Powered By Blogger

Jumat, 31 Maret 2017

Resensi Buku Filsafat Ilmu Al-Ghazali

Judul : Filsafat Ilmu Al-Ghazali (Analisis Tentang Dimensi Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi) penulis : Prof. Dr. H. Saeful Anwar, M.A. Penerbit : Pustaka Setia 2007 Tebal : 178 Halaman A. Pendahuluan Pada bab Pendahuluan, penulis buku, yaitu Prof. Dr. H. Saeful Anwar, M.A., mengemukakan desaian penelitian, karena buku ini berasal dari penelitian untuk disertasi pada Program Pasca Sarjana Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, yang dipertanggungjawabkan dalam sidang terbuka pada tahun 2001 dan diterbitkan di Bandung oleh penerbit Pustaka Setia pada tahun 2007. Buku tersebut merupakan studi kritis terhadap filsafat ilmu al-Ghazali, yang mencakup dimensi ontologi, epistemologi dan aksiologi. Tujuan penelitiannya adalah tergalinya filsafat ilmu al-Ghazali yang mencakup ketiga dimensi tersebut dalam rangka penyusunan dan pengembangan filsafat ilmu yang tepat guna bagi bangsa Indonesia dewasa ini. Menurut penulisnya, signifikansi penelitian ini terlihat terutama dari sudut urgensi pengintegrasian pemikiran Islam tradisional dan filsafat ilmu Barat modern yang dua-duanya berkembang di Indonesia, dalam upaya penyusunan dan pengembangan filsafat ilmu yang tepat guna tersebut, sedangkan pengaruh al-Ghazali dalam alam pikiran dunia Islam, termasuk bangsa Indonesia yang mayoritas muslim, kelihatannya masih cukup dominan, dan filsafat ilmunya diduga dapat memberikan kontribusi yang positif bagi upaya pengintegrasian dan pengembangan dimaksud. Pendekatan yang dipakai pada tahap deskriptif adalah fenomenologi, yang dikombinasikan dengan kerangka teori Filsafat Ilmu sebagai sebuah disiplin. Data dihimpun dengan metode survey terhadap 31 (tiga puluh satu) kitab karya al-Ghazali, dan diolah dengan teknik sintetik-analitik, kemudian dievaluasi dengan rasionalisme kritis dan realisme metafisis Karl Popper. B. Biografi dan Karya Tulis al-Ghazali Pada bab II penulis memaparkan biografi dan karya tulis al-Ghazali. Nama lengkap al-Ghazali adalah Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad. Ia dijuluki Abu Hamid karena mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Hamid, dan digelari Hujjat al-Islam (Argumen Islam) karena kesuksesannya dalam meruntuhkan filsafat Yunani dan aliran Batiniyyah/Ta’limiyyah/ Isma’iliyyah dalam Islam. Ia lahir di Thus tahun 450 H. Sesudah belajar di kampung halamannya terutama pada al-Radzakani, ia belajar di Jurjan pada Abu Nashar al-Isma’ili sekitar tiga tahun, kemudian di Madrasah Nizamiyyah Nesapur pada Imam al-Haramain al-Juwaini sekitar lima tahun, kemudian sepeninggal Imam al-Haramain al-Juwaini ia hidup di Istana Wazir Nizam al-Muluk di Mu’askar selama kurang lebih enam tahun, kemudian diangkat menjadi rektor Nizamiyyah Bagdad. Sesudah menjalani jabatan ini selama kurang lebih empat setengah tahun, ia meninggalkannya untuk berkhalwat di Syam, Palestina dan sekitarnya selama kurang lebih sebelas tahun. Kemudian ia dibebani lagi menjadi rektor Nizamiyyah Nesapur, sampai ia meninggalkannya dan pulang ke kampung halaman untuk mendirikan lembaga pendidikan swasta di Thus sampai wafat di sana pada tahun 505 H / 1111 M. Karya tulis al-Ghazali cukup banyak, sehingga judul kitab dan risalah yang dinisbahkan kepadanya mencapai 400 (empat ratus) lebih. Menurut hasil penelitian ‘Abd al-Rahman Badawi, tulisan yang dipastikan karya al-Ghazali sebanyak 69 (enam puluh sembilan) kitab dan 3 (tiga) risalah fatwa. Tulisan-tulisan lain yang dinisbahkan kepada al-Ghazali terdiri atas kitab-kitab yang diragukan otentisitasnya, yang dipastikan kepalsuannya, tulisan-tulisan yang merupakan bagian dari kitab-kitab karya al-Ghazali yang lain, kitab-kitab yang berupa manuskrip di beberapa perpustakaan yang belum diedit, dan judul-judul kitab yang tidak diketahui wujudnya karena hilang. Yang dijadikan sumber data penelitian oleh penulis hanya 31 (tiga pulu satu) kitab yang dipastikan otentisitasnya. C. Hakekat Ilmu Menurut al-Ghazali, hakekat ilmu adalah terhasilkannya salinan obyek pada mental subyek sebagaimana realitas obyek sendiri, yang dalam bahasa dinyatakan dalam bentuk proposisi-proposisi yang pasti dan sesuai dengan realitas obyek berdasarkan metode ilmiah tertentu, untuk kemajuan dan kebahagiaan manusia secara abadi. Karena itu struktur filsafat ilmu al-Ghazali terbebntuk dari beberapa dimensi, yaitu konsep umum tentang hakekat ilmu, ontologi, epistemologi dan aksiologi. Dari sudut struktur esensialnya, ontologi sebagai paradigma metafisis membentuk konsep-konsep epistemologi dan aksiologinya. Dari sudut struktur prosesialnya, ia merupakan sebuah sistem dialektis seperti terlihat dari sistematika epistemologinya. Dengan demikian, filsafat ilmu al-Ghazali merupakan sintesis atau moderasi dari dogmatisme dan skeptisisme absolut. D. Ontologi Ilmu Filsafat ilmu al-Ghazali dibangun di atas konsep dasarnya mengenai hakekat “(yang) ada”, yang lebih melihat obyek sebagai being qua being (yang ada sebagai yang ada). Menurutnya, “ada” (wujud), yang dalam arti tertentu “eksistensi”, merupakan konsep dasar a priori yang paling umum, mencakup semua “yang ada” (maujud). Ia bukan substansi kecuali dalam arti grammer, dan tidak termasuk esensi sesuatu, melainkan aksiden yang membutuhkan substansi. Karena itu al-Ghazali mengenal lima macam “ada” secara gradual, yaitu “ada sesuatu pada dirinya” (wujud fi al-a’yan), “ada sesuatu dalam mental subyek yang mengetahui (wujud fi al-adzhan) yang disebut ilmu, “ada dalam ucapan” (wujud fi al-lafzi), “ada dalam tulisan” (wujud fi al-kitabah), dan “ada keserupaan” (wujud syabahi). Konsep dasar ini menentukan konsep- konsepnya mengenai hakekat ilmu, partikular-universal, potensial-aktual, necessitas-kontingensi, dan hubungan lafz-makna, yang semuanya membentuk kelengkapan ontologi, epistemologi dan aksiologinya. Konsep partikular-universal (juz’i-kulli) identik dengan konsepnya mengenai substansi (jauhar), di mana ia melihat substansi, dari sudut konsep manusia, pada dasarnya individual atau partikular, baru kemudian universal sebagai substansi kedua. Substansi sebagai partikular, dalam arti grammer adalah sesuatu yang menjadi subyek kalimat. Dalam arti logika, ia adalah sesuatu yang tidak membutuhkan tempat, lawan aksiden (‘aradl). Dalam arti fisika, ia adalah benda yang tersusun dari materi dasar (hayula atau maddah) dan bentuk (form atau shurah). Dalam arti metafisika, ia adalah sesuatu yang berada bukan pada tempat. Menurutnya, ada dua realitas fundamental, yaitu Allah dan selain Allah, yang tersusun menjadi empat kawasan realitas obyektif-otonom, yaitu Dunia Fisis (‘Alam Syahadah), Dunia Proses Mental (‘Alam Jabarut), Dunia Metafisis (‘Alam Malakut) dan Realitas Mutlak (Lahut). Semua substansi dari keempat kawasan ini mempunyai esensi (haqiqat, mahiyyah atau huwiyyah), yakni “sesuatu yang dengannya sesuatu adalah dirinya” (ma bihi al-syai’ huwa huwa). Ia mengenal dua macam esensi, yaitu inti atau kenyataan terdalam dari sesuatu yang inheren di dalam dirinya (haqiqat al-syai’ fi nafsih, kunhu haqiqat al-syai’ al-dzatiyyah ‘ala al-ithlaq atau khasiyyat al-syai’ allati lahu wa laisat li ghairih), dan “form universal” (shurah, kunhu haqiqat al-syai’ al-dzatiyyah bi syarthi an la yakuna ma’ahu ghairuhu atau ma bihi al-tasyabuhu li al-asyya’) sebagai konsep abstrak yang mencakup semua partikular dalam jenisnya. Esensi dalam arti konsep atau ide-ide Tuhan yang tertulis pada Lauh Mahfuz di Dunia III (Dunia Metafisis) adalah substansi primer dalam hubungannya dengan Dunia I (Dunia Fisis), dalam arti yang pertama mendahului dan menjadi pangkal bagi yang kedua. Hanya saja yang pertama itu bukan substansi konkrit individual yang berdiri sendiri dengan esensi sendiri seperti dalam konsep Plato. Tetapi substansi konkrit individual di Dunia Fisis, yang terbentuk dari materi dan form individual, adalah substansi primer dalam hubungannya dengan universal sebagai konsep mental manusia di Dunia II (Dunia Proses Mental). Universal dalam arti ini merupakan hasil disposisi (intiza’) akal terhadap substansi primer, dan merupakan substansi kedua seperti dalam konsep Aristoteles. Dengan demikian, al-Ghazali bukanlah idealis Platonik atau neo-Platonik yang menganggap universal sebagai substansi primer dengan esensi sendiri di Alam Ide. Bukan pula mutakallim yang partikularistik dan tidak mengakui universal sebagai substansi kedua. Bukan bula Aristotelian yang tidak mengenal Alam Gaib (‘Alam Malakut) dan substansi-substansi konkrit individual di dalamnya sebagai realitas obyektif metafisis, tidak mengakui “esensi” yang berupa ide Tuhan pada Lauh Mahfuz, dan hanya mengenal “Yang Wajib Ada” atau Tuhan sebagai “Form” (Bentuk). Akhirnya penulis buku menyimpulkan bahwa esensi ontologi al-Ghazali adalah paham dualisme islami yang berintikan tauhid menurut konsep yang puncaknya wahdat al-syuhud (kesatuan penyaksian), di mana keimanan kepada Allah, kenabian dan akhirat secara global merupakan pangkal. Keimanan kepada Allah termasuk sesuatu yang sui generis (fitri), tetapi secara ilmiah legitimasi rasional berdasarkan argumen-argumen tertentu berguna. Dengan demikian ia menolak monisme, baik idealisme subyektif yang mereduksi obyek material ke dalam mental subyek, maupun realisme ekstrim yang mereduksi Tuhan, dunia metafisis dan dunia proses mental ke dalam dunia fisis belaka. Karena itu, obyek ilmu bukan hanya dunia fisis-sensual, tapi segala sesuatu, baik yang merupakan realitas obyektif dari keempat kawasan, maupun yang hanya ada dalam konsep mental seperti obyek logika dan matematika. Akibatnya, al-Ghazali menolak menjadikan fakta empirik-sensual sebagai demarkasi antara ilmu dan bukan ilmu. Di atas asumsi bahwa segala sesuatu mempunyai esensi dan sifat esensial, dan bahwa Allah adalah tunggal dalam Zat, Sifat dan Perbuatan-Nya, al-Ghazali menganut konsep pluralisme kausalitas, yaitu mengakui hukum kausalitas yang eksak, obyektif dan konstan sebagai takdir Allah sejak azali, tetapi masih dimungkinkan adanya penyimpangan dalam kasus-kasus khusus seperti mukjizat, baik karena intervensi Allah langsung maupun melalui malaikat. Manusia sebagai subyek ilmu mempunyai potensi-potensi dan kapabilitas sensual, rasional dan intuitif untuk mengetahui realitas obyek, dan mengembangkan ilmu berdasarkan prinsip pluralisme kausalitas tersebut. Dengan demikian, ia menolak paham occasionalisme dari sebagian teolog, dan kausalisme absolut seperti dari kaum naturalis-atheis. E. Epistemologi Ilmu Menurut penulis buku, di atas basis ontologi di atas, al-Ghazali membentuk konsep epistemologinya. Ia mengenal tiga macam sarana pokok pencapain ilmu sesuai obyek masing-masing, yaitu pancaindera untuk dunia fisis-sensual, akal untuk dunia rasional, dan intuisi untuk dunia transrasional sampai batas tertentu. Karena itu, untuk memperoleh ilmu non- a priori ada dua metode. Pertama, metode penalaran rasional berdasarkan data empirik-sensual atau skriptural, terutama dengan logika peripatetik atau mantik dengan ketiga bentuknya (deduksi, induksi dan analogi-komparasi) serta “teori penafsirannya”. Kedua, metode kasyfi melalui mujahadah (perjuangan) dan riyadlah (latihan mental-spiritual), berupa tazkiyah (pembersihan diri dari segala sifat dan akhlak tercela), dan tahliyah (pengisian diri dengan segala sifat dan akhlak terpuji), termasuk zikir kepada Allah seperti dalam meditasi. Kedua metode tersebut secara keseluruhan merupakan sebuah sistem pencapaian ilmu yang bisa disebut “Sistem Sembilan Tahap”, yang terbagi ke dalam tiga fase yaitu : fase pra-penelitian, fase epistemologi I (empirik-rasional) dan fase epistemologi II (kasyfi). Dengan demikian, epistemologi al-Ghazali berbeda dengan empirisme-positivisme, rasionalisme (kritis), intuisionisme dan fenomenologi, melainkan sebuah sistem sintetik-integralistik. Ia merupakan kombinasi dari logika peripatetik dengan berbagai unsur lain, termasuk ilmu ushul fiqh dan sufisme. Sesuai dengan asumsi dasar ontologisnya, yang lebih melihat sesuatu sebagai being qua being, tanpa menapikan aspek proses dan pemahamannya, al-Ghazali menganut konsep kebenaran korespondensial, yaitu bahwa suatu kepercayaan, persepsi, tesis, teori atau hukum, adalah benar jika sesuai dengan realitas obyeknya, dan bahwa kebenaran mengenai obyek yang sama dalam aspek yang sama adalah tunggal. Karena itu penggabungan dua hal yang kontradiktif irrasional. Tetapi pengartikulasian realitas sendiri bisa variatif sehingga dimungkinkan adanya sintesis. Namun demikian al-Ghazali mengakui pula kebenaran koherensial sebatas kebenaran formal-rasional. Ia menolak kebenaran pragmatis dan yang serupa dalam dimensi epistemologi yang berbicara tentang fakta, meskipun fungsi dan nilai pragmatis sesuatu diperhatikan dalam dimensi aksiologinya. Menurutnya, kebenaran ilmu inferensial (iktisabi) pada dasarnya probable (aktsari), tentatif (zanni) dan testable (nazari, taftisyi, yurajjah al-ba’dl bi al-ba’dl), yakni harus diuji berdasarkan kriteria tertentu, baik secara falsifikatif maupun verifikatif. Kriteria itu sebagai berikut : untuk dunia fisis adalah korespondensialitasnya terhadap obyek menurut bukti- bukti empirik-sensual yang dikontrol oleh akal. Untuk obyek metafisis dan transmetafisis dari sudut falsifikasi adalah konsistensi dan koherensi menurut persyaratan logika peripatetik, dan dari sudut verifikasinya adalah tes religious experiences (pengalaman keagamaan) yang tetap dikontrol oleh akal dan logika. Al-Ghazali menunjukkan tiga model klasifikasi ilmu, yaitu model ontologis yang berorientasi pada obyek ilmu, model epistemologis yang berorientasi pada sumber ilmu dan cara memperolehnya, dan model aksiologis yang berorientasi pada fungsi dan struktur ilmu dalam kaitannya dengan tujuan akhir ilmu sendiri. VI. Aksiologi Ilmu Al-Ghazali melihat bahwa ilmu-ilmu faktual pada dasarnya obyektif dan netral (bebas nilai). Tetapi ilmu bukanlah tujuan, dan tidak ada sesuatu pun dalam realitas empirik yang bebas konteks. Karena itu ia mengajukan sedikitnya tujuh prinsip penerapan ilmu dalam praksis, yaitu : obyektivitas-kontekstualitas, ilmu untuk amal guna kemajuan dan kebahagiaan, prioritas, proporsionalitas, tanggungjawab moral dan profesional ilmuwan, kerjasama ilmu-politik serta ilmuwan-birokrat, dan ikhlas. Menurut al-Ghazali, strategi pengembangan ilmu harus dapat menjamin pertumbuhan ilmu secara sehat, kokoh dan subur guna mencapai tujuan akhir ilmu sendiri. Untuk itu ia mengajukan sedikitnya enam prinsip, yaitu : integralisme, trilogi pengembangan ilmu, memperluas kawasan “kemungkinan”, mengutamakan pengujian ilmu dari sudut falsifikasi, sedapat mungkin meminimalisasi pengkapiran dan memperluas rahmat, serta keseimbangan antara substansialitas dan utilitas ilmu. Secara umum, aksiologi ilmu al-Ghazali berintikan etika islami yang dikombinasikan dengan berbagai unsur lain. F. Evaluasi Pada bab VII, penulis buku mengevaluasi filsafat ilmu al-Ghazali. Menurutnya, filsafat ilmu al-Ghazali cukup orisinal, sebagai hasil proses epistemologis yang sangat terpengaruh oleh paradigma metafisis yang dianutnya dan oleh konteks sosio-historis pada masanya. Kekuatannya terletak pada kerangka dasar teoritisnya, terutama yang terkait dengan prinsip-prinsip dasar al-Qur’an dan logika peripatetik. Ia cukup realistik, baik dalam kelima fondasi dan sintesisme-integralismenya, maupun dalam satuan-satuan konsep fisis-rasionalnya, tetapi konsep metafisisnya memerlukan verifikasi dengan “religious experiences” (pengalaman keagamaan). Ia juga secara substansial cukup koheren dan konsisten. Dari sudut fungsi produktifnya, ia sampai batas tertentu dapat mendorong pertumbuhan ilmu secara sehat dan subur. Secara teoritis, hal ini terlihat terutama dari hal-hal berikut : (a) Keluasan obyek ilmu, pluralisme kausalitas dengan perluasan kawasan “kemungkinannya”, dan bahwa manusia mempunyai potensi dan kapabilitas yang cukup untuk menyingkap realitas seluas mungkin; (b) Sistematika dan prosedur penelitian ilmiah, keluasan metode penelitian dan pemikiran ilmiah, sejak fase I (empirik dan rasional) sampai dengan fase II (kasyfi), serta prinsip probabilitas, tentativitas dan testabilitas ilmu; (c) Strategi pengembangan ilmunya yang menjamin kebebasan berpikir dan berpendapat. Secara empirik, filsafat ilmu al-Ghazali telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi timbulnya “ledakan” teori maslahat dan tarekat di Timur, serta renaissans di Barat. Klasifikasi ilmunya cukup memenuhi fungsi integratifnya, meskipun tidak usah diartikan membatasi jumlah bidang ilmu dan rincian isinya. Kaidah-kaidah penerapan ilmunya menunjukkan efektivitas fungsi evaluatifnya. Filsafat ilmu al-Ghazali diduga dapat menimbulkan efek positif bagi kehidupan praktis manusia dari sisi tertentu, di samping efekf negatif dari sisi lain. Kelemahan-kelemahannya yang cukup mendasar terlihat dalam hal-hal praktis yang lebih mencerminkan keperibadian al-Ghazali dan situasi sezaman. Intinya adalah tujuan al-Ghazali yang ingin memperoleh ilmu yang pasti tentang segala sesuatu untuk kebahagiaan abadi, dan sintesisme-integralismenya. Kedua hal ini mencerminkan peribadi al-Ghazali yang lebih merupakan seorang filosof sufi yang teolog pada zamannya, sehingga lebih menekankan hal-hal yang abstrak-universal ketimbang seorang saintis yang lebih mengutamakan hal-hal yang konkrit-partikular. Karena itu : (a) Ia lebih menekankan penalaran deduktif sesuai fokus kajian-kajiannya yang metafisis, sehingga tidak mengajukan konsep penurunan hipotesis dan prediksi empirik dari premis atau teori. Hal ini kurang memacu perkembangan ilmu-ilmu empirik-induktif. Ia juga cenderung lebih falsifikasionis dalam lapangan empirik-rasional, sehingga kurang aktif-konstruktif dalam menghasilkan temuan-temuan ilmiah baru. (b) Ia mengakomodasi metode kasyfi yang pada akhirnya berimplikasi pada pengutamaan “Ilmu Jalan Akhirat”. Hal ini, meskipun realistik dan rasional, tetapi secara pragmatis kurang relevan dengan konteks kultur “positif-sensual”. Hasil-hasil temuan kasyfi sendiri sulit diteorikan dan diuji secara populer. Al-Ghazali juga tidak memberi contoh pembuatan teori-teori ilmiah mengenai fisika dan fenomena-fenomena supranatural, karena memang ia bukan dukun dan bukan fisisian. (c) Konsep sintetik-integralistik, meskipun merupakan posisi yang lebih aman dari kekeliruan dan dekat dengan semua pihak, tetapi ia tidak memuaskan semua pihak dan sulit dipahami sehingga bisa menimbulkan distorsi yang berakibat negatif. Ketiadaan demarkasi yang konkrit antara ilmu dan filsafat dengan agama bisa menimbulkan dogmatisasi ilmu dan filsafat karena dianggap sebagai agama seperti dalam kultur taklid. Al-Ghazali memang mengecam keras sikap taklid, tetapi anjurannya bagi “santri” untuk bertaklid buta kepada syaikh sufi dalam menempuh “metode khusus” bisa menimbulkan akibat fatal yang kontradiktif dengan keseluruhan epistemologi kritisnya sendiri. Secara keseluruhan, segi-segi positif filsafat ilmu al-Ghazali dapat dimanfaatkan dalam pengembangan filsafat ilmu bagi bangsa Indonesia, dengan menepis efek-efek negatif dan menyempurnakan kekurangan atau kelemahan-kelemahannya, dengan cara antara lain mengombinasikannya dengan filsafat ilmu ulama Islam lain terutama Ibn Taimiyyah yang terkenal induktivis-empirisis, dan filsafat ilmu yang berkembang dari Barat hingga dewasa ini. Dengan cara demikian dimungkinkan bangsa Indonesia membangun, memiliki dan mengembangkan filsafat ilmunya sendiri yang kokoh dan tepat guna bagi kepentingannya sendiri G. Penutup Demikian resume buku Filsafat Ilmu al-Ghazali (Analisis tentang Dimensi Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi) karangan Prof. Dr. H. Saeful Anwar, M.A. yang dapat penulis lakukan sesuai dengan apa yang dapat penulis tangkap, semoga bermanfaat bagi Agama, Bangsa dan Negara, amin ya Rabb al-‘alaimn. H. Rujukan Buku Filsafat Ilmu Al-Ghazali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar