswa IPS banyak yang sering bolos.
B : Kalau begitu pak, baiknya kita lakukan saja patroli guru di tempat-tempat yang sering siswa datangi ketika bolos sekolah.
Tuturan pertama merupakan penuturan yang mengandung permasalahan yaitu bolos. Tuturan B merupakan tindak tutur asertif yang memberikan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi disekolah tersebut berupa pengadaaan patroli guru. Dalam menggunakan tindak tutur asertif mengusulkan hendaknya guru memperhatikan nilai etika dan kesantunan berbahasa sehingga usulan yang diberikan dapat diterima dan tidak menyinggung perasaaan.
Misalnya:
A: Patroli guru merupakan solusi untuk mengatasi siswa yang suka bolos.
B : Saya tidak sependapat dengan anda, karena patroli guru menurut saya tidak efektif dilaksanakana.
Tuturan di atas merupakan perdepatan solusi dengan maksud menguslkan pendapat masing-masing. Akan tetapi, tuturan B dinilai kurang etis karena tidak mengindahkan nilai toleransi dalam berpendapat. Tuturan tidak sependapat bermakna negatif karena akan memancing perdebatan yang melibatkan emosi.
Tindak tutur asertif mengusulkan biasa pada hakikatnya sama dengan asertif mengusulkan pendapat. Keduanya bermaksud menyampaikan masukan ataupun argument terhada suatu permasalahan yang dihadapi. Tidak tutur inilah yang paling sering dijumpai dalam interaksi guru di sekolah baik dengan rekan seprofesinya ataupun dengan siswanya.
3. Mengeluh
Tindak tutur asertif mengeluh merupakan tindak tutur yang bersifat psikis. Tindak tutur ini akan diucapkan oleh seorang guru ketika lelah menghadapi menghadapi siswa yang memilki perilaku negatif. Tindak tutur ini mengandung keterusterangan jiwa yang dialami oleh penutur. Misalnya:
“Saya sudah sangat capek mendidik kamu, tapi perilakumu tidak pernah berubah, tetap saja nakal”
Jelas sekali bahwa tuturan tersebut mengandung unsur psikis mengeluh. Guru sepertinya sudah kehilangan kesabaran dalam mendidik siswanya. Biasanya, tindak tutur seperti ini akan berujung hukuman kepada siswa dalam bentuk fisik karena emosi dalam tuturan tersebut biasanya menjadi klimaks. Jadi, seorang guru hendaknya memilki kesabaran tinggi dalam mendidik siswa. Selain itu tuturan ini sering kali digunakan guru untuk berbagi cerita dengan teman gurunya dalam situasi formal (rapat) atau tidak formal (dalam bentuk curahan hati) dalam mendidik.
4. Melaporkan
Tindak tutur aseertif melaporkan sering kali digunakan dalam pertemua-pertemuan formal seperti rapat evaluasi di sekolah. Tujuannya untuk mengetahui keberhasilan ataupun permasalahan terkait dengan proses berlangsungnya pendidikan di sekolah. Ada dua bentuk asertif melaporkan dalam hal ini ditinjau dari segi penyampaiannya yaitu:
1. Ada guru yang ketika melaporkan sifatnya general dan tidak menyebut pelaku.
2. Ada guru yang ketika melaporkan sesuatu secara terang-terangan.
Perbedaaan keduanya dapat dicermati pada tuturan berikut:
A : Siswa-siawa kita ada yang nakal ada juga yang tidak. Tapi saya kira semuanya dapat diatasi jika kita para guru bisa menjadi sahabat siswa kita
B : Anto dan kawan-kawannya memang nakal pak, harus di hukum kalau perlu di keluarkan saja dari sekolah ini.
Tuturan di atas sama-sama melaporkan permasalahan tapi penyampaiannya yang berbeda. Tuturan pertama lebih solutif terhadap permasalahan, ada keinginan untuk menyelesaikan secara bersama melalu metode yang baik sehingga tidak merugikan siswa. Sedangkan tuturan kedua bersifat emosional dan tidak terkendali.
B. Perilaku Asertif Menurut Beberapa Ahli dalam Pragmatik
1. Menurut Pratanti (2007) sikap atau pun perilaku agresif cenderung akan merugikan pihak lain karena seringkali bentuknya seperti mempersalahkan, mempermalukan, menyerang (secara verbal ataupun fisik), marah-marah, menuntut, mengancam, sarkase (misalnya kritikan dan komentar yang tidak enak didengar), sindiran ataupun sengaja menyebarkan gosip.
2. Menurut Lazarus (Fensterheim, l980) dalam Iriani (2009) perilaku asertif mengandung suatu tingkah laku yang penuh ketegasan yang timbul karena adanya kebebasan emosi dan keadaan efektif yang mendukung yang antara lain meliputi :
a. menyatakan hak-hak pribadi.
b. berbuat sesuatu untuk mendapatkan hak tersebut.
c. melakukan hal tersebut sebagai usaha untuk mencapai kebebasan emosi.
Seseorang dikatakan bersikap tidak asertif, jika gagal mengekspresikan perasaan, pikiran dan pandangan/keyakinan; atau jika orang tersebut mengekspresikannya sedemikian rupa hingga orang lain malah memberikan respon yang tidak dikehendaki atau negatif (Pratanti, 2009). Perilaku asertif merupakan terjemahan dari istilah assertiveness atau assertion, yang artinya titik tengah antara perilaku non asertif dan perilaku agresif. Orang yang memiliki tingkah laku atau perilaku asertif orang yang berpendapat dari orientasi dari dalam, yaitu :
a. Memiliki kepercayan diri yang baik.
b. Dapat mengungkapkan pendapat dan ekspresi yang sebenarnya tanpa rasa takut.
c. Bertindak tutur dengan orang lain secara lancar.
Sebaliknya orang yang kurang asertif adalah mereka yang memiliki ciri - ciri a). terlalu mudah mengalah/ lemah, b). mudah tersinggung, cemas, c). kurang yakin pada diri sendiri, d). sukar mengadakan tindak tutur dengan orang lain. Menurut Sukaji (1983) dalam Fitri (2009) perilaku asertif adalah perilaku seseorang dalam hubungan antar pribadi yang menyangkut ekspresi emosi yang tepat, jujur, relatif terus terang, dan tanpa perasaan cemas terhadap orang lain. Perilaku asertif merupakan perilaku sesorang dalam mempertahankan hak pribadi serta mampu mengekspresikan pikiran, perasaan, dan keyakinan secara langsung dan jujur dengan cara yang tepat. Perilaku asertif sebagai perilaku antar pribadi yang bersifat jujur dan terus terang dalam mengekspresikan pikiran dan perasaan dengan mempertimbangkan pikiran dan kesejahteraan orang lain.
Orang yang memiliki tingkah laku asertif adalah mereka yang menilai bahwa oraang boleh berpendapat dengan orientasi dari dalam, dengan tetap memperhatikan sungguh-sungguh hak-hak orang lain. Mereka umumnya memiliki kepercayaan diri yang kuat. Menurut Rathus (l986) orang yang asertif adalah orang yang mengekspresikan perasaan dengan sungguh-sungguh, menyatakan tentang kebenaran. Mereka tidak menghina, mengancam ataupun meremehkan orang lain. Orang asertif mampu menyatakan perasaan dan pikirannya dengan tepat dan jujur tanpa memaksakannya kepada orang lain (Iriani, 2009).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hubungan interpersonal perilaku seseorang terhadap orang lain dapat terjadi melalui tindak tutur asertif. Asertif hakikatnya adalah tuturan adalah perilaku yang merupakan pengungkapan perasaan, minat, pikiran, kebutuhan, pendapat yang dilakukan secara bijaksana, adil, serta penuh keyakinan diri, tepat dan tegas, bertanggung jawab serta tetap memperhatikan penghargaan atas kesetaraan dan hak orang lain. Sikap tegas artinya menuntut hak pribadi dan menyatakan pikiran,perasaan dan keyakinan dengan cara langsung, jujur dan tepat dan bertanggung jawab. Tindak asertif membuat seseorang menjadi lebih percaya diri dan merasa berharga, memiliki konsep diri yang tepat dalam kehidupan sehari-hari, serta memperoleh hubungan yang adil dengan orang lain dan orang lain akan memberi respon yang positif terhadapnya.
B. Saran
Para siswa dapat diajak memahami konteks pemakaian bahasa, melalui tindak tutur asertif. Selain itu, para siswa juga dapat diajak untuk mengenali fungsi-fungsi tuturan (ilokusi dan perlokusi) yang terkandung dalam percakapan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Eneste, Pamusuk. 1987. H.B. Jassin: Paus Sastra Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Hirsch Jr, E.D. 1979. Validity in Interpretation. New Haven dan London: Yale University Press.
Moody, H.L.B. 1971. The Teaching of Literature. London: Longman
Nurgiyantoro, Burhan. 2001. Penilaian dalam PembelajaranBahasa dan Sastra .Yogyakarta: BPFE
Pinontoan, Aaltje Tallei (Penyunting). 2002. Antologi Pembelajaran sastra. Bahan Perkuliahan pada Mata Kuliah Pembelajaran sastra PPs S-2 UNIMA.
Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: CV. Diponegoro
Semi, M. Atar. 1993. Rancangan PembelajaranBahasa dan Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa.
Sumardjo, Jakob. 1995. Sastra dan Massa. Bandung: ITB
Tarigan, H.G. 1995. Dasar- dasar Psikosastra. Bandung: Angkasa.
Resensi Buku Filsafat Ilmu Al-Ghazali
Judul : Filsafat Ilmu Al-Ghazali
(Analisis Tentang Dimensi Ontologi, Epistemologi Dan
Aksiologi)
penulis : Prof. Dr. H. Saeful Anwar, M.A.
Penerbit : Pustaka Setia 2007
Tebal : 178 Halaman
A. Pendahuluan
Pada bab Pendahuluan, penulis buku, yaitu Prof. Dr. H. Saeful Anwar, M.A., mengemukakan desaian penelitian, karena buku ini berasal dari penelitian untuk disertasi pada Program Pasca Sarjana Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, yang dipertanggungjawabkan dalam sidang terbuka pada tahun 2001 dan diterbitkan di Bandung oleh penerbit Pustaka Setia pada tahun 2007.
Buku tersebut merupakan studi kritis terhadap filsafat ilmu al-Ghazali, yang mencakup dimensi ontologi, epistemologi dan aksiologi. Tujuan penelitiannya adalah tergalinya filsafat ilmu al-Ghazali yang mencakup ketiga dimensi tersebut dalam rangka penyusunan dan pengembangan filsafat ilmu yang tepat guna bagi bangsa Indonesia dewasa ini. Menurut penulisnya, signifikansi penelitian ini terlihat terutama dari sudut urgensi pengintegrasian pemikiran Islam tradisional dan filsafat ilmu Barat modern yang dua-duanya berkembang di Indonesia, dalam upaya penyusunan dan pengembangan filsafat ilmu yang tepat guna tersebut, sedangkan pengaruh al-Ghazali dalam alam pikiran dunia Islam, termasuk bangsa Indonesia yang mayoritas muslim, kelihatannya masih cukup dominan, dan filsafat ilmunya diduga dapat memberikan kontribusi yang positif bagi upaya pengintegrasian dan pengembangan dimaksud.
Pendekatan yang dipakai pada tahap deskriptif adalah fenomenologi, yang dikombinasikan dengan kerangka teori Filsafat Ilmu sebagai sebuah disiplin. Data dihimpun dengan metode survey terhadap 31 (tiga puluh satu) kitab karya al-Ghazali, dan diolah dengan teknik sintetik-analitik, kemudian dievaluasi dengan rasionalisme kritis dan realisme metafisis Karl Popper.
B. Biografi dan Karya Tulis al-Ghazali
Pada bab II penulis memaparkan biografi dan karya tulis al-Ghazali. Nama lengkap al-Ghazali adalah Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad. Ia dijuluki Abu Hamid karena mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Hamid, dan digelari Hujjat al-Islam (Argumen Islam) karena kesuksesannya dalam meruntuhkan filsafat Yunani dan aliran Batiniyyah/Ta’limiyyah/ Isma’iliyyah dalam Islam. Ia lahir di Thus tahun 450 H. Sesudah belajar di kampung halamannya terutama pada al-Radzakani, ia belajar di Jurjan pada Abu Nashar al-Isma’ili sekitar tiga tahun, kemudian di Madrasah Nizamiyyah Nesapur pada Imam al-Haramain al-Juwaini sekitar lima tahun, kemudian sepeninggal Imam al-Haramain al-Juwaini ia hidup di Istana Wazir Nizam al-Muluk di Mu’askar selama kurang lebih enam tahun, kemudian diangkat menjadi rektor Nizamiyyah Bagdad. Sesudah menjalani jabatan ini selama kurang lebih empat setengah tahun, ia meninggalkannya untuk berkhalwat di Syam, Palestina dan sekitarnya selama kurang lebih sebelas tahun. Kemudian ia dibebani lagi menjadi rektor Nizamiyyah Nesapur, sampai ia meninggalkannya dan pulang ke kampung halaman untuk mendirikan lembaga pendidikan swasta di Thus sampai wafat di sana pada tahun 505 H / 1111 M. Karya tulis al-Ghazali cukup banyak, sehingga judul kitab dan risalah yang dinisbahkan kepadanya mencapai 400 (empat ratus) lebih. Menurut hasil penelitian ‘Abd al-Rahman Badawi, tulisan yang dipastikan karya al-Ghazali sebanyak 69 (enam puluh sembilan) kitab dan 3 (tiga) risalah fatwa. Tulisan-tulisan lain yang dinisbahkan kepada al-Ghazali terdiri atas kitab-kitab yang diragukan otentisitasnya, yang dipastikan kepalsuannya, tulisan-tulisan yang merupakan bagian dari kitab-kitab karya al-Ghazali yang lain, kitab-kitab yang berupa manuskrip di beberapa perpustakaan yang belum diedit, dan judul-judul kitab yang tidak diketahui wujudnya karena hilang. Yang dijadikan sumber data penelitian oleh penulis hanya 31 (tiga pulu satu) kitab yang dipastikan otentisitasnya.
C. Hakekat Ilmu
Menurut al-Ghazali, hakekat ilmu adalah terhasilkannya salinan obyek pada mental subyek sebagaimana realitas obyek sendiri, yang dalam bahasa dinyatakan dalam bentuk proposisi-proposisi yang pasti dan sesuai dengan realitas obyek berdasarkan metode ilmiah tertentu, untuk kemajuan dan kebahagiaan manusia secara abadi. Karena itu struktur filsafat ilmu al-Ghazali terbebntuk dari beberapa dimensi, yaitu konsep umum tentang hakekat ilmu, ontologi, epistemologi dan aksiologi. Dari sudut struktur esensialnya, ontologi sebagai paradigma metafisis membentuk konsep-konsep epistemologi dan aksiologinya. Dari sudut struktur prosesialnya, ia merupakan sebuah sistem dialektis seperti terlihat dari sistematika epistemologinya. Dengan demikian, filsafat ilmu al-Ghazali merupakan sintesis atau moderasi dari dogmatisme dan skeptisisme absolut.
D. Ontologi Ilmu
Filsafat ilmu al-Ghazali dibangun di atas konsep dasarnya mengenai hakekat “(yang) ada”, yang lebih melihat obyek sebagai being qua being (yang ada sebagai yang ada). Menurutnya, “ada” (wujud), yang dalam arti tertentu “eksistensi”, merupakan konsep dasar a priori yang paling umum, mencakup semua “yang ada” (maujud). Ia bukan substansi kecuali dalam arti grammer, dan tidak termasuk esensi sesuatu, melainkan aksiden yang membutuhkan substansi. Karena itu al-Ghazali mengenal lima macam “ada” secara gradual, yaitu “ada sesuatu pada dirinya” (wujud fi al-a’yan), “ada sesuatu dalam mental subyek yang mengetahui (wujud fi al-adzhan) yang disebut ilmu, “ada dalam ucapan” (wujud fi al-lafzi), “ada dalam tulisan” (wujud fi al-kitabah), dan “ada keserupaan” (wujud syabahi). Konsep dasar ini menentukan konsep- konsepnya mengenai hakekat ilmu, partikular-universal, potensial-aktual, necessitas-kontingensi, dan hubungan lafz-makna, yang semuanya membentuk kelengkapan ontologi, epistemologi dan aksiologinya.
Konsep partikular-universal (juz’i-kulli) identik dengan konsepnya mengenai substansi (jauhar), di mana ia melihat substansi, dari sudut konsep manusia, pada dasarnya individual atau partikular, baru kemudian universal sebagai substansi kedua. Substansi sebagai partikular, dalam arti grammer adalah sesuatu yang menjadi subyek kalimat. Dalam arti logika, ia adalah sesuatu yang tidak membutuhkan tempat, lawan aksiden (‘aradl). Dalam arti fisika, ia adalah benda yang tersusun dari materi dasar (hayula atau maddah) dan bentuk (form atau shurah). Dalam arti metafisika, ia adalah sesuatu yang berada bukan pada tempat.
Menurutnya, ada dua realitas fundamental, yaitu Allah dan selain Allah, yang tersusun menjadi empat kawasan realitas obyektif-otonom, yaitu Dunia Fisis (‘Alam Syahadah), Dunia Proses Mental (‘Alam Jabarut), Dunia Metafisis (‘Alam Malakut) dan Realitas Mutlak (Lahut). Semua substansi dari keempat kawasan ini mempunyai esensi (haqiqat, mahiyyah atau huwiyyah), yakni “sesuatu yang dengannya sesuatu adalah dirinya” (ma bihi al-syai’ huwa huwa). Ia mengenal dua macam esensi, yaitu inti atau kenyataan terdalam dari sesuatu yang inheren di dalam dirinya (haqiqat al-syai’ fi nafsih, kunhu haqiqat al-syai’ al-dzatiyyah ‘ala al-ithlaq atau khasiyyat al-syai’ allati lahu wa laisat li ghairih), dan “form universal” (shurah, kunhu haqiqat al-syai’ al-dzatiyyah bi syarthi an la yakuna ma’ahu ghairuhu atau ma bihi al-tasyabuhu li al-asyya’) sebagai konsep abstrak yang mencakup semua partikular dalam jenisnya.
Esensi dalam arti konsep atau ide-ide Tuhan yang tertulis pada Lauh Mahfuz di Dunia III (Dunia Metafisis) adalah substansi primer dalam hubungannya dengan Dunia I (Dunia Fisis), dalam arti yang pertama mendahului dan menjadi pangkal bagi yang kedua. Hanya saja yang pertama itu bukan substansi konkrit individual yang berdiri sendiri dengan esensi sendiri seperti dalam konsep Plato. Tetapi substansi konkrit individual di Dunia Fisis, yang terbentuk dari materi dan form individual, adalah substansi primer dalam hubungannya dengan universal sebagai konsep mental manusia di Dunia II (Dunia Proses Mental). Universal dalam arti ini merupakan hasil disposisi (intiza’) akal terhadap substansi primer, dan merupakan substansi kedua seperti dalam konsep Aristoteles.
Dengan demikian, al-Ghazali bukanlah idealis Platonik atau neo-Platonik yang menganggap universal sebagai substansi primer dengan esensi sendiri di Alam Ide. Bukan pula mutakallim yang partikularistik dan tidak mengakui universal sebagai substansi kedua. Bukan bula Aristotelian yang tidak mengenal Alam Gaib (‘Alam Malakut) dan substansi-substansi konkrit individual di dalamnya sebagai realitas obyektif metafisis, tidak mengakui “esensi” yang berupa ide Tuhan pada Lauh Mahfuz, dan hanya mengenal “Yang Wajib Ada” atau Tuhan sebagai “Form” (Bentuk).
Akhirnya penulis buku menyimpulkan bahwa esensi ontologi al-Ghazali adalah paham dualisme islami yang berintikan tauhid menurut konsep yang puncaknya wahdat al-syuhud (kesatuan penyaksian), di mana keimanan kepada Allah, kenabian dan akhirat secara global merupakan pangkal. Keimanan kepada Allah termasuk sesuatu yang sui generis (fitri), tetapi secara ilmiah legitimasi rasional berdasarkan argumen-argumen tertentu berguna. Dengan demikian ia menolak monisme, baik idealisme subyektif yang mereduksi obyek material ke dalam mental subyek, maupun realisme ekstrim yang mereduksi Tuhan, dunia metafisis dan dunia proses mental ke dalam dunia fisis belaka. Karena itu, obyek ilmu bukan hanya dunia fisis-sensual, tapi segala sesuatu, baik yang merupakan realitas obyektif dari keempat kawasan, maupun yang hanya ada dalam konsep mental seperti obyek logika dan matematika. Akibatnya, al-Ghazali menolak menjadikan fakta empirik-sensual sebagai demarkasi antara ilmu dan bukan ilmu.
Di atas asumsi bahwa segala sesuatu mempunyai esensi dan sifat esensial, dan bahwa Allah adalah tunggal dalam Zat, Sifat dan Perbuatan-Nya, al-Ghazali menganut konsep pluralisme kausalitas, yaitu mengakui hukum kausalitas yang eksak, obyektif dan konstan sebagai takdir Allah sejak azali, tetapi masih dimungkinkan adanya penyimpangan dalam kasus-kasus khusus seperti mukjizat, baik karena intervensi Allah langsung maupun melalui malaikat. Manusia sebagai subyek ilmu mempunyai potensi-potensi dan kapabilitas sensual, rasional dan intuitif untuk mengetahui realitas obyek, dan mengembangkan ilmu berdasarkan prinsip pluralisme kausalitas tersebut. Dengan demikian, ia menolak paham occasionalisme dari sebagian teolog, dan kausalisme absolut seperti dari kaum naturalis-atheis.
E. Epistemologi Ilmu
Menurut penulis buku, di atas basis ontologi di atas, al-Ghazali membentuk konsep epistemologinya. Ia mengenal tiga macam sarana pokok pencapain ilmu sesuai obyek masing-masing, yaitu pancaindera untuk dunia fisis-sensual, akal untuk dunia rasional, dan intuisi untuk dunia transrasional sampai batas tertentu. Karena itu, untuk memperoleh ilmu non- a priori ada dua metode. Pertama, metode penalaran rasional berdasarkan data empirik-sensual atau skriptural, terutama dengan logika peripatetik atau mantik dengan ketiga bentuknya (deduksi, induksi dan analogi-komparasi) serta “teori penafsirannya”. Kedua, metode kasyfi melalui mujahadah (perjuangan) dan riyadlah (latihan mental-spiritual), berupa tazkiyah (pembersihan diri dari segala sifat dan akhlak tercela), dan tahliyah (pengisian diri dengan segala sifat dan akhlak terpuji), termasuk zikir kepada Allah seperti dalam meditasi. Kedua metode tersebut secara keseluruhan merupakan sebuah sistem pencapaian ilmu yang bisa disebut “Sistem Sembilan Tahap”, yang terbagi ke dalam tiga fase yaitu : fase pra-penelitian, fase epistemologi I (empirik-rasional) dan fase epistemologi II (kasyfi). Dengan demikian, epistemologi al-Ghazali berbeda dengan empirisme-positivisme, rasionalisme (kritis), intuisionisme dan fenomenologi, melainkan sebuah sistem sintetik-integralistik. Ia merupakan kombinasi dari logika peripatetik dengan berbagai unsur lain, termasuk ilmu ushul fiqh dan sufisme.
Sesuai dengan asumsi dasar ontologisnya, yang lebih melihat sesuatu sebagai being qua being, tanpa menapikan aspek proses dan pemahamannya, al-Ghazali menganut konsep kebenaran korespondensial, yaitu bahwa suatu kepercayaan, persepsi, tesis, teori atau hukum, adalah benar jika sesuai dengan realitas obyeknya, dan bahwa kebenaran mengenai obyek yang sama dalam aspek yang sama adalah tunggal. Karena itu penggabungan dua hal yang kontradiktif irrasional. Tetapi pengartikulasian realitas sendiri bisa variatif sehingga dimungkinkan adanya sintesis. Namun demikian al-Ghazali mengakui pula kebenaran koherensial sebatas kebenaran formal-rasional. Ia menolak kebenaran pragmatis dan yang serupa dalam dimensi epistemologi yang berbicara tentang fakta, meskipun fungsi dan nilai pragmatis sesuatu diperhatikan dalam dimensi aksiologinya.
Menurutnya, kebenaran ilmu inferensial (iktisabi) pada dasarnya probable (aktsari), tentatif (zanni) dan testable (nazari, taftisyi, yurajjah al-ba’dl bi al-ba’dl), yakni harus diuji berdasarkan kriteria tertentu, baik secara falsifikatif maupun verifikatif. Kriteria itu sebagai berikut : untuk dunia fisis adalah korespondensialitasnya terhadap obyek menurut bukti- bukti empirik-sensual yang dikontrol oleh akal. Untuk obyek metafisis dan transmetafisis dari sudut falsifikasi adalah konsistensi dan koherensi menurut persyaratan logika peripatetik, dan dari sudut verifikasinya adalah tes religious experiences (pengalaman keagamaan) yang tetap dikontrol oleh akal dan logika.
Al-Ghazali menunjukkan tiga model klasifikasi ilmu, yaitu model ontologis yang berorientasi pada obyek ilmu, model epistemologis yang berorientasi pada sumber ilmu dan cara memperolehnya, dan model aksiologis yang berorientasi pada fungsi dan struktur ilmu dalam kaitannya dengan tujuan akhir ilmu sendiri.
VI. Aksiologi Ilmu
Al-Ghazali melihat bahwa ilmu-ilmu faktual pada dasarnya obyektif dan netral (bebas nilai). Tetapi ilmu bukanlah tujuan, dan tidak ada sesuatu pun dalam realitas empirik yang bebas konteks. Karena itu ia mengajukan sedikitnya tujuh prinsip penerapan ilmu dalam praksis, yaitu : obyektivitas-kontekstualitas, ilmu untuk amal guna kemajuan dan kebahagiaan, prioritas, proporsionalitas, tanggungjawab moral dan profesional ilmuwan, kerjasama ilmu-politik serta ilmuwan-birokrat, dan ikhlas.
Menurut al-Ghazali, strategi pengembangan ilmu harus dapat menjamin pertumbuhan ilmu secara sehat, kokoh dan subur guna mencapai tujuan akhir ilmu sendiri. Untuk itu ia mengajukan sedikitnya enam prinsip, yaitu : integralisme, trilogi pengembangan ilmu, memperluas kawasan “kemungkinan”, mengutamakan pengujian ilmu dari sudut falsifikasi, sedapat mungkin meminimalisasi pengkapiran dan memperluas rahmat, serta keseimbangan antara substansialitas dan utilitas ilmu. Secara umum, aksiologi ilmu al-Ghazali berintikan etika islami yang dikombinasikan dengan berbagai unsur lain.
F. Evaluasi
Pada bab VII, penulis buku mengevaluasi filsafat ilmu al-Ghazali. Menurutnya, filsafat ilmu al-Ghazali cukup orisinal, sebagai hasil proses epistemologis yang sangat terpengaruh oleh paradigma metafisis yang dianutnya dan oleh konteks sosio-historis pada masanya. Kekuatannya terletak pada kerangka dasar teoritisnya, terutama yang terkait dengan prinsip-prinsip dasar al-Qur’an dan logika peripatetik. Ia cukup realistik, baik dalam kelima fondasi dan sintesisme-integralismenya, maupun dalam satuan-satuan konsep fisis-rasionalnya, tetapi konsep metafisisnya memerlukan verifikasi dengan “religious experiences” (pengalaman keagamaan). Ia juga secara substansial cukup koheren dan konsisten.
Dari sudut fungsi produktifnya, ia sampai batas tertentu dapat mendorong pertumbuhan ilmu secara sehat dan subur. Secara teoritis, hal ini terlihat terutama dari hal-hal berikut : (a) Keluasan obyek ilmu, pluralisme kausalitas dengan perluasan kawasan “kemungkinannya”, dan bahwa manusia mempunyai potensi dan kapabilitas yang cukup untuk menyingkap realitas seluas mungkin; (b) Sistematika dan prosedur penelitian ilmiah, keluasan metode penelitian dan pemikiran ilmiah, sejak fase I (empirik dan rasional) sampai dengan fase II (kasyfi), serta prinsip probabilitas, tentativitas dan testabilitas ilmu; (c) Strategi pengembangan ilmunya yang menjamin kebebasan berpikir dan berpendapat. Secara empirik, filsafat ilmu al-Ghazali telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi timbulnya “ledakan” teori maslahat dan tarekat di Timur, serta renaissans di Barat. Klasifikasi ilmunya cukup memenuhi fungsi integratifnya, meskipun tidak usah diartikan membatasi jumlah bidang ilmu dan rincian isinya. Kaidah-kaidah penerapan ilmunya menunjukkan efektivitas fungsi evaluatifnya. Filsafat ilmu al-Ghazali diduga dapat menimbulkan efek positif bagi kehidupan praktis manusia dari sisi tertentu, di samping efekf negatif dari sisi lain.
Kelemahan-kelemahannya yang cukup mendasar terlihat dalam hal-hal praktis yang lebih mencerminkan keperibadian al-Ghazali dan situasi sezaman. Intinya adalah tujuan al-Ghazali yang ingin memperoleh ilmu yang pasti tentang segala sesuatu untuk kebahagiaan abadi, dan sintesisme-integralismenya. Kedua hal ini mencerminkan peribadi al-Ghazali yang lebih merupakan seorang filosof sufi yang teolog pada zamannya, sehingga lebih menekankan hal-hal yang abstrak-universal ketimbang seorang saintis yang lebih mengutamakan hal-hal yang konkrit-partikular. Karena itu : (a) Ia lebih menekankan penalaran deduktif sesuai fokus kajian-kajiannya yang metafisis, sehingga tidak mengajukan konsep penurunan hipotesis dan prediksi empirik dari premis atau teori. Hal ini kurang memacu perkembangan ilmu-ilmu empirik-induktif. Ia juga cenderung lebih falsifikasionis dalam lapangan empirik-rasional, sehingga kurang aktif-konstruktif dalam menghasilkan temuan-temuan ilmiah baru. (b) Ia mengakomodasi metode kasyfi yang pada akhirnya berimplikasi pada pengutamaan “Ilmu Jalan Akhirat”. Hal ini, meskipun realistik dan rasional, tetapi secara pragmatis kurang relevan dengan konteks kultur “positif-sensual”. Hasil-hasil temuan kasyfi sendiri sulit diteorikan dan diuji secara populer. Al-Ghazali juga tidak memberi contoh pembuatan teori-teori ilmiah mengenai fisika dan fenomena-fenomena supranatural, karena memang ia bukan dukun dan bukan fisisian. (c) Konsep sintetik-integralistik, meskipun merupakan posisi yang lebih aman dari kekeliruan dan dekat dengan semua pihak, tetapi ia tidak memuaskan semua pihak dan sulit dipahami sehingga bisa menimbulkan distorsi yang berakibat negatif. Ketiadaan demarkasi yang konkrit antara ilmu dan filsafat dengan agama bisa menimbulkan dogmatisasi ilmu dan filsafat karena dianggap sebagai agama seperti dalam kultur taklid. Al-Ghazali memang mengecam keras sikap taklid, tetapi anjurannya bagi “santri” untuk bertaklid buta kepada syaikh sufi dalam menempuh “metode khusus” bisa menimbulkan akibat fatal yang kontradiktif dengan keseluruhan epistemologi kritisnya sendiri.
Secara keseluruhan, segi-segi positif filsafat ilmu al-Ghazali dapat dimanfaatkan dalam pengembangan filsafat ilmu bagi bangsa Indonesia, dengan menepis efek-efek negatif dan menyempurnakan kekurangan atau kelemahan-kelemahannya, dengan cara antara lain mengombinasikannya dengan filsafat ilmu ulama Islam lain terutama Ibn Taimiyyah yang terkenal induktivis-empirisis, dan filsafat ilmu yang berkembang dari Barat hingga dewasa ini. Dengan cara demikian dimungkinkan bangsa Indonesia membangun, memiliki dan mengembangkan filsafat ilmunya sendiri yang kokoh dan tepat guna bagi kepentingannya sendiri
G. Penutup
Demikian resume buku Filsafat Ilmu al-Ghazali (Analisis tentang Dimensi Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi) karangan Prof. Dr. H. Saeful Anwar, M.A. yang dapat penulis lakukan sesuai dengan apa yang dapat penulis tangkap, semoga bermanfaat bagi Agama, Bangsa dan Negara, amin ya Rabb al-‘alaimn.
H. Rujukan Buku Filsafat Ilmu Al-Ghazali
Jumat, 24 Maret 2017
Langganan:
Postingan (Atom)