BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa atau Language merupakan produksi dari alat-alat bicara manusia (organ of speech) digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi dan berinteraksi. Bahasa mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan ini. Bloomfield (1935: 3), berkata language plays a great, part in our live. Fakta menunjukkan bahwa manusia dapat saja menggunakan alat komunikasi lain selain bahasa. Namun, bahasa verbal tetap merupakan alat komunikasi yang paling baik dan sempurna.
Oleh sebab itu, studi atau kajian lingustik sangat penting karena akan memberikan pemahaman mengenai bahasa itu sebagai satu-satunya alat komunikasi yang paling baik dan sempurna. Kajian bahasa ada yang bersifat mikro/ mikrolinguistik dan ada yang bersifat makro/ makrolinguistik, dengan kata lain ada kajian bahasa secara internal dan kajian bahasa secara eksternal. Linguistik umum berkaitan dengan
bahasa pada umumnya. Kalau dikatakan dengan istilah yang dipergunakan oleh Ferdinand de Saussure (pelopor linguistik modern).
|
Berdasar dari uraian di atas, maka linguistik harus bersifat umum. Meskipun dapat saja seorang linguis (ahli linguistik) melakukan pengkajian khusus terhadap bahasa tertentu misalnya bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Arab, bahasa Bugis, yang melahirkan linguis Indonesia, linguis Inggris, linguis Arab dan linguis Bugis. Akan tetapi, setiap ahli linguistik itu harus memahami karakter beberapa bahasa yang lain selain bahasanya sendiri. Tentunya lebih baik lagi jika bahasa yang dikuasainya itu adalah bahasa yang tidak serumpun dengan bahasanya.
Linguistik di dunia barat telah memiliki sejarah yang cukup panjang untuk dikaji. Hal ini dapat dilihat pada awal pertumbuhannya dengan kembali ke periode yang jauh ke belakang, yakni beberapa
abad sebelum masehi, yakni pada saat kota Alexandria sebagai salah satu pusat kegiatan kerajaan Yunani di Timur berkembang. Perhatian raja membangun pusat ilmu, pembinaan perpustakaan di Alexandria dapat dianggap sebagai titik awal sejarah linguistik.
Berhubung dengan keterbatasan data, orang belum dapat menjelaskan secara bersambung sejarah linguistik dunia barat mulai dari periode awal, terutama pada abad-abad sebelum masehi (SM). Akan tetapi, karena tidak dapat ditelusuri secara sempurna dan sistematis setiap periode perkembangan tersebut, maka untuk kemudahan keseluruhan masa perkembangan tersebut, disebut periode tradisional, sebagai salah satu cara untuk melihat batas dan perbedaannya dengan periode modern.
Dalam periode modern, terdapat satu pendekatan yang sangat berpengaruh dan menghasilkan karya yang besar sepanjang sejarah linguistik, yang populer dikenal dengan nama linguistik struktural. Periode ini dimulai sekitar tahun 1930-an sampai dengan 1950-an. Oleh sebab itu, periode linguistik sebelumnya dapat dinamai periode pra-struktural, yang dapat dibagi menjadi dua fase perkembangan sejarahnya, yakni periode tradisional dan periode modern awal.
Kalau linguistik tradisional selalu menerapkan pola tata bahasa Yunani dan Latin dalam mendeskripsikan suatu bahasa, maka linguistik strukturalis tidak lagi melakukan hal demikian. Linguistik strukturalis berusaha mendeskripsikan suatu bahasa berdasarkan ciri atau sifat khas yang dimiliki bahasa itu. Pandangan ini adalah sebagai akibat dari konsep-konsep atau pandangan baru terhadap bahasa dan studi bahasa yang dilakukan oleh Bapak linguistik modern, yaitu Ferdinand de Saussure.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam makalah ini, adalah “Bagaimanakah pandangan para tokoh linguistik dalam linguistik structural dan tentang pembagian lingustik ?”.
C. Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan atau menguraikan pengertian linguistik structural, tokoh-tokoh linguistik yang memplopori lahirnya linguistik struktural beserta beserta pembagian lingustik pandangan-pandangannya.
D. Manfaat Hasil Penulisan
Makalah ini diharapkan bermanfaat untuk:
- Memberikan sumbangan pemikiran yang berharga dalam memahami tokoh-tokoh linguistik struktural beserta konsep-konsep atau pandangan-pandangannya,
- Memberikan sumbangan pemikiran yang berharga, khususnya bagi pengembangan pengajaran bahasa lingustik
- Sebagai bahan pembanding bagi penelitian pengajaran bahasa yang lain.
BAB II
PEMBAHASAN
LINGUISTIK
A. Ferdinand de Saussure dan Aliran-aliran lingustik
Ferdinand de Saussure (1857-1913) dianggap sebagai Bapak Linguistik Modern. Berdasarkan pandangan-pandagan yang dimuat dalam bukunya ”Course de Linguistique Generale” yang disusun dan diterbitkan oleh Charles Bally dan Albert Sechehay tahun 1915 (dua tahun selama de Saussure meninggal) berdasarkan catatan kuliah, selama de Saussure memberi kuliah di Universitas Jeneva tahun 1906-1911. Buku itu sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, dalam bahasa Inggris diterjemahkan oleh Wade Baskin (terbit 1966), dan ke dalam bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Rahayu Hidayat (terbit 1988).
Pandangan yang dimuat dalam buku tersebut mengenai konsep: 1) telaah sinkronik dan diakronik, 2) perbedaan langue dan
parole, 3) perbedaan signifant dan signifie, 4) hubungan sintagmatik dan hubungan paradigmatik.
|
La Langue dan La Parole. Yang dimaksud dengan la langue adalah keseluruhan sistem tanda yang berfungsi sebagai alat komunikasi verbal antara para anggota suatu masyarakat bahasa, sifatnya abstrak. Sedangkan yang dimaksud dengan la parole adalah pemakaian atau realisasi langue oleh masing-masing anggota masyarakat bahasa, sifatnya konkret karena parole itu tidak lain daripada realitas fisis yang berbeda dari yang satu dengan yang lain.
Signifiant dan signifie. Ferdinand de Saussure mengemukakan teori bahwa setiap tanda atau tanda linguistik (signẽ atau signẽ linguistique) dibentuk oleh dua buah komponen yang tidak terpisahkan
yaitu komponen signifiant dan signifie. Yang dimaksud dengan signifiant adalah citra bunyi atau kesan psikologis bunyi yang timbul dalam pikiran kita. Sedangkan signifiei adalah pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran kita. Ada yang menyamakan signe itu sama dengan ”kata”, signifie sama dengan ”makna”, dan signifiant sama dengan bunyi bahasa dalam bentuk urutan fonem-fonem tertentu.
Hubungan sintagmatik dan paradigmatik. Yang dimaksud dengan hubungan sintagmatik adalah hubungan antara unsur-unsur yang terdapat dalam suatu tuturan, yang tersusun secara berurutan, bersifat linear. Yang dimaksud dengan hubungan paradigmatik adalah hubungan antara unsur-unsur yang terdapat dalam tuturan yang bersangkutan. Hubungan sintagmatik dan paradigmatik keduanya dapat dilihat dengan cara substitusi baik pada tataran fonologi, morfologi dan sintaksis.
a. Aliran Praha
Aliran Praha terbentuk pada tahun 1926 atas prakarsa salah seorang tokohnya, yaitu Vilem Mathesius (1882-1945). Tokoh-tokoh lainnya adalah Nikolai S Trubetskoy, Roman Jacobson, dan Morris
Hale. Pengaruh mereka sangat besar di sekitar tahun tiga puluhan tertutama dalam bidang fonologi.
Dalam bidang fonologi aliran Praha inilah yang pertama-tama membedakan dengan tegas antara fonetik dan fonologi. Fonetik mempelajari bunyi-bunyi itu sendiri, sedangkan fonologi mempelajari fungsi bunyi tersebut dalam suatu sistem bahasa. Begi pula dengan istilah fonem, yang dalam sejarahnya berasal dari bahasa Rusia fonema, lalu digunakan oleh sarjana Polandia, Baudoin de Courtenay untuk membedakan pengertian fonem dari fon (bunyi), dan selanjutnya diperkenalkan oleh sarjan Polandia lainnya, yaitu: Kruzewki, akan tetapi yang menggunakan dan memperkenalkan dalam analisis bahasa adalah para linguis aliran Praha ini, seperti tampak dalam buku ”Trubetskoy Grundzuge der Phonologi (terbit 1939).
Fonem dapat dikelompokkan ke dalam kelas-kelas sesuai dengan ciri-ciri pembeda dan hubungan oposisi yang ada. Fonem-fonem p, t, k, b, d, g, m, n, dan ŋ dalam bahasa Indonesia dapat dikelompokkan sebagai berikut:
tempat artikulasi cara artikulasi | | | | |
hambat | tb | p | t | K |
b | b | d | G | |
sengau | m | n | ŋ |
Dari bagan di atas, dapat dilihat bahwa fonem-fonem hambat tak bersuara p, t, dan k beroposisi dengan fonem-fonem hambat bersuara b, d, dan g. Fonem-fonem labial p, b, dan m beroposisi dengan fonem-fonem dental t, d, m dan fonem-fonem velar k, g, dan ŋ. Selanjutnya fonem-fonem hambat p/b, t/d, dan k/g beroposisi dengan fonem-fonem sengau m, n, dan ŋ.
Dalam bidang fonologi, aliran Praha ini juga memperkenalkan dan mengembangkan suatu istilah yang disebut morfologi, bidang yang meneliti struktur fonologis morfem. Bidang ini meneliti perubahan-perubahan fonologis yang terjadi sebagai akibat hubungan morfem dengan morfem. Misalnya kata ”jawab X jawap” dapat dilihat bahwa fonem /p/, dan /b/ tidak berkontras, tetapi bila kata /jawab/ atau /jawap/ diimbuhi sufiks –an, maka hasilnya adalah /jawaban/ bukan /jawapan/.
b. Aliran Glosematik
Aliran Glosematik lahir di Denmark, tokohnya antara lain: Louis Hjemslev (1899-1965), yang meneruskan ajaran Ferdinand de
Saussure. Namanya menjadi terkenal karena usahanya untuk membuat ilmu bahasa menjadi ilmu yang berdiri sendiri, bebas dari ilmu lain, dengan peralatan, metodologis dan terminologis sendiri.
Menurut Hjemslev teori bahasa haruslah bersifat sembarang saja, artinya harus merupakan suatu sistem deduktif semata-mata. Teori itu harus dapat dipakai secara tersendiri untuk dapat memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang timbul dari premis-premisnya. Suatu teori bahasa harus bebas dari pengalaman apapun, namun teori itu harus tepat, maksudnya harus memenuhi syarat untuk diterapkan pada data empiris tertentu, yaitu bahasa. Sedangkan teori itu agar dapat dipakai secara empiris haruslah konsisten, tuntas dan sederhana. Sejalan dengan pendapat de Saussure, Hjemslev menganggap bahwa bahasa itu mengandung dua segi, yaitu segi eskpresi (menurut de Saussure signifiant), dan dari segi isi (menurut de Saussure signifie).
Akhirnya dapat dikatakan, sebagaimana de Saussure, maka Hjemslev juga menganggap bahasa sebagai suatu sistem hubungan, dan mengakui adanya hubungan sintagmatik dan hubungan paradigmatik.
c. Aliran Firthian
Nama John R Firth (1890-1960) guru besar pada Universitas London sangat terkenal karena teorinya mengenai fonologi prosodi. Oleh sebab itu, aliran yang dikembangkannya dikenal dengan nama Aliran Prosodi, disamping itu dikenal pula dengan nama Aliran Firth, atau Aliran Firthian, atau Aliran London.
Fonologi prosodi adalah suatu cara untuk menentukan arti pada tataran fonetis. Fonologi prosodi terdiri dari satuan-satuan fonematis dan satuan prosodi. Satuan-satuan fonematis berupa unsur-unsur segmental, yaitu: konsonan dan vokal, sedangkan satuan prosodi berupa ciri-ciri atau sifat-sifat struktur yang lebih panjang daripada suatu segmen tunggal.
Ada tiga macam pokok prosodi, yaitu 1) prosodi yang menyangkut gabungan fonem; struktur kata, struktur suku kata, gabungan konsonan dan gabungan vokal, 2) prosodi yang terbentuk oleh sendi jeda, 3) prosodi yang realisasi fonetisnya melampaui satuan yang lebih besar daripada fonem-fonem suprasegmental.
Selain terkenal dengan teori prosodinya, Firth juga terkenal dengan pandangannya mengenai bahasa. Pandangannya mengenai bahasa ini dapat dibaca dalam bukunya yang berjudul ”The Tongues of
Man and Speech (1934) dan Papers in Linguistics (1951). Firth berpendapat bahwa telaah bahasa harus memperhatikan komponen sosiologis. Tiap tutur harus dikaji dalam konteks situasinya, yaitu orang-orang yang berperan dalam masyarakat, kata-kata yang mereka ungkapkan, dan hal-hal lain yang berhubungan.
d. Sistemik Aliran
Nama aliran linguistik sitemik tidak dapat dilepaskan dari nama M. A. K. Halliday, yaitu salah seorang murid Firth yang mengembangkan teori Firth mengenai bahasa , khususnya yang berkenaan dengan segi kemasyarakatan bahasa. Sebagai penulis Firth dan berdasarkan karangannya ”Categories of the Theory of Grammar”, maka teori yang dikembangkan oleh Halliday dikenal dengan nama ”Neo-Fitrhian Linguistics atau Scale and Category Linguistics”. Namun, kemudian ada nama baru, yaitu Systematic Linguisticn. Pokok-pokok pandangan ”Systematic Linguistic (SL)” adalah:
Pertama, SL memberikan perhatian penuh pada segi kemasyarakatan bahasa, terutama mengenai fungsi kemasyarakatan bahasa dan bagaimana fungsi kemasyarakatan itu terlaksana dalam bahasa. Kedua, SL mengandung bahasa sebagai ”pelaksana”. SL
mengakui pentingnya pembagian pembedaan langue dari parole (seperti yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure). Parole merupakan perilaku kebahasaan yang sebenarnya, sedangkan langue adalah jajaran pikiran yang dapat dipilih oleh seorang penutur bahasa. Ketiga, SL lebih mengutamakan pemerian ciri-ciri khas bahasa tertentu beserta variasi-variasinya, tidak atau kurang tertarik pada semestaan bahasa. Keempat, SL mengenal adanya gradiasi atau kontinum. Batas butir-butir bahasa seringkali tidak jelas. Misalnya saja tentang bentuk yang gramatikal dan yang tidak gramatikal. Skala tidak terbagi atas ”gramatikal” dan ”tidak gramatikal”,
seperti terlihat pada bagan (1), melainkan lebih rumit seperti terlihat pada bagan (2) di bawah ini:
Tidak gramatikal
| ||
Gramatikal | ||
Tidak gramatikal | ||
Lebih janggal | ||
| ||
Kurang janggal | ||
Kurang biasa | ||
Gramatikal (biasa) | ||
Lebih biasa |
Kelima, SL menggambarkan tiga tataran utama bahasa sebagai berukut:
SUBSTANSI | | FORMA | | SITUASI |
Substansi Fonik Substansi Grafis | Fonologi Grafologi | Leksis Gramatika | Konteks | Tesis Situasi langusng Situasi luas |
Yang dimaksud dengan substansi adalah bunyi yang diucapkan waktu kita berbicara, dan lambang yang kita gunakan waktu kita menulis. Substansi bahasa lisan disebut substansi fonis, sedangkan substansi bahasa tulis disebut substansi grafis. Sedangkan yang dimaksud dengan forma adalah susunan substansi dalam pola yang bermakna. Forma ini terbagi dua, yaitu: 1) leksis, yakni, yang menyangkut butir-butir lepas bahasa dan pola tempat butir itu terletak, 2) gramatika, yakni yang menyangkut kelas-kelas butir bahasa dan pola-pola terletaknya butir bahasa tersebut. Situasi meliputi tesis, stuasi langsung, dan situasi luas. Yang dimaksud dengan tesis suatu
tuturan adalah apa yang sedang dibicarakan, situasi langsung adalah situasi pada waktu tuturan benar-benar diucapkan orang, sedangkan situasi luas dari suatu tuturan menyangkut semua pengalaman pembicara atau penulis yang mempengaruhinya untuk memakai tuturan yang diucapkannya atau yang ditulisnya.
Selain ketiga tataran itu, ada dua tataran lain yang menghubungkan tataran-tataran utama, yang menghubungkan substansi fonik dengan forma adalah fonologi, dan yang menghubungkan substansi grafik dengan forma adalah grafologi. Sedangkan yang menghubungkan forma dengan situasi disebut konsep.
e. Leonard Bloomfield dan Strukturalis Amerika
Nama Leonard Bloomfiled (1877-1949) sangat terkenal karena bukunya yang berjudul Language (terbit pertama kali tahun 1933)., dan selalu dikaitkan dengan aliran struktural Amerika. Istilah strukturalis sebenarnya dapatdikenakan kepada semua aliran lingistik, sebab semua aliran linguistik pasti berusaha menjelaskan seluk-beluk bahasa berdasarkan strukturnya. Namun, nama strukturalisme lebih dikenal dan menyatu kepada nama aliran linguistik yang dikembangkan
Bloomfiled dan kawan-kawannya di Amerika. Aliran ini berkembang pesat di Amerika pada tahun tiga puluh sampaai akhir tahun lima puluhan.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan berkembangnya aliran ini, antara lain: Pertama, pada masa itu para linguis di Amerika mengahadapi masalah yang sama, yaitu banyak sekali bahasa Indian di Amerika yang diperikan. Mereka ingin memecahkan bahasa-bahasa Indian itu dengan cara baru, yaitu secara sinkronik. Cara lama yaitu secara historis atau diatronik kurang bermanfaat dan diragukan keberhasilannya karena segala bahasa-bahasa Indian itu sedikit sekali diketahui.
Kedua, jika Bloomfiled yang menolak mentalistik sejalan dengan iklim filsafat behaviorisme. Oleh sebab itu dalam memerikan bahasa strukturalisme ini selalu berdasarkan diri pada fakta-fakta objektif yang dapat dicocokkan dengan kenyataan-kenyataan yang dapat diamati. Juga tidak mengherankan kalau masalah makna atau arti kurang mendapat perhatian. Malah ada lingis Amerika yang sangat terpengaruh oleh Bloomfiled bertindak lebih jauh lagi dengan meninggalkan makna sama sekali. Misalnya, Zellig. S. Harris dengan bukunya strukturalis linguistics. Ketidak pedulian kelompok strukturalis
Amerika terhadap makna ini adalah berdasar pada cara kerjanya yang sangat bersandar pada data empirik. Makna tida dapat diamati secara empirik. Berbeda dengan fonem, morfem dan kalimat yang bisa diamati dan disegmentasikan.
Ketiga, diantara linguis-linguis itu ada hubungan yang baik larena adanya The Linguistics Society of America, yang menerbitkan majalah Language, wadah tempat mengumpulkan hasil kerja mereka. Satu hal yang menarik dan merupakan ciri aliran strukturalis Amerika ini adalah cara kerja mereka yang sangat menekankan pentingnya data objektif untuk memerikan suatu bahasa. Pendekatannya bersifat empirik. Data dikumpulkan secara cermat, setapak demi setapak. Bentuk-bentuk satuan bahasa (fonologi, morfologi dan sintaksis) diklasifikasikan berdasrkan distribusinya. Oleh sebab itu, mereka sering juga disebut kaum distribusionalis. Sebagai contoh penerapan distribusi dalam klasifikasi bentuk-bentuk bahasa misalnya dalam menentukan kelas kata. Kata kerja adalah kata yang dapat diikuti oleh frase ”dengan’...”, dan kata sifat adalah kata yang dapat didahului oleh kata ”sangat” atau kata ”paling”. Maka dengan dasar itu dapat dikatakan bahwa kata mati adalah kata kerja seba dapat menjadi frase mati dengan tenang. Sedangkan kata lincah adalah kata sifat, karena dapat
menjadi frase sangat lincah atau paling lincah. Padahal menurut ”pengertian” kata mati tidak menyatakan suatu ”kegiatan”, melainkan mengatakan suatu ”keadaan”. Sebaliknya kata lincah tidak menunjukkan ”keadaan”, melainkan suatu ”kegiatan”.
Aliran strukturalis yang dikembangkan oleh Bloomfiled dengan para pengikutnya sering juga disebut dengan taksonomi, dan aliran Bloomfieldian atau Post-Bloomfieldian, karena bermula atau bersumber pada gagasan Bloomfield. Disebut aliran taksonomi karena aliran ini menganalisis dan mengklasifikasikan unsur-unsur bahasa berdasarkan hubungan berdasarkan hirarkinya. Dalam menganalisis kalimat, misalnya digunakan teknik Immediate Constituents Analisys (IC Analisys) untuk melihat unsur-unsur langsung yang membangun kalimat tersebut. Kalimat Kakek membaca koran bekas, disajikan dalam bentuk kotak sebagai berikut:
kakek | membaca | koran | bekas |
| membaca | koran | bekas |
| | Koran | bekas |
Dengan diagram di atas, kita dapat dengan mudah bisa melihat hubungan yang mencakup atau tercakup antara unsur-unsur dalam suatu kalimat atau satuan bahasa lainnya.
f. Aliran Tagmemik
Aliran tagmemik dipelopori oleh Kenneth L Pike, seorang tokoh dari Summer Institute of Linguistics, yang mewarisi pandangan-pandangan Bloomfield, sehingga aliran ini juga bersifat strukturalis, tetapi juga antropologis. Menurut aliran ini satua dasar dari sintaksis adalah tagmen (kata ini berasal dari bahasa Yunani yang berarti ”susunan”).
Yang dimaksud dengan tagmen adalah korelasi antara fungsi gramatikal atau slot dengan sekelompok bentuk-bentuk kata yang dapat saling dipertukarkan untuk mengisi slot tersebut. Misalnya dalam kalimat ”Pena itu berada di atas meja, bentuk pena itu, mengisi fungsi subjek, dan tagmen subjeknya dinyatakan dengan pena itu.
Menurut Pike, satuan dasar sintaksis tidak dapat dinyatakan dengan fungsi-fungsi saja, seperti subjek + predikat + objek, dan tidak dapat dinyatakan dengan deretan bentuk-bentuk saja, seperti frase
benda + frase kerja + frase benda, melainkan harus diungkapkan bersamaan dalam deretan rumus seperti:
|
Rumus tersebut dibaca: fungsi subjek diisi oleh frase nominal diikuti oleh fungsi predikatif yang diisi oleh frase verbal, dan diikuti pula oleh fungsi objek yang diisi oleh frase nomina.
Dalam perkembangan selanjutnya, malah kedua unsur tagmen itu, yaitu fungsi dan bentuk (atau kategori pengisi fungsi) perlu ditambah juga dengan unsur peran (atau pengisi makna), dan kohesi (keterikatan antara satuan-satuan lingual) yang membentuk jalinan yang erat. Dengan demikian satuan dasar sintaksis itu, yaitu tagmen , merupakan suatu sistem sel-empat-kisi, yang dapat digambarkan sebagai berikut:
Fungsi | Kategori |
Peran | Kohesi |
Dengan demikian, kalau kalimat ”Saya menulis surat dengan pinsil”, diananalisis secara tagmemik, akan menjadi sebagai berikut:
S | KG | | P | KKt | | O | KB | | K | FD |
pel | | | ak | | | tuj | | | al | |
Saya | menulis | surat | dengan pinsil |
Keterangan:
S | = | fungsi subjek |
P | = | fungsi predikat |
O | = | fungsi objek |
K | = | fungsi keterangan |
KG | = | kata ganti |
KKt | = | kata kerja transitif |
KB | = | kata benda |
FD | = | frase depan |
pel | = | pelaku |
ak | = | aktif |
tuj | = | tujuan |
al | = | alat |
B. PEMBAGIAN LINGUISTIK
A. PENGANTAR LINGUISTIK
Bahasa atau Language merupakan produksi dari alat-alat bicara manusia (organ of speech) digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi dan berinteraksi. Bahasa mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan ini. Bloomfield berkata language plays a great, part in our live (1935: 3). Fakta menunjukkan bahwa manusia dapat saja menggunakan alat komunikasi lain selain bahasa. Namun, bahasa verbal tetap merupakan alat komunikasi yang paling baik dan sempurna.
Oleh sebab itu, studi atau kajian lingustik sangat penting karena akan memberikan pemahaman mengenai bahasa itu sebagai satu-satunya alat komunikasi yang paling baik dan sempurna. Kajian bahasa ada yang bersifat mikro/ mikrolinguistik dan ada yang bersifat makro/ makrolinguistik, dengan kata lain ada kajian bahasa secara internal dan kajian bahasa secara eksternal.
B. PENGERTIAN LINGUISTIK
Linguistik berasal dari bahasa Latin, yaitu kata “lingua”, artinya “bahasa”. Banyak bahasa yang mengambil dari bahasa Latin, misalnya: bahasa Prancis menggunakan istilah “langue” dan “langage”. Bahasa Italia menggunakan istilah “lingua”. Bahasa Spanyol menggunakan istilah “lengua”, dalam bahasa Inggris digunakan istilah “language” yang berarti “bahasa”.
Linguistik berarti ilmu bahasa. Sesuai dengan asalnya dari bahasa Latin, maka dalam bahasa Inggris dikenal istilah “linguistics”
dan “linguistique”, dalam bahasa Prancis. Dari kedua istilah tersebut, maka lahirlah kata “linguistik” dan “linguistis” dalam bahasa Indonesia. Kata “linguistik” lebih merujuk kepada kata benda atau “noun”, sedangkan kata “linguistis” lebih merujuk kepada kata sifat atau “adjective”.
Secara populer linguistik diartikan sebagai: 1) ilmu tentang bahasa, 2) ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajian, 3) telaah ilmiah mengenai bahasa manusia, dan 4) penyelidikan bahasa secara ilmiah.
Dari segi pengertian dan rumusan yang dikemukakan oleh para ahli linguistik, tampak ada perbedaan redaksi. Akan tetapi, jika dipandang dari segi objek kajian atau objek studi, tampaknya para ahli linguistik sepakat bahwa bahasa, baik secara langage, langue maupun sebagai parole merupakan objek kajian linguistik.
Sebenarnya banyak disiplin ilmu itu yang dapat menjadikan bahasa sebagai objek studi, artinya bahasa itu dapat diselidiki oleh banyak disiplin ilmu. Semua pakar dan disiplin ilmu dapat saja mengarahkan perhatiannya kepada bahasa dan menyelidikinya sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Akan tetapi, kajian itu tentu bukan kajian linguistik. Mereka menyelidiki bahasa bukan bertolak dari pandangan bahasa sebagai bahasa. Bahasa diselidiki sebagai manifestasi dari sesuatu yang lain. Dapat saja seorang ahli teknik telekomunikasi dan informasi menyelidiki bunyi-bunyi bahasa dengan metode ilmu teknik, tetapi tentu tujuannya adalah ingin
memperbaiki teknik telekomunikasi informasi itu. Tentu saja penyelidikan seperti ini tidak dapat digolongkan ke dalam ilmu linguistik. Jadi, ilmu linguistik di sini dimaksudkan secara spesifik adalah ilmu yang menyelidiki bahasa itu sebagai bahasa atau the study of language as a language.
Oleh sebab itu, tujuan mempelajari suatu bahasa ada yang disebut sebagai tujuan linguistis, artinya mempelajari suatu bahasa sebagai bahasa, karena ingin mengetahui kaidah-kaidah, sistem dan norma yang ada dalam bahasa itu. Misalnya, dalam bahasa Indonesia harus diketahui bahwa “di” ada dua, yaitu “di” sebagai kata depan atau “preposisi”, dan “di” sebagai awalan atau “prefiks”. Bahkan bukan hanya sampai di situ, tetapi lebih lanjut ingin diketahui ciri atau karakternya masing-masing. Akhinya diketahui bahwa “di” sebagai kata depan atau preposisi di belakangnya menunjukkan tempat/ arah dan menulisnya harus dipisah (misalnya: di perpustakaan, di atas, di sana, di kelas, di rumah, dan sebagainya). Sebaliknya “di” sebagai awalan atau prefiks, di belakangnya menunjukkan perlakuan atau kata kerja dan menulisnya harus dirangkai atau disambung (misalnya: dibaca, didengar, diuji, dicoba, dijual, diluluskan, dan sebagainya).
Tujuan mempelajari bahasa bermacam-macam, ada tujuan praktis, ada tujuan filosofis, dan ada tujuan estetis. Akan tetapi, tujuan seperti yang ditunjukkan di atas jelas termasuk kajian linguistik atau ilmu linguistik dalam bahasa Indonesia.
Dari beberapa contoh yang telah diuraikan di atas, dapat dipahami bahwa (misalnya dalam bahasa Indonesia) ada linguistik khusus dan ada linguistik umum. Dalam mata kuliah ini disebut linguistik umum, karena tidak hanya meyelidiki satu bahasa tertentu saja, misalnya bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.
Linguistik umum berkaitan dengan bahasa pada umumnya. Kalau dikatakan dengan istilah yang dipergunakan oleh Ferdinand de Saussure (pelopor linguistik modern), maka ilmu linguistik tidak hanya menyelidiki langue, tetapi linguistik juga menyelidiki langage atau bahasa pada umumnya.
Bahasa di dunia ini sangat beragam dan berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Setiap bahasa memiliki karakter, ciri dan keunikannya masing-masing, baik dari segi fonologi, morfologi, maupun sintaksisnya. Akan tetapi, bahasa-bahasa itu juga mempunyai sifat-sifat universal, artinya setiap bahasa memiliki kesamaan-kesamaan yang berlaku secara umum.
Berdasar dari uraian di atas, maka linguistik harus bersifat umum. Meskipun dapat saja seorang linguis (ahli linguistik) melakukan pengkajian khusus terhadap bahasa tertentu misalnya bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Arab, bahasa Bugis, yang melahirkan linguis Indonesia, linguis Inggris, linguis Arab dan linguis Bugis. Akan tetapi, setiap ahli linguistik itu harus memahami karakter beberapa bahasa yang lain selain bahasanya sendiri. Tentunya lebih
baik lagi jika bahasa yang dikuasainya itu adalah bahasa yang tidak serumpun dengan bahasanya.
C. BEBERAPA SUBDISIPLIN LINGUISTIK
Setiap disiplin ilmu biasanya memiliki subdisiplin atau cabang yang berkaitan dengan adanya hubungan disiplin itu dengan masalah-masalah lain. Misalnya, dari disiplin filsafat, lahir filsafat ekonomi, filsafat hukum, filsafat agama, filsafat pendidikan, filsafat bahasa dan lain-lain. Dari antropologi, lahir subdisiplin antropologi fisik dan antropologi budaya.
Linguistik yang menjadikan bahasa sebagai objek kajian merupakan fenomena yang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan masyarakat. Fenomena ini kemudian mengantarkan masalah-masalah itu menjadi sangat luas dan kompleks. Dengan demikian, subdisiplin atau cabang linguistik pun banyak.
Dari disiplin linguistik lahir subdisiplin atau cabang linguistik yaitu: 1) linguistik umum, 2) linguistik khusus, 3) linguistik sinkronik, 4) linguistik diakronik, 5) linguistik mikro/ mikrolinguistik, 6) linguistik makro/ makrolinguistik, 7) linguistik teoritis, dan 8) linguistik terapan.
Linguistik umum atau general linguistic adalah ilmu linguistik yang bertujuan mengkaji persoalan-persoalan bahasa atau kaidah-kaidah bahasa secara umum. Linguistik umum menyangkut bahasa yang ada di dunia ini pada umumnya. Mengkaji masalah-masalah bahasa, kaidah-kaidah bahasa yang berlaku secara umum.
Linguistik khusus mengkaji masalah-masalah bahasa, kaidah-kaidah bahasa yang berlaku pada bahasa-bahasa tertentu saja, misalnya bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Arab, bahasa Makassar, bahasa Bugis, dan lain sebagainya, bahasa-bahasa tertentu yang ada di dunia ini.
Linguistik sinkronik dan linguistik diakronik dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure. Kata sinkronik berasal dari bahasa Yunani, “syn” berarti “dengan atau bersama”, sering juga berarti “satu”. “kronis” berarti “waktu/ masa”. Linguistik sinkronik mempelajari bahasa pada waktu tertentu atau pada suatu masa yang terbatas dan dapat dilakukan terhadap beberapa bahasa. Linguistik sinkronik sering juga disebut linguistik deskriptif, karena berupaya mendeskripsikan suatu bahasa pada waktu tertentu saja.
Kata diakronik juga berasal dari bahasa Yunani, “dia” berarti “melalui”, bias juga berarti “dua”. Linguistik diakronik mengkaji suatu bahasa atau beberapa bahasa dalam waktu yang tidak terbatas, atau lebih dari satu periode. Kajian ini menyelidiki perkembangan suatu bahasa, bahkan membandingkan bahasa dari satu period eke periode yang lain. Oleh sebab itu, sering disebut linguistik historis dan linguistic komparatif (historical linguistic and comparative linguistic). Linguistik diakronik ingin mengetahui sejarah bahasa itu dan perkembangannya.
Selanjutnya, linguistik mikro atau mikrolinguistik dan linguistik makro atau makrolinguistik. Jika penelitian itu ingin
mengkaji struktur internal suatu bahasa tertentu atau bahasa pada umumnya, disebut kajian yang bersifat mikro atau mikrolinguistik. Misalnya hanya mengkaji aspek fonologi/ ilmu saut, aspek morfologi/ ilmu tasrif, aspek sintaksis/ ilmu nahwu, dan aspek semantik/ ilmu maani dan leksikologi/ ilmu luga.
Kajian yang bersifat mikro/ mikrolinguistik ini melahirkan fonologi bahasa Indonesia, semantik bahasa Indonesia, dan leksikologi bahasa Indonesia. Linguistik mikro ini merupakan studi dasar dari linguistik dan bahasa, sebab hanya mempelajari struktur internal suatu bahasa.
Sebaliknya, jika penelitian itu ingin menyelidiki suatu bahasa tertentu atau bahasa pada umumnya dalam hubungannya dengan faktor-faktor yang ada di luar bahasa (studi bahasa dalam kaitannya dengan penutur, geografis, nilai dan budaya), disebut linguistik makro atau makrolinguistik. Oleh karena faktor-faktor yang ada di luar bahasa itu sangat banyak dan lebih dinamis, akhirnya subdisiplin makro ini lebih terbuka dan berkembang terutana jika dilihat dari segi penutur suatu bahasa. Subdisiplin ilmu yang termasuk linguistik makro adalah: sosiolinguistik, psikolinguistik, antropolinguistik, etnolinguistik, filologi, dialektologi, stilistika, neurolinguistik dan filsafat bahasa.
Selanjutnya, linguistik teoritis dan linguistik terapan. Disebut linguistik teoritis apabila penyelidikan tentang suatu bahasa itu hanya dimaksudkan untuk menyelidiki bahasa sebagai bahasa dan
faktor-faktor yang ada di luar bahasa semata-mata untuk menemukan kaidah-kaidah yang berlaku dalam bahasa itu. Kepentingan itu untuk teori saja, misalnya penyelidikan itu hanya untuk melahirkan teori tentang tata bahasa dari bahasa tertentu.
Selanjutnya, jika kajian/ penelitian bahasa itu dimaksudkan untuk memecahkan masala-masalah praktis yang terdapat dalam suatu masyarakat disebut linguistik terapan. Misalnya penyelidikan suatu bahasa dan kaitannya dengan faktor-faktor yang ada di luar bahasa itu (penutur, geografis, nilai, budaya dan sebagainya) untuk kepentingan pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia di masyarakat itu. Memanfaatkan pengetahuan linguistik untuk melakukan pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia di kalangan ibu-ibu rumah tangga masyarakat terpencil, termasuk linguistik terapan.
D. MANFAAT ILMU LINGUISTIK
Ada ungkapan, semua guru adalah guru bahasa (all teachers are language teacher). Ungkapan ini tentu saja banyak benarnya. Guru bidang studi lain harus memiliki pengetahuan linguistik yang cukup, sebab guru bidang studi apapun akan menggunakan bahasa sebagai saluran channel dalam menjelaskan materi pelajarannya. Guru bidang studi matematika misalnya, akan menggunakan bahasa untuk menjelaskan penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. Bahkan guru bidang studi bahasa menggunakan bahasa sebagai alat untuk menjelaskan materi pengajaran bahasa itu. Oleh sebab itu
bahasa juga bersifat metalingual, artinya bahasa itu digunakan untuk membicarakan dirinya sendiri. Tidak salah juga kalau dikatakan bahwa semua guru di Indonesia adalah guru bahasa Indonesia (in Indonesia all teachers are Indonesia teacher). Guru bidang studi apapun harus terlibat dengan urusan bahasa pada saat menyampaikan mata pelajaran.
Pengetahuan linguistik sangat penting bagi guru bahasa. Guru bahasa harus mengetahui aspek fonologi, morfologi, sintaksis, semantic, leksikologi, termasuk hubungan bahasa dengan masyarakat dan budayanya. Bahasa bukan warisan biologis, karena itu perlu diajarkan dan dilatihkan kepada murid atau siswa. Guru bahasa yang tidak menguasai aspek-aspek bahasa dan satuan-satuan bahasa tentu tidak akan dapat menjelaskan materi pelajaran itu secara baik kepada siswa.
Sebagai guru bahasa bukan saja harus melatih keterampilan berbahasa siswa (menyimak/ listening comprehension, berbicara/ speaking, membaca/ reading, dan menulis/ writing), tetapi harus mampu menjelaskan kaidah-kaidah bahasa secara benar. Sebagai guru bahasa Indonesia harus mampu menjelaskan secara tepat mengapa di atas, di sekolah, di pasar, di rumah menulisnya harus dipisah dan mengapa pula diajar, ditulis, diuji, dibaca menulisnya harus dirangkai. Guru bahasa Indonesia harus mampu menjelaskan sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia mengapa menyukseskan, mengombinasikan, memarkir dan menaati
menulisnya harus dirangkai. Selanjutnya, pikirkan apa manfaat ilmu linguistik terhadap ilmuan, negarawan, sastrawan, leksikografer, penyusun buku teks, pengonsep surat/ sekretaris, dan muballigh/ muballigah.
E. PENGERTIAN DAN DEFINISI BAHASA
Kata “bahasa” dalam bahasa Indonesia mempunyai banyak makna. Perhatikan penggunaan kata bahasa dalam kalimat-kalimat ini (contoh ini diambil dari buku Abdul Chaer halaman 31):
a. Ina belajar bahasa Inggris, Nia belajar bahasa Arab, dan Ani belajar bahasa Jepang. Kata bahasa di sini berarti bahasa tertentu, merujuk ke suatu bahasa tertentu saja,
b. Salah satu ciri pembeda antara manusia dengan binatang adalah karena manusia mempunyai bahasa. Kata bahasa di sini merujuk kepada bahasa pada umumnya, kebalikan dari kata bahasa nomor 1 di atas,
c. Hati-hati menghadapi anak yang tidak tahu bahasa itu. Bahasa di sini berarti sopan santun,
d. Dalam perkara ini, Lurah dan Camat tidak mempunyai bahasa yang sama. Kata bahasa di sini berarti pandangan/ paradigma, kebijakan dalam bertindak,
e. Masalah Aceh tidak dapat diselesaikan dengan bahasa militer. Kata bahasa di sini berarti dengan cara,
Kalau pak Harto berbicara bahasanya penuh dengan kata daripada. Kata bahasa berarti ujaran
Kalau ditanyakan apakah bahasa itu (what is the language)?, maka pada umumnya jawaban yang akan muncul ialah bahasa merupakan alat komunikasi/ language is a toll of communication. Jawaban ini tidak benar, karena hanya memandang bahasa sebagai alat. Jawaban seperti di atas benar apabila yang ditanyakan adalah fungsi bahasa, karena bahasa memang digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi. Tetap jawaban seperti itu sangat wajar karena bahasa adalah sebuah fenomena sosial yang dapat dilihat dari berbagai sudut pandang.
Oleh karena bahasa dapat dilihat dari berbagai aspek dan sudut pandang, maka dapat saja muncul beragam jawaban ketika ada pertanyaan seperti di atas. Seorang yang mengamati pemerolehan atau akuisisi bahasa anak balita terhadap bahasa ibunya (B1) dapat mengatakan bahwa bahasa itu adalah sebuah kebiasaan (language is a habit). Ada yang mengamati hubungan antara bahasa dengan pikiran, orang ini tentu saja dapat menjawab pertanyaan “apakah bahasa itu?” dengan jawaban bahasa adalah sebuah representasi pikiran (language is a representation of mind). Akan tetapi, sekali lagi jawaban-jawaban seperti di atas hanya berdasar pada fenomena-fenomena sosial, bukan mencerminkan sosok utuh bahasa itu sendiri. Ada hal yang sangat esensi dan mendasar yang tidak terungkap yaitu bahasa adalah lambing-lambang bunyi yang dihasilkan oleh alat-alat bicara manusia (organ of speech) yang bersifat arbitrer.
Menurut hemat penulis, pengertian bahasa yang bersifat adil adalah bahasa itu sebagai fenomena sosial bahwa bahasa itu memang mempunyai wujud berupa lambing-lambang murni manusiawi. Dengan demikian, dapat dirumuskan bahwa bahasa adalah alat pengungkap pikiran, perasaan dan kemamuan melalui lambang-lambang yang diciptakan dengan sengaja oleh manusia.
Definisi bahasa yang tidak hanya menunjukkan fungsi sosial telah dikemukakan oleh Kridalaksana, yaitu bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasikan diri (1993: 21). Selanjutnya, Suparno mendefinisikan bahasa sebagai sistem lambang bunyi oral yang arbitrer yang digunakan oleh sekelompok manusia atau masyarakat sebagai alat komunikasi atau berinteraksi.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa bahasa itu mempunyai ciri/ hakikat, sebagai berikut: 1) bahasa adalah sebuah sistem, 2) bahasa berwujud lambang, 3) bahasa berupa bunyi, 4) bahasa bersifat arbitrer, 5) bahasa itu bermakna, 6) bahasa itu konvensional, 7) bahasa itu unik, 8) bahasa itu universal, 9) bahasa itu produktif, 10) bahasa itu dinamis, 11) bahasa itu bervariasi, 12) bahasa itu interaksi sosial, 13) bahasa itu merupakan identitas penuturnya.
F. WUJUD SATUAN-SATUAN BAHASA
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa bahasa itu mempunyai wujud, bahasa memiliki sosok, maka selanjutnya akan diuraikan wujud satuan-satuan bahasa itu. Satuan artinya organisasi unsur yang bermakna atau penggalan-penggalan dari perilaku yang bermakna. Hirarki satuan-satuan bahasa yaitu: 1) fonem/ phoneme, 2) morfem/ morpheme, 3) kata/ word, 4) frase/ phrase, 5) klausa/ clause, 6) kalimat/ sentence, 7) paragraf/ paragraph, 8) wacana/ discourse.
Fonem atau phoneme adalah satuan bunyi bahasa terkecil yang dapat menunjukkan perbedaan atau berkontras. Eksistensinya kecil akan tetapi kehadirannya mampu membedakan arti/ makna. Misalanya dalam bahasa Indonesia /h/ adalah sebuah fonem, karena kehadirannya mampu membedakan arti kata harus dengan arus. Begitupula /b/ dan /p/ juga adalah fonem karena masing-masing dapat membedakan makna kata bara dengan para. Selanjutnya, /l/ dan /s/ juga termasuk fonem karena mampu mebedakan arti kata laku dengan saku. Fonem selalu ditulis diantara dua garis miring.
Morfem/ morpheme adalah satuan bahasa terkecil yang maknanya secara relatif stabil dan tidak dapat dibagi atas bagian-bagian bermakna yang lebih kecil. Morfem ditulis diantara dua kurung kurawal. Morfem sudah memiliki makna, perhatikan deret morfologis berikut ini: bertani, bekerja, dan belajar. Dari ketiga kata ini dapat dilihat dari bentuk ber-, be- dan bel-, ada tiga bentuk, tetapi hanya satu arti yakni melakukan. Ketiga morfem ini adalah wakil satuan bahasa yakni morfem {ber-}.
Kalau dikatakan morfem merupakan pembentuk kata, maka ada benarnya jika dikatakan morfem bukanlah kata. Kata tidak selamanya terdiri dari satu morfem, tetapi dapat lebih dari satu morfem. Walaupun sebuah kata ada yang terdiri dari satu morfem misalnya, dia, mereka, lari, rumah, meja, tetapi tidak dapat diartikan bahwa morfem itu sama dengan kata. Kata dia, mereka, lari, rumah, meja, masing-masing terbentuk dari satu morfem, yakni: morfem dia, mereka, lari, rumah dan meja. Itulah sebabnya ketika menulis hirarki satuan-satuan bahasa di depan penulis meletakkan kata satu tingkat di atas morfem, walaupun sering morfem itu disamakan dengan kata.
Berdasar dari uraian di atas tampak bahwa secara garis besar morfem itu ada dua, yakni: 1) morfem bebas/ free morphme, dan 2) morfem terikat/ bound morpheme. Morfem bebas yaitu morfem yang secara potensial dapat berdiri sendiri (misalnya: dia, mereka, lari, rumah dan meja, seperti pada contoh di atas). Sedangkan morfem terikat yaitu morfem yang tidak mempunyai potensi untuk berdiri sendiri, karena ketika ia berdiri sendiri maka tidak memiliki makna, selalu terikat dengan morfem lain, misalnya: {ter-}, {di-}, {pe-}.
Selanjutnya, kata atau word. Uraian tentang morfem di atas sesungguhnya sudah memberikan informasi tentang apakah kata itu. Kata dapat dibentuk dari satu morfem (dia, mereka, lari, meja dan rumah, dan lain-lain). Akan tetapi juga dapat dibentuk dari dua morfem atau lebih (pancasila, mahasiswa, dibaca, diuji, ditulis, dan lain-lain). Kata “diluluskan” terbentuk dari tiga morfem, yaitu {di-},
{lulus}, dan {-kan}. Jelasnya, kata dapat dibentuk dari morfem tunggal dan dapat pula dibentuk dari gabungan morfem.
Dari kenyataan di atas, dapat dikatakan bahwa kata adalah satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri atau yang dapat diujarkan sebagai bentuk yang bebas. Secara visual, kata pada umumnya ditulis dalam satu kesatuan, kecuali kata majemuk yang relasi semantik antara unsurnya masih renggang. Kata matahari, kosakata, dianaktirikan, dikambinghitamkan, ditulis dalam satu kesatuan/ dirangkai. Kata rumah makan, kamar mandi, anak tiri, kambing hitam, ditulis tidak dalam satu kesatuan atau dipisah.
Frase/ phrase merupakan satuan gramatikal dari gabungan dua kata atau lebih yang tidak melebihi fungsi sintaksis atau tidak bersifat predikatif (Ramlan, 2001: 138). Frase ialah satuan gramatikal yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi unsur klausa. “gunung tinggi” termasuk frase karena merupakan konstruksi yang tidak bersifat predikatif (tidak ada yang berfungsi sebagai subjek S dan predikat atau P). Konstruksi ini sangat berbeda halnya dengan “gunung itu tinggi”. Konstruksi ini jelas tidak dapat dikategorikan sebagai frase karena bersifat predikatif, artinya ada yang berfungsi sebagai subjek dan predikat (gunung itu sama dengan subjek dan tinggi sama dengan predikat). Dengan demikian, satuan gramatikal rumah mewah, mahasiswa baru, belum makan, sudah lulus, di ruang kelas, di kamar mandi, akan menulis, akan dimakan, membawa berita gembira, seluruhnya merupakan
berfungsi sebagai subjek atau S dan tidak ada yang berfungsi sebagai predikat atau P.
Frase tidak dapat diukur atau dibatasi oleh jumlah kata, karena ada frase teridiri dari dua kata, tiga kata, empat kata dan seterusnya. Jadi, ukurannya bukan berdasar kepada jumlah kata, melainkan berdasar kepada adanya yang berfungsi sebagai subjek dan predikat.
Sekali lagi, perhatikan satuan gramatikal berikut ini: “buku catatan linguistik umum kamu kemarin itu”, (terdiri dari tujuh kata, akan tetapi konstruksi ini tidak bersifat predikatif, kerana itu meskipun tampak panjang, tetapi tetap dalam kategori frase. Berbeda halnya kalau dikatakan “catatan buku linguistik kamu yang basah itu”, (konstruksi ini bersifat predikatif), karena itu bukan frase.
Klausa/ clause adalah satuan gramatikal yang sekurang-kurangya terdiri dari subjek dan predikat dan memiliki potensi untuk membentuk/ menjadi kalimat. Ramlan (2001: 79) mendefinisikan klausa sebagai satuan gramatikal yang terdiri dari S, P, baik disertai O, Pelaku dan Keterangan, maupun tidak. Jika dikatakan bahwa klausa itu merupakan pembentuk kalimat atau berpotensi menjadi kalimat, maka berarti klausa itu bukanlah kalimat. Dalam klausa fungsi subjek (S) dan fungsi predikat (P) bersifat wajib, sedangkan fungsi yang lannya tidak wa
Adalah konstruksi yang bersifat predikatif, terdapat fungsi subjek dan predikat (ruang kuliah kami sama dengan subjek dan di gedung B sama dengan predikat). Bandingkan satuan gramatikal/ konstruksi antara “kamar mandi dan adik mandi”. Konstruksi “kamar mandi” bukan klausa, karena hubungan komponen antara “kamar” dengan “mandi” tidak bersifat predikatif. Sebaliknya, konstruksi gramatikal “adik mandi” adalah sebuah klausa, karena hubungan komponen antara “adik” dan “mandi” bersifat predikatif (adik sama dengan subjek dan mandi sama dengan predikat).
Kalimat atau sentence. Dalam tata bahasa tradisional kalimat didefinisikan sebagai ujaran yang berisi pikiran lengkap yang tersusun dari yang sekurang-kurangya ada subjek dan predikat. Secara sederhana sering dikatakan bahwa kalimat adalah susunan atau gabungan dari beberapa kata yang mengandung pengertian yang lengkap. Kridalaksana (1993: 92) mendefinisikan bahwa kalimat adalah satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi yang final/ akhir yang secara aktual maupun potensial terdiri dari klausa.
Dari definisi di atas, dapat diketahui bahwa kalimat itu mempunyai ciri yang esensial. Ciri itu adalah: 1) kalimat itu terisolasi secara relatif/ bebas berdiri sendiri, 2) kalimat itu memiliki pola intonasi final/ akhir, 3) kalimat itu tersusun/ terbentuk dari klausa.
Contoh kalimat: Uni membaca novel di perpustakaan, nenekku masih cantik.
Paragraf atau paragraph. Dalam sebuah paragraf terdapat sejumlah kalimat, dengan demikian paragraf merupakan wujud satuan bahasa yang lebih besar daripada kalimat. Menurut Kridalaksana (1993: 154) paragraf adalah satuan bahasa yang mengandung satu tema dan pengembangannya.
Contoh paragraf:
Keluarga itu merupakan keluarga yang berhasil. Ayah menduduki posisi strategis di kantornya. Ibu walaupun di rumah saja, benar-benar telah menjadi pendidik dalam rumah tangga. Anak pertamanya baru saja selesai kuliah di Universitas Muhammadiyah Makassar, sudah ditawari pekerjaan di sebuah perusahaan terkemuka. Adiknya memiliki prestasi yang luar biasa di sekolahnya. Dari contoh ini tampak bahwa paragraf sudah mengandung satu kesatuan isi sebagai bagian dari isi wacana.
Wacana/ discourse. Wacana merupakan satuan bahasa yang paling lengkap yang dapat direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (artikel, novel, buku, ensiklopedia dan sebagainya). Dalam bentuk paragraf, kalimat bahkan wacana dapat direalisasikan dalam bentuk kata yang membawa maksud pengertian yang lengkap. Wacana dapat diartikan sebagai: 1) ucapan, perkataan, tuturan, 2) keseluruhan tuturan yang merupakan satu-kesatuan, 3) satuan bahasa terlengkap yang realisasinya tampak pada bentuk karangan
bahasa wacana merupakan satuan bahasa pembawa amanat yang paling lengkap.
Dari segi bentuk saluran/ channel, wacana dapat dibagi menjadi dua jenis, yakni wacana lisan dan wacana tulisan. Wacana lisan adalah wacana yang disampaikan melalui bahasa lisan (oral language), misalnya wacana yang digunakan seorang khatib ketika berkhutbah. Sedangkan wacana tulisan adalah wacana yang disampaikan dalam bentuk bahasa tulis (written language), misalnya: novel, buku, surat, surat kabar, dan sebagainya. Sebuah wacana sebagai teks yang utuh tidak memiliki ketergantungan dengan teks yang berada di luarnya. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa wacana itu bersifat final.
G. ASPEK-ASPEK BAHASA
Telah dituliskan pada bagian pendahuluan bahwa studi/ kajian bahasa itu ada yang bersifat mikro/ mikrolinguistik dan ada yang bersifat makro/ makrolinguistik. Dengan kata lain ada kajian internal dan ada kajian ekternal.
Untuk mengkaji bahasa secara ilmiah, bahasa harus dipisah ke dalam beberapa aspeknya. Berbicara tentang aspek-aspek bahasa, maka yang dimaksudkan di sini adalah: 1) aspek fonologi, 2) aspek morfologi, 3) aspek sintaksis, dan 4) aspek semantik.
Fonologi atau fhology adalah cabang linguistik yang mempelajari fonem (unit/ sekelompok bunyi) terkecil dalam suatu
bahasa tertentu yang dapat membedakan makna atau berkontras. Misalnya, dalam bahasa Indonesia /l/, dan /s/ adalah sebuah fonem, karena kehadirannya dapat membedakan arti kata “laku” berbeda maknanya dengan kata “saku”.
Ahli linguistik atau linguis dalam menyelidiki bahasa biasanya memulai dengan memperhatikan unit bunyi terkecil dengan teknik “pasangan terkecil/ minimal pair”. Cara ini dilakukan dengan membuat pasangan kata dengan perbedaan suatu fonem saja untuk membedakan arti dari kata lain. Kedua bunyi yang berbeda dalam pasangan itu merupakan dua fonem karena kehadirannya dapat membedakan arti.
Contoh: /pahit/ /jahit/ /para/ /bara/
/tidur/ /timur/ /berat/ /barat/ /paku
/saku/ /dalam/ /dalang/ /butuh/ /bunuh/
Dalam pasangan kata di atas terbukti bahwa kehadirannya membawa makna tersendiri. Karena itu berbedalah makna antara kata “pahit” dan “jahit”, kata “para” dan “bara”, kata “dalam” dan “dalang”, kata “butuh” dan “bunuh”, kata “paku” dan “saku”.
Fonologi boleh disebut sebagai ilmu bunyi yang fungsional. Kridalaksana (1993: 57) mendefinisikan fonologi sebagai bidang linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya. Dalam bahasa yang mudah dipahami, fonologi berarti ilmu tentang
fonem/ bunyi dalam suatu bahasa. Dengan kajian fonologi dapat diketahui perbedaan-perbedaan bunyi (sound discrimination) bukan karena sifatnya sebagai alofon (dua bunyi yang hampir sama tetap karena karakteristiknya akibat perbedaan paradigan atau wajan). Tentu saja tidak termasuk perbedaan bunyi yang disebabkan oleh teknik membaca yang berbeda, seperti “energi” dibaca “enerhi/ enersi”, “generasi” menjadi “henerasi”, “filologi” menjadi “pilolohi”, “sosiologi” menjadi “sosiolohi”, “antropologi” menjadi “antropolohi” “biologi” menjadi “biolohi”, “agustus” menjadi “ahustus”, atau dalam qira’ah sab’ah/ bacaan tujuh “wadduha” menjadi “wadduhe”.
Morfologi atau morphology adalah bagian atau cabang linguistik yang mempelajari dan menganalisis susunan/ struktur bentuk dan klasifikasi kata secara gramatikal. Setiap bahasa mengenal adanya perubahan bentuk atau derivasi (derivation). Perubahan satu bentuk (asal kata) menjadi bermacam-macam bentuk untuk mendapatkan makna yang berbeda pula merupakan kajian morfologi. Kridalaksana (1993: 142) mengartikan morfologi sebagai bidang linguistik yang mempelajari morfem dan kombinasinya, bagian dari struktur bahasa yang mencakup kata dan bagian-bagian kata. Dalam bahasa yang sederhana, morfologi berarti ilmu tentang morfem dan bentuk kata dalam satu bahasa.
Sintaksis atau syntax adalah cabang dari ilmu linguistik atau tata bahasa yang mempelajari struktur kalimat sebagai pernyataan gagasan. Dalam bidang sintaksis dipelajari deretan dan hubungan
timbal balik antara kata, frase, klausa, kalimat. Kalimat “mahasiswa jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia rajin mempelajari linguisti umum” memberi makna tertentu karena konstruksinya mengikuti kaidah-kaidah sintaksis bahasa Indonesia. Adapun kalimat “rajin linguistik umum mahasiswa jurusan bahasa dan sastra Indonesia rajin mempelajari” tentu tidak mengandung makna karena konstruksinya tidak mengikuti aturan sintaksi bahasa Indonesia.
Selanjutnya kalimat where did you study generale linguistics? mengandung makna yang jelas, karena susunannya sesuai dengan kaidah-kaidah sintaksis bahasa Inggris. Sebaliknya, study generale linguistics did you where, tidak mengandung makna karena konstruksinya tidak mengikuti aturan-aturan sintaksis bahasa Inggris. Dengan kata lain, bermakna karena jelas fungsi sintaksisnya dan tidak bermakna karena tidak jelas fungsi sintaksisnya.
Kridalaksana (1993: 199) menuliskan bahwa sintaksis adalah pengaturan dan hubungan antara kata dengan kata atau dengan satuan-satuan yang lebih besar dalam bahasa. Dalam bahasa yang sederhana dapat dikatakan bahwa sintaksis adalah bidang linguistik yang mempelajari susunan-susunan kalimat dalam suatu bahasa.
Semantik atau semantic atau ilmu maani/ ilmu makna. Dalam bahasa Indonesia terdapat kata “semantik” dan “semantis”. Semantik sebagai kata benda/ noun, dan semantis sebagai kata sifat/ adjective. Semantik berarti teori makna atau teori arti, semantik adalah cabang linguistik yang mempelajari makna/ arti. Semantik mengikuti.
peruabahan-perubahan makna kata, ungkapan mempelajari makna konotatif dan makna denotatif serta ketidakjelasan makna kata/ ungkapan.
Kridalaksana (1993: 193) mengartikan semantik sebagai bagian struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan, struktur makna suatu wicara dan penyelidikan makna dalam satu bahasa atau bahasa pada umumnya.
Makna atau arti lahir dalam tata bahasa (morfologi dan sintaksis, maupun dalam leksikon). Karena itu semantik sebagai kajian linguistik tidak terlalu berkembang dibanding dengan sintaksis. Kurang berkembangnya itu karena makna/ arti/ meaning adalah sesuatu yang sulit untuk diberi pengertian yang ilmiah objektif dan universal. Para ahli linguistik tidak memiliki meyelidiki bagaimana gagasan atau kata-kata itu lahir dan berada dalam pikiran. Mereka lebih menyelidiki bagaimana gagasan itu diungkapkan melalui kata dan kombinasinya.
H. SATUAN SINTAGMATIK DAN SATUAN PARADIGMATIK
Sebagaimana telah diuraikan di depan bahwa bahasa itu adalah sebuah sistem, memiliki sosok atau wujud berupa satuan-satuan. Satuan-satuan dalam bahasa itu mempunyai tautan/ hubungan/ relasi dengan satuan yang lain. Setiap satuan bagi terbentuknya satuan-satuan yang lebih besar merupakan unsur (constituent). Oleh sebab itu, dalam setiap bahasa terdapat relasi antar unsur. Kalimat “Piala rektor Unismuh diperebutkan setiap tahun”,
terdiri dari tiga unsur, yakni “Piala rektor”. “diperebutkan”, dan “setiap tahun”. Ketiga unsur itu memiliki hubungan secara “fungsional”. Unsur “Piala rektor Unismuh merupakan subjek, diperbutkan merupakan predikat, dan setiap tahun merupakan keterangan (keterangan waktu/ manner of time).
Relasi antar unsur dapat dilihat dari dua dimensi, yakni “dimensi horizontal”, dan “dimensi vertikal”. Dengan demikian terdapat relasi antar unsur horizontal dan unsur yang bersifat vertikal. Pemilahan relasi seperti ini dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure dengan istilah “relasi sintagmatis” dan relasi “asosiatif”, karena label “asosiatif” ini cenderung berbau psikologi, maka “linguis strukturalis” tidak menggunakannya, mereka menggunakan istilah “relasi paradigmatis”.
Relasi sintagmatik/ syntagmatic relationship adalah relasi antar unsur bahasa yang hadir dalam suatu tuturan. Kridalaksana (1992: 199) mendefinisikan bahwa relasi sintagmatik adalah hubungan linear antar unsur-unsur bahasa dalam tataran tertentu. Misalnya hubungan antara “kami, bermain dan bola” dalam kalimat “kami bermain bola”. Relasi sintagmatik ini juga sering disebut dengan hubungan in prasentia.
Berikut ini diberikan beberapa contoh hubungan sintagmatik dalam tataran fonologi, misalnya fonem/ bunyi: /b/, /a/, /t/, dan /u/. Dari empat fonem ini, dalam bahasa Indonesia dapat lahir bermacam-macam “relasi sintagmatik” dan
memungkinkan terbentuknya kata “batu, buta, buat, baut, tuba dan tabu”, masing-masing kata itu dapat dijabarkan sebagai berikut:
1) b ---------- a ---------- t ---------- u
2) b ---------- u ---------- t ---------- a
3) b ---------- u ---------- a ---------- t
4) b ---------- a ---------- u ---------- t
5) t ---------- u ---------- b ---------- a
6) t ---------- a ---------- b ---------- u
Pada tataran morfologi tampak adanya relasi unsur pembentuk kata. Dalam konteks ini, imbuhan dan bentuk dasar tidak dapat bertukar tempat. Misalnya, kata “nonaktif” tidak ada “aktif non”, “nonpredikatif” tidak ada “predikatif non”, “nonekonomis” tidak ada “ekonomis non”. Dalam kata majemuk, unsur-unsur pembentuknya juga juga berelasi linear secara tetap. Perubahan relasi akan menimbulkan perubahan status kata. Konstruksi “segi tiga” adalah kata majemuk, sedangkan konstruksi “tiga segi” merupakan frase.
Frase “tadi pagi” dan “pagi tadi” mempunyai arti yang berbeda akibat urutan unsur pembentuknya. Pada frase “tadi pagi” unsu “pagi” sebagai inti dan unsur “tadi” merupakan atribut. Adapun frase “pagi tadi”, unsur “tadi” merupakan inti dan unsur “pagi” merupakan atribut. Oleh sebab itu, secara visual kedua bentuk dan relasi sintagmatiknya dapat dilihat berikut ini:
1) Tadi ---------- pagi
Pagi ---------- tadi
Dalam tataran kalimat, terbentuknya kalimat gramatikal, karena unsur-unsur yang menduduki fungsi tertentu berkelompok menjadi satu satuan dan satuan-satuan yang menduduki fungsi itu berkaitan secara sintagmats. Dalam tataran kalimat, berikut contohnya:
1) Dia itu ------ anak orang kaya ------ dulu
2) Dia itu ------ dulu ------ anak orang kaya
3) Dulu ------ dia itu ------ anak orang kaya
Dari ketiga relasi/ hubungan di atas akan membentuk kalimat yang berbeda-beda, yakni:
1) Dia itu anak orang kaya,
2) Dia itu dulu anak orang kaya,
3) Dulu dia itu anak orang kaya.
Jadi, rangkaian satu tanda dengan tanda yang lain yang bersifat horizontal disebut relasi sintagmatik (syntagmatic relation). Dalam kalimat “Anita belajar linguistik umum” ada kaitan fungsi antara Anita, belajar, dan linguistik umum. Tautan fungsi ini diatur dalam sistem sintaksis bahasa Indonesia, sehingga makna yang terkandung di dalam kalimat itu dapat dipahami dengan pertanyaan sebagai berikut:
1) Siapa yang belajar = Ani
2) Apa yang dikerjakan Ani = belajar
3) Apa yang dipelajari Ani = linguistik
Linguistik apa = linguistik umum
Relasi paradigmatik/ paradigmatic relation adalah hubungan antar unsure dalam bahasa yang hadir dengan unsur lain yang tidak hadir dan bersifat vertikal, unsur yang tidak hadir diasosiasikan, karena itu disebut juga relasi in absentia.
Kridalaksana (1993: 154) menuliskan bahwa paradigmatik adalah tentang hubungan antar unsur-unsur bahasa dalam tataran tertentu dengan unsur-unsur lain di luar tataran itu yang dapat dipertukarkan. Misalnya dalam kalimat “Kami bermain bola”, kata kami dapat diganti dengan orang itu, saya, kamu dan sebagainya. Kata kami dapat diganti dengan menyepak, mengambil, dan sebagainya. Kata yang dapat mengganti itu tidak hadir, unsur yang tidak hadir itu diasosiasikan. Misalnya, “Kami bermain bola kemarin”, kemarin diasosiasikan dengan kemarin sore, minggu lalu, bulan lalu dan sebagainya. Bola diasosiasikan dengan bola voli, takrow, kastik, tennis dan sebagainya.
Di bawah ini ditampilkan contoh relasi paradigmatik pada tataran fonologi, /b/, /p/, /c/, /l/, dan /t/ mempunyai relasi paradigmatik dengan (bara), (para), (cara), (lara) dan (tara). Contoh lain fonem /s/ pada kata (saku) dapat diganti dengan /l/, /p/ dan /b/ sehingga terbentuk kata laku, paku dan baku. Fonem /r/, /k/, /b/, /m/, dan /d/ dapat ditukarkan secara vertikal sehingga lahir kata (rata), (kata), (bata), (mata) dan (data).
Unsur suatu kata dapat memiliki relasi paradigmatik dengan unsur lain. Unsur ber- pada kata bertan mempunyai relasi paradigmatik dengan unsur pe- pada kata petani. Unsur yang memiliki relasi itu bukan hanya unsur imbuhan/ afiks, tetapi kata dasar/ akar kata pun memiliki tautan paradigmatik itu. Dengan demikian, di samping ada kata bertani, terdapat juga kata bertinju, berdagang, berladang, bernyanyi, dan seterusnya.
Relasi paradigmatik dapat pula diamati pada tataran frase dan kalimat. Sebuah unsur dalam frase yang menunjukkan relasi posesif atau kepemilikan, misalnya baik unsur pemilik, maupun termilikinya dapat berparadigma dengan unsur lain, seperti yang tampak dalam konfigurasi berikut ini:
a. Buku saya
b. Uang saya
c. Baju saya
d. Kemeja saya
e. Kemeja adik
f. Kemeja kakak
g. Kemeja paman
Pada satuan kalimat, unsur-unsur yang berparadigma dapat dikenali dari yang mengisi fungsi-fungsi sintaksis, seperti yang tampak pada konfigurasi berikut ini:
1. Dia membaca buka
2. Mereka membaca buku
1. Mereka menyimpan buku
2. Mereka membeli buku
3. Mereka membeli surat kabar
4. Mereka membeli majalah
Dari dua dimensi relasi yang menghasilkan relasi sintagmatik dan relasai paradigmatik, suatu satuan bahasa oleh Ferdinan de Saussure dapat dibandingkan oleh bagian tertentu dalan sebuah rumah. Sebuah pilar misalnya, merupakan bagian rumah yang berhubungan dengan atap yang ditunjangnya. Kedua bagian itu yang hadir dalam ruang tempat beradanya memiliki relasi horizontal yang sama dengan relasi sintagmatik. Jika pilar itu bergaya Minang misalnya, maka pilar itu mengingatkan pada gaya lain seperti gaya Batak, Toraja dan sebagainya yang tidak hadir dalam ruang tempat beradanya rumah itu. Relasi antar pilar sebuah rumah dengan pilar lain yang berbeda dengan pilar rumah itu merupakan relasi vertikal, yang sama dengan relasi paradigmatik.
Dalam tradisi linguist Inggris yang ditokohi oleh Firth, lahir hubungan atau atau relasi yang bertolak dari relasi sintagmatik dan paradigmatik dengan label lain. Relasi antar unsur yang bersifa horizontal disebut struktur dan relasi antar unsur yang bersifat vertikal disebut sistem.
Menurut Verhaar (1982: 107-109) struktur dan system itu berkaitan dengan konsep distribusi. Distribusi, sejalan dengan struktur dan sistem yang memiliki dua pengertian. Pertama.
distribusi berlaku bagi unsur satuan bahasa dengan unsur yang lain dalam struktur. Dalam kalimat “Anak yang panda itu pendiam” misalnya, unsur itu merupakan unsur langsung atau berdistribusi langsung dengan yang, tidak dengan anak.
Kedua, distribusi berlaku bagi unsur satuan bahasa dengan unsur yang lain dalam sistem. Dapat tidaknya suatu unsur yang memiliki relasi paradigmatik berdistribusi pada suatu sistem lazim dilakukan dengan penggantian. Dalam kalimat yang predikatnya berupa verba aktivitas misalnya, nomina saja yang dapat berdistribusi dalam fungsi subjek, seperti yang tampak pada konfigurasi berikut ini:
1. Orang itu berlari kencang,
2. Anak saya berlari kencang,
3. Dia berlari kencang,
4. Mereka berlari kencang.
Distribusi dapat bersifat komplementer dan dapat pula bersifat pararel. Distribusi disebut komplementer jika unsur-unsur yang berhubungan itu tidak dapat saling mengganti, tetapi saling melengkapi. Sedangkan distribusi disebut pararel jika unsur-unsur yang saling berhubungan itu dapat saling mengganti.
Dikotomi sintagmatik-paradigmatik adalah upaya penggambaran mekanisme bahasa. Menurut Ferdinand de Saussure, bahwa kalimat apaun adalah rangkaian dari tanda-tanda yang satu sama lainnya mempunyai perbedaan dan setiap tanda itu
memberikan arti atas makna keseluruhan. Rangkaian suatu tanda dengan tanda yang lainnya membentuk rangkaian atau tautan horizontal yang disebut dengan tautan sintagmatik (syntagmatic relationship). Dalam kalimat “Amir belajar bahasa Inggris”, ada kaitan fungsi antara Amir, belajar dan bahasa Inggris. Tautan fungsi ini diatur oleh sistem sintaksis bahasa Indonesia, sehingga kita dapat mengerti makna yang terkandung di dalamnya dengan penelaahan sebagai berikut:
1. Siapa yang belajar/ Amir,
2. Apa yang dikerjakan Amir/ belajar,
3. Apa yang dipelajari Amir/ bahasa,
4. Bahasa apa/ Inggris.
Selanjutnya, pada kalimat “Amir belajar bahasa Inggris” tadi setiap kata adalah anggota jenis kata tertentu. Kosakata dari jenis yang sama secara fungsional akan bisa mengganti kata-kata pada kalimat tersebut. Kalimat “Amir belajar bahasa Inggris” bisa menjadi “Siti membuat kebaya”, atau “Murid-murid bermain sepak bola”.
Penggantian ini adalah akibat adanya tautan vertikal tiap tanda dengan kosakata dari lain jenis kata yang sama. Tautan vertikal ini disebut dengan tautan paradigmatik. Secara psikologis, tautan paradigmatik ini merupakan satu bukti bahwa penutur selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan konsep yang senantiasa muncul dari alam sekitar hidupnya. Sedangkan tautan sintagmatik
menunjukkan sistematika penyusunan konsep dalam benak manusia yang kemudian dilahirkan dalam ujaran yang sistematik pula, yang dapat dikembangkan kepada kalimat yang makin panjang (kalimat yang makin dilengkapi keterangan-keterangan tertentu yang diperlukan).
Dengan adanya tautan sintagmatik dan paradigmatik inilah kita bisa membuat kalimat yang tak terhingga jumlahnya. Tidak salah bila bahasa didefiniskan sebagai: “Terdiri dari kalimat-kalimat yang tak terhingga jumlahnya”. Sifat bahasa yang dinamis/ berkembang ini (memungkinkan tersusunnya kalimat baru) disebut produktivitas bahasa. Language productivity ini mesti dikembalikan pada tautan sintagmatik dan paradigmatik tadi.
Uraian tentang relasi sintagmatik dan relasi paradigmatik di atas, memperlihatkan kepada kita adanya penataan atau evaluasi yang mempunyai bentuk, pola, dan keteraturan yang sistematis. Tidak ada sesuatu di dunia ini yang tidak memiliki penataan dan aturan-aturan menurut sistemnya sendiri. Firman Allah dalam surah Al-Furqan ayat 2, …. “dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan dia menetapkan ukurannya serapi-rapinya”. Selanjutnya, dalam al-qur’an surah ar-Ra’du ayat 8, … “dan tiap-tiap sesuatu di sisi-Nya ada penataan dan ukuran-ukuran tertentu”.
I. KOMPETENSI BAHASA DAN PERFORMANSI BAHASA
Seseorang yang menguasai bahasa Inggris, tentu memiliki pengetahuan tentang sistem bahasa Inggris. Linguis Arab, tentu
memiliki pengetahuan yang sangat memadai tentang tentang sistem atau kaidah bahasa Arab. Seseorang yang menguasai bahasa Indonesia, tentu mengetahui kaidah-kaidah atau sistem yang berlaku dalam bahasa Indonesia.
Pengetahuan tentang sistem bahasa yang ada pada seseorang itulah yang lazim disebut dengan kompetensi bahasa. Istilah kompetensi berasal dari kata competence yang dikembangkan oleh Noam Chomsky, yang diartikan sebagai “pengetahuan penutur dan pendengar mengenai sistem atau kaidah-kaidah bahasa mereka. Kompetensi atau kemampuan diartikan sebagai pengetahuan yang dimiliki penutur suatu bahasa tentang kaidah-kaidah bahasanya.
Peranan kompetensi dalam penguasaan suatu bahasa sangat jelas. Dalam berbahasa, seseorang pada hakikatnya merealisasikan atau melaksanakan sistem atau kaidah-kaidah suatu bahasa yang diketahuinya. Seseorang tidak akan mampu melaksanakan suatu tindakan jika kaidah-kaidah tidak atau belum dikuasai. Hal ini dapat dibandingkan dengan aspek kehidupan yang lain. Dalam etika, misalnya seseorang tidak dapat menempatkan diri atau bertindak di hadapan orang lain secara benar jika dia tidak mengetahui kaidah-kaidah etika. Terjadinya salah tingkah atau salah tindakan sering diakibatkan oleh lemahnya pengetahuan tentang kaidah itu.
Kompetensi tidak mengacu kepada penguasaan ilmu bahasa. Penguasaan ilmu bahasa hanya dimiliki oleh para ahli ilmu
bahasa (linguis). Kompetensi berlaku pada semua orang yang menggunakan bahasa bersangkutan. Disadari atau tidak, setiap orang yang menguasai suatu bahasa tentu memiliki kompetensi tentang bahasa yang dikuasainya itu. Bahkan, ada kompetensi yang bersifat intuitif (berkaitan dengan intuisi), sehingga seseorang dapat menghakimi kegramatikalan suatu tuturan berdasarkan intuisinya.
Pengetahuan tentang sistem bahasa yang terdapat pada otak penutur suatu bahasa bersifat akumulatif. Hal ini berarti bahwa penguasaan sistem bahasa itu berlangsung sedikit demi sedikit. Penguasaan sistem itu memiliki waktu yang relatif lama. Makin lama seseorang belajar bahasa, jika belajarnya intensif, dia akan memiliki kompetensi bahasa yang semakin ideal.
Dalam kehidupan berbahasa sehari-hari, orang berbahasa dengan menggunakan tuturan jika dia bertindak sebagai penutur atau pembicara. Dalam bahasa tulis, jika seseorang bertindak sebagai penyampai pesan dia akan menggunakan tuturan juga, yakni tuturan tulis. Jelasnya dari aspek produktifnya dalam berbahasa itu pengguna bahasa menuturkan bahasa secara konkrit. Berbagai satuan bahasa yang bersifat konkrit dapat dikenal dan dilihat dalam tuturan itu. Hal ini memberikan petunjuk dalam berbahasa dari segi komperhensif orang mendengarkan tuturan dan membaca tuturan.
Performansi bahasa (language performance) adalah pengguna bahasa itu sendiri dalam keadaan yang sesungguhnya, pengguna bahasa dalam bentuk yang konkrit dan actual dalam masyarakat
Sebagai bentuk pelaksanaan sistem, performansi itu akan berbeda-beda. Dua orang penutur suatu bahasa yang memiliki kompetensi yang relatif sama, performansinya belum tentu sama. Dengan demikian, performansi bahasa itu bersifat individual.
Pelaksanaan sistem bahasa itu dapat juga dibandingkan dengan pelaksanaan sistem lain dalam kehidupan sehari-hari. Pengendara mobil yang sedang mengendarai mobilnya merupakan realisasi cara mengendaari mobil yang sudah dia kuasai dalam otaknya.
Dia memiliki kompetensi mengendarai mobil, dan ketika dia mengendarai mobil itu, dia sedang merealisasikan kompetensinya itu dalam situasi yang konkrit dan aktual. Pada saat mengendarai mobil itu dia ingin berhenti ketika ada lampu merah, harus berjalan ketika lampu hijau, dan bersikap hati-hati ketika lampu kuning, berarti dia telah merealisasikan kompetensinya tentang rambu-rambu lalu lintas secara patuh, atau dia melanggar peraturan lalu lintas itu. Pelanggaran lalu lintas itu juga merupakan realisasi dari kompetensinya secara tidak patuh. Hal kepatuhan melaksanakan sistem itu juga berlaku dalam kehidupan berbahasa, orang yang tidak patuh terhadap sistem yang dikuasainya akan menuturkan tuturan yang tidak gramatikal, atau tuturan yang menyimpan dari kaidah ketatabahasaan.
Karena sifatnya yang aktual, yang konkrit yang terdapat dalam pelaksanaan, performansi itu dapat diamati. Hal itu
memudahkan para ahli bahasa yang berkepentingan dengan sistem. Tugas para ahli bahasa adalah memerikan sistem bahasa yang merupakan aspek kompetensi. Akan tetapi, aspek kompetensi itu sendiri tidak dapat diamati. Para ahli hanya dapat memerikan sistem itu melalui performansi. Noam Chomsky menyatakan bahwa ahli bahasa menentukan sistem, kaidah-kaidah berdasarkan performansi.
J. STRUKTUR LAHIR DAN STRUKTUR BATIN
Aspek bahasa yang mencakup struktur batin (deep structure) dan struktur lahir (surface structure) diperkenalkan dalam tata bahasa “Generatif Transformasional”. Struktur batin dapat didefinisikan sebagai “struktur yang dianggap mendasari kalimat atau kelompok kata, yang mengandung semua informasi yang diperlukan untuk interpretasi sintaksis dan semantis kalimat, dan tidak nyata secara langsung dari deret linear kalimat atau kelompok kata itu. Misalnya “meja kayu” dan “meja kantor” mempunyai kesamaan dalam struktur lahir, berbeda dalam struktur batin. Yang pertama menyatakan “asal”, sedangkan yang kedua berarti “kepunyaan/untuk” (Kridalaksana 1993: 203). Tuturan yang nyata yang menggambarkan urutan linear bunyi, kata, frase, kalimat, merupakan struktur lahir. Biasanya dalam tata bahasa generatif transformasional struktur lahir itu merupakan struktur yang tampak dari struktur yang tidak tampak. Dalam bahasa Indonesia kalimat “Saya makan nasi kemarin”, memiliki dua kemungkinan arti yaitu “apakah kemarin saya makan nasi” atau “nasi kemarin yang saya.
makan”. Konstituen kemarin dapat menjadi adverbial (kata yang memberikan keterangan pada verba dan adjektiva) dalam kalimat, dapat juga menjadi atribut dalam frase “nasi kemarin”. Kedua kemungkinan itu memiliki struktur batin yang berbeda, seperti tampak pada gambar berikut ini:
Dalam praktik analisis bahasa di atas, khususnya kalimat perbedaan struktur lahir dan struktur batin itu memberikan keuntungan dibandingkan dengan analisis unsur langsung yang lazim digunakan dalam tata bahasa struktural. Analisis unsur langsung tidak mampu menjelaskan perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam bahasa yang ambigu, yakni kalimat yang memiliki tafsiran ganda.
K. RELASI MAKNA
Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa yang lain. Satuan bahasa dalam hal ini meliputi: kata, frase, dan kalimat. Relasi dapat berupa: 1) kesamaan makna, 2) pertentangan makna, 3) ketercakupan makna, dan 4) kegandaan/ kelebihan makna.
Relasi makna meliputi: 1) sinonim/ sinonimi, 2) antonim/ antonyimi, 3) polisemi, 4) homonim/ homonimi, 5) hiponim, dan 6) ambiguitas.
Sinonim/ sinonimi, adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujran yang lain. Contoh (betul = benar, hamil = bunting atau duduk perut, Figo menendang bola = bola ditendang oleh Figo). Masih termasuk hubungan sinonim apabila hampir sama antara kata itu terdapat perbedaan nuansa yang sangat kecil dan maknanya dapat disebut kurang lebih sama. Contoh (nasib dan takdir, menyenangkan dan memuaskan).
Hubungan kesinoniman berlaku timbal balik, maksudnya dapat dikatakan bahwa nasib bersinonim dengan takdir atau sebaliknya, takdir bersinionim dengan nasib. Betul bersinonim dengan benar, atau benar bersinonim dengan betul. Memuaskan bersinonim dengan menyenangkan atau dapat dikatakan sebaliknya, menyenangkan bersinonim dengan memuaskan.
Antonim/ antonimi adalah hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan (kebalikan, pertentangan, kontras antara yang satu dengan yang lain). Contoh (buruk, mati, guru, membeli, laki-laki, mudah, tinggi, lebar kebalikan dari baik, hidup, murid, menjual, perempuan, sukar, rendah, sempit).
Hubungan keantoniman juga sama dengan hubungan kesinoniman, yakni berlaku timbal balik. Kita dapat mengatakan baik adalah antonim dari buruk, atau sebaliknya, buruk adalah antonim dari baik. Apabila pasangan antonim itu bermakna kuantitas (khususnya ukuran), biasanya ada kutub yang dianggap positif (baik, tinggi, lebar, mudah, besar, dan sebagainya) dan kutub yang dianggap negatif (buruk, rendah, sempit, sukar, kecil, dan sebagainya).
Polisemi mempunyai makna lebih dari satu. Penggunaan bentuk bahasa sperti kata, frase, dan kalimat dengan makna yang berbeda-beda. Contoh kata “bahasa”, dapat berarti: 1) bahasa (Ani belajar bahasa Indonesia), 2) bahasa (berarti sopan santun) dalam
kalimat (hati-hati bergaul dengan anak yang tidak tahu bahasa itu), 3) bahasa berarti kebijakan, (Camat dan Lurah tidak mempunyai bahasa yang sama dalam kasus ini).
Contoh lain, “kepala”, berarti: 1) bagian dari tubuh manusia (kepala anak itu benjol), 2) kepala berarti ketua/ pimpinan, (Ia sebagai kepala di sekolah itu), 3) kepala berarti sesuatu yang berada di atas (kepala surat yang berisi nama dan tanggal). Begitu pula konstruksi “kambing hitam”, dapat berarti 1) kambing yang berwarna hitam, 2) dapat berarti orang yang disalahkan.
Homonim adalah dua kata atau satuan ujaran yang bentuknya sama akan tetapi maknanya berbeda, karena masing-masing merupakan bentuk ujaran yang berbeda. Contoh (pacar berarti inai, pacar juga berarti kekasih, bias berarti racun yang berasal dari ular, bias juga berarti dapat atau sanggup, bank (bahasa Inggris) berarti lembaga keuangan, dan bank yang berarti tepi sungai.
Hubungan kehomoniman juga berlaku timbal balik. Kita dapat mengatakan bahwa bisa yang berarti dapat/ sanggup berhomonim dengan bisa yang berarti racun. Dapat juga dibalik, bisa (racun) bersinonim dengan dapat/ sanggup. Begitu pula dengan pacar yang berarti inai dan pacar yang berarti kekasih.
Hiponim adalah sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain. Contoh: merpati dengan burung. Merpati mencakup makna burung, burung bukan
hanya merpati. Kursi adalah hiponim dari perabot. Putih adalah hiponim dari berwarna. Hubungan hiponim tidak berlaku timbal balik.
Ambiguitas/ ambiguity adalah terjadinya kegandaan makna akibat adanya tafsiran gramatikal yang berbeda, sifat konstruksi yang dapat diberi dari satu tafsiran. Ambigu atau ambiguous mempunyai lebih dari satu makna. Contoh buku “buku sejarah baru”, mempunyai tafsiran (buku sejarah itu baru terbit dan buku itu memuat sejaran zaman baru). Penafsiran itu terjadi karena adanya kata baru.
L. BEBERAPA TEORI TENTANG BAHASA
Banyak orang berkata bahwa bahasa itu adalah sebuah misteri. Dalam kajian/ studi bahasa banyak hal yang belum dapat diselesaikan/ dipecahkan, termasuk asal usul bahasa. Oleh sebab itu, muncul beberapa teori tentang bahasa.
Tahap spekulasi maksudnya dalam dalam pembicaraan mengenai sesuatu dan cara mengambil kesimpulan dilakukan dengan sikap spekulatif. Kesimpulan atau keputusan itu dbuat tanpa didukung oleh bukti-bukti empiris. Tindakan spekulatif ini dapat pula dikatakan bersikap mistik/ kepercayaan/ tahyul. Misalnya pada abad ke-17 Andreas Kanke, pilolog Swedia menyatakan bahwa di surga Tuhan berbicara dalam bahasa Swedia, Nabi Adam berbahasa Denmark. Sebelumnya, Goropius Becanus (Belanda) mengemukakan teori bahwa bahasa di surga adalah bahasa Belanda.
Cerita dari Mesir lain juga, pada abad SM Raja Mesir (Psammetichus) ingin menyelidiki bahasa pertama, caranya diambil dari dua bayi secara acak dari keluarga biasa. Kedua bayi itu diserahkan kepada tukang gembala untuk dirawat dengan tanpa kata atau bahasa. Setelah kedua bayi itu berumur dua tahun, mereka menyambut perawatnya itu dengan ucapan “Becos” yang dalam bahasa Phyrgia (Mesir Kuno) berarti “Roti”. Dari situlah raja berteori dan berkesimpulan bahwa bahasa Mesir Kuno adalah bahasa pertama di dunia ini.
Ada lagi versi lain, seekor kura-kura diutus membawa tulisan/ bahasa kepada orang-orang China. Di Jepang bahasa pertama dihubungkan dengan Tuhan Amaterasu. Orang Babilonia mempercayai bahwa bahasa pertama adalah bahasa yang berasal dari Tuhan Nabu. Suku Dayak Iban di Kalimantan mempunyai legenda yang menyatakan bahwa pada zaman dahulu manusia hanya mempunyai satu bahasa, tetapi karena mereka keracunan cendawan lalu mereka berbicara dalam berbagai bahasa, sehingga timbul kekacauan, dan manusia berpencar ke segala penjuru arah. Untuk lebih jelasnya, (baca: Islam dan Bahasa: 24 dan Linguistik Umum oleh Chaer: 7).
Pada akhir abad ke-18 spekulasi asal usul bahasa itu berpindah dari bersifat mistik, tahyul, spekulasi ke babakan baru yang disebut sebagai Fase Organik, atau Organic Phase. Fase ini diawali dengan terbitnya buku “Uber de Ursprung der Sprace (On the
Origin of Language)”, tahun 1772 oleh John Gottfried von Herder, yang mengemukakan bahwa tidak mengatakan bahwa bahasa itu adalah anugrah dari Tuhan. Menurutnya, bahasa itu lahir karena adanya dorongan manusia untuk mencoba-coba berpikir. Bahasa itu ada karena adanya hentakan naluri. Teori ini sejalan dengan teori evolusi yang dipelopori oleh Immanuel Kant kemudian disusul oleh Charles Henry Darwin (1809 – 1882).
Menurut C. H. Darwin, kualitas bahasa manusia dibandingkan dengan suara hewan, hanya berbeda dalam tingkatan saja. Bahasa manusia itu sama halnya dengan manusia itu sendiri, berawal dari bentuk yang primitif. Karena ada rasa jengkel atau jijik, manusia mengeluarkan suara dari hidung atau dari mulut, terdengarlah bunyi “Pooh atau Pish”. Max Muller (1823 – 1900) tidak sependapat dengan C. H. Darwin, dan menyebut teori ini “Pooh – Pooh Theory”. Teori Darwin ditolak oleh para ahli berikutnya, termasuk Edwar Sapir dari Amerika.
Max Muller memperkenalkan sebuah teori yang disebut “Teori Ding-Dong/ Ding-Dong Theory”. Menurut teori ini manusia memiliki kemampuan naluriah yang istimewa untuk mengeluarkan ekspresi ujaran bagi tiap kesan dari luar. Kesan yang diterima lewat indra, ibarat pukulan pada bel/ lonceng yang melahirkan bunyi. Bahasa itu lahir akibat adanya stimulus dari luar yang melahirkan ucapan yang sesuai. Ketika manusia melihat serigala, pandangan itu menggetarkan bel yang ada pada dirinya secara naluri, maka
terucaplah kata “Wolf” yang berarti serigala. Begitulah lahirnya bahasa pertama menurut teori ini, meskipun pada akhirnya Max Muller menolak teorinya sendiri.
Teori lain disebut “Yo He Ho Theory”. Teori ini beranggapan bahwa pertama lahirnya bahasa itu karena adanya kegotong-royongan dalam kegiatan sosial. Ketika orang-orang primitif dahulu bekerja, sama halnya dengan kita sekarang ini, biasanya secara bersama-sama mengeluarkan suara/ bunyi secara spontan karena terdorong oleh gerakan otot. Karena pita suara itu bergetar, lahirlah ucapan-ucapan khusus untuk setiap tindakan. Ucapan-ucapan itu kemudian menjadi nama aktivitas itu.
Ada anggapan bahwa isayarat itu mendahui ujaran, teori ini disebut “Gesture Theory”. Para pendukung teori ini menunjukkan penggunaan isyarat oleh berbagai jenis binatang, dan sistem isyarat yang dipakai oleh orang-orang primitif. Salah satu contoh yaitu bahasa isyarat yang dipakai oleh suku Indian di Amerika Utara, sewaktu berkomunikasi dengan suku-suku yang tidak berbahasa. Jadi, menurut teori ini bahasa itu lahir dari isyarat-isyarat yang bermakna. Menurut Darwin, walaupun isyarat itu dapat dipergunakan dalam berkomunikasi, akan tetapi dalam beberapa hal isyarat itu tidak dapat digunakan, umpamanya orang tidak dapat berbahasa isyarat dengan tanda di tempat yang gelap, jika kedua tangan sibuk membawa sesuatu atau lawan komunikasi tidak melihat isyarat tersebut. Dalam keadaan seperti inilah orang
primitive harus berkomunikasi dengan isyarat lisan dan, sehingga dari sinilah bahasa lisan mulai berkembang.
Ada lagi pandangan lain, yaitu bahwa kata-kata yang pertama (bahasa) itu lahir karena meniru bunyi-bunyi yang alami, seperti: nyanyian/ kicau burung, suara binatang, suara guntur, suara hujan, suara angina, suara ombak dan sebagainya. Kata-kata yang lahir akibat adanya tiruan dari bunyi-bunyi secara alami atau sifat-sifat yang dimiliki oleh benda dan aktivitas itu tidak dapat diingkari. Dalam bahasa Inggris ada kata babble, rettle, hiss, repple, cuckoo. Dalam bahasa Indonesia ada kata menggelar, bergetar, mendesir, mencicit, berkokok, jangkrik, gong. Teori ini disebut “Onomatope” atau “Echoic Theory”.
Dalam linguistik Arab juga dikenal Ashmausshaut, artinya nama-nama menurut bunyinya atau sifatnya. Dalam bahasa Arab ada kata thaerun (burung), diambil dari kata thara-yathiru artinya terbang. Salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW sekaligus perawi hadits terkenal adalah Abu Hurairah. Dalam bahasa Arab abun (bapak), hirrun (kucing). Konon, Abu Hurairah sangat sayang kepada binatang peliharaannya yang bernama hirrun atau kucing.
Setelah berakhir fase organis, oran beralih ke pendekatan yang lebih rasional dan modern. Dalam berbahasa, memang bukan hanya organ fisik yang terlihat sebagaimana anggapan pada fase organik di atas. Akan tetapi, dalam proses ujaran/ berbahasa faktor-faktor psikologis pun sangat terlihat dan sangat penting
Sebagai contoh, sebuah telaga yang dalam, jernih dikelilingi pepohonan yang rindang, di sekitarnya terdapat burung-burung dan satwa lainnya. Telaga ini dapat menimbulkan persepsi, kesan yang bermacam-macam. Kesan itu harus diujarkan atau diucapkan. Dengan kata lain, kesan yang bermacam-macam itu harus diungkapkan melalui simbol vokal, sehingga terucaplah kata-kata misalnya: bahaya, ngeri, dalam, dingin, tenggelam, takut, banyak ikannya, bagus, luas, sejuk, indah, tenang, damai, sepoi-sepoi, sumber ilham, dan sebagainya.
Saat ini para ahli antropologi menyimpulkan bahwa manusia dan bahasa tumbuh dan berkembang secara bersama-sama. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya sampai pada homo sapiens juga mempengaruhi bahasanya. Manusia memiliki kemampuan serta mulai menemukan dan menggunakan alat-alat, lalu mulailah manusia itu berbicara atau berbahasa.
Ketiga teori di atas, baik yang spekulatif/ mistik, fase organis, maupun pendekatan yang lebih maju dan modern jelas berbeda dengan pandangan Islam. Allah swt menciptakan manusia dengan dilengkapi dua fasilitas yang memungkinkan untuk berbahasa, yakni fasilitas fisik dan nonfisik. Fasilitas fisik termasuk alat-alat bicara/ organ of speech, anatara lain: mulut/ mouth, lidah/ tongue, gigi/ teeth, hidung/ nose, tenggorokan/ pharynx, bibir/ lip. Sedangkan fasilitas nonfisik yang dimaksud yakni: roh, akal, pikiran, dan rasa.
Karena kedua fasilitas di atas manusia dapat mengolah masukan dari alam sekitar. Dari pikiran terjadi proses konseptual yang kemudian dilahirkan dalam bentuk ujaran atau tulisan. Manusia dianugerahi kemampuan, pembawaan atau fitrah untuk mengerti alam sekitar, mulai dari tingkat yang paling rendah ke tingkat yang paling tinggi. Misalnya yang dilakukan oleh para Nabi dan Rasul. Bandingkan dengan salah satu ayat Al-Qur’an surah ke-2: 31, Waallama adamal asmaa kullaha summaaradahum alal malaikah, artinya “Dan Allah mengajarkan kepada Adam segala nama, kemudian Adam mengajarkan kepada malaikat.
Nama-nama atau asmaa di sini merujuk kepada kualitas segala objek atau zat, termasuk konsep, nilai, rasa, dan pikiran. Dengan demikian, manusia mampu berbicara atau berpikir tentang pikiran, rasa, nilai, dan konsep maka lahirlah yang namanya ilmu pengetahuan.
Karena diberikan kemampuan untuk membentuk konsep dan mengujarkannya, maka manusia mampu mempelajari bahasa apa saja. Manusia adalah makhluk yang mampu berbahasa lebih dari satu bahasa. Diisyaratkan penggunaan bahasa Qur’an dalam ibadah khsusu misalnya dalam shalat adalah suatu bukti bahwa Allah swt telah menkondisikan struktur fisik dan nonfisik manusia untuk mampu mempelajari bahasa tersebut walaupun bukan bahasanya sendiri. Di samping itu, hal ini tentu membawa hikmah keseragaman bahasa lingua franca atau berdwibahsa (bilingualism), dan
bermulitilingual, yaitu mampu menggunakan lebih dari satu bahasa dalam masyarakat bahasa.
Allah swt telah menciptakan manusia dilengkapi dengan berbagai fasilitas baik fisik, maupun nonfisik, kemudian manusia itu diajari bahasa. Silahkan baca Al-Qur’an surah ke-55: 1 – 4, ... arrahman, allamalqu’an, khalaqalinsan, allamahumulbayan… (Tuhan yang Maha Pemurah, yang telah mengajarkan Al-Qur’an, Dia menciptakan manusia dan mengajarinya pandai berbahasa.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan penjelasan terdahulu, maka pada bagian ini akan diuraikan beberapa kesimpulan, yaitu sebagai berikut:
- Linguistik di dunia barat telah memiliki sejarah yang cukup panjang, dapat dilihat awal pertumbuhannya dengan kembali ke periode yang jauh ke belakang yakni beberapa abad sebelum masehi, yakni pada saat kota Aleksandria sebagai salah satu pusat kegiatan kerajaan Yunani di Timur berkembang,
- Setiap periode perkembangan tidak dapat ditelusuri secara sempurna dan sistematis, maka untuk kemudahahan keseluruhan masa perkembangan tersebut, disebut periode tradisional, sebagai salah satu cara untuk melihat batas dan perbedaan dengan periode modern,
Linguistik modern ditandai oleh lahirnya pikiran tokoh linguistik Ferdinand de Saussure pada abad XX. Saat munculnya pandangan Ferdinand de Saussure telah terjadi
1. perkembangan baru dalam bidang linguistik dalam tempo yang cukup singkat,
2.
Dalam periode modern, terdapat satu pendekatan yang sangat berpengaruh dan menghasilkan karya yang besar sepanjang sejarah linguistik, yang populer dikenal dengan nama structural. Periode linguistik sebelumnya dapat dinamai periode pra-structural,
|
3. Linguistik strukturalis berusaha mendeskripsikan suatu bahasa berdasarkan ciri atau sifat khas yang dimiliki bahasa itu. Hal ini merupakan pandangan baru terhadap bahasa dan studi bahasa yang dilakukan oleh Bapak linguistik modern, yaitu Ferdinand de Saussure,
4. Membahas linguistik strukturalis secara singkat dan umum, tentu harus dimulai dari pandangan tokoh-tokohnya termasuk di dalamnya pandagan Ferdinand de Saussure, Aliran Praha, Aliran Glosematik, Aliran Firthian, Aliran Sistemik, Leonard Bloomfield dan Strukturalis Amerika, Aliran Tagmemik.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan di atas, maka disarankan agar:
- Guru bidang studi harus memiliki pengetahuan linguistik yang cukup, sebab guru bidang studi apapun akan menggunakan bahasa sebagai saluran atau channel dalam menjelaskan materi pelajarannya,
- Pengetahuan linguistik sangat penting bagi guru bahasa. Guru bahasa harus mengetahui aspek fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, leksikologi, termasuk hubungan bahasa dengan masyarakat dan budayanya. Bahasa bukan warisan biologis, karena itu perlu diajarkan dan dilatihkan kepada murid atau siswa,
- Sebagai guru bahasa, bukan saja harus melatih keterampilan berbahasa bagi siswa (misalnya: menyimak/ listening comprehension, berbicara/ speaking, membaca/ reading, dan menulis/ writing), tetapi harus mampu menjelaskan kaidah-kaidah bahasa secara baik dan benar. Oleh sebab itu, guru harus memiliki bekal pengetahuan yang cukup tentang linguistik,
Pengetahuan tentang linguistik struktural dianggap sangat penting, karena merupakan bekal dasar untuk pengembangan pengajaran bahasa dan sastra selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A. Chaedar. 1987. Linguistik, Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa.
Alwi, Hasan, dkk. 2000. Kamus Besar Bahasa Indonesia. ed. III. Jakarta: Balai Pustaka.
Chaer, Abd. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Hambali. 2007. Linguistik Umum. Diktat. Makassar: Universitas Muhammadiyah Makassar.
Said DM, M. Ide. 2001. Teori Linguistik. Diktat. Makassar: Universitas Negeri Makassar dan Universitas Muhammadiyah Makassar.
Syamsuri, Andi Sukri. 2008. Kapita Selekta Linguistik. Diktat. Makassar: Universitas Muhammadiyah Makassar.
Verhaar, Jhon WM. 1999. Asas-Asas Linguistik. Yogyakarta: Gadja Mada University Press.
Verhaar, Jhon WM. 1993. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gadja Mada University Press.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................................
DAFTAR ISI..................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................
a. Latar Belakang ...................................................................................................
b. Rumusan Masalah ..............................................................................................
c. Tujuan Penulisan ................................................................................................
d. Manfaat Penulisan .............................................................................................
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................
A. Ferdinand de Saussure dan Aliran-aliran lingustik ............................................
a. Aliran Praha..................................................................................................
b. Aliran Glosematik.........................................................................................
c. Aliran Firthian
d. Sistemik Aliran.............................................................................................
e. Leonard Bloomfield dan Strukturalis Amerika............................................
f. Aliran Tagmemik..........................................................................................
B. PEMBAGIAN LINGUISTIK ..........................................................................
a. Pengantar Linguistik ....................................................................................
b. Pengertian Linguistik ................................................................................... ......
c. Beberapa Subdisiplin Linguistik
d. Manfaat Ilmu Linguistik
e. Pengertian Dan Definisi Bahasa
f. Aspek-Aspek Bahasa
g. Aspek-Aspek Bahasa
h. Satuan Sintagmatik Dan Satuan Paradigmatik
i. Kompetensi Bahasa Dan Performansi Bahasa
j. Struktur Lahir Dan Struktur Batin
k. Relasi Makna
l. Beberapa Teori Tentang Bahasa
BAB III PENUTUP
A. SIMPULAN
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR
بســــــم اللـه الرحـمن الرحيــــم
Alhamdulillah, tiada kata yang paling indah dan yang pantas penulis ucapkan selain puji dan syukur kehadirat Allah swt. Berkat rahmat dan hidayah-Nya jualah, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis tentu menemui banyak kesulitan dan hambatan. Namun, berkat adanya petunjuk, koreksi dan saran yang sifatnya konstruktif dari berbagai pihak, maka segala bentuk kesulitan dan hambatan-hambatan tersebut dapat teratasi dengan baik. Sehingga pada akhirnya terwujudlah makalah ini, walaupun dalam bentuk yang masih sangat sederhana.
Sebagai manusia biasa, tentunya penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih saja memiliki banyak kekurangan, disebabkan karena keterbatasan yang dimiliki penulis sebagai manusia biasa, baik ditinjau dari segi isi, maupun dari segi metode analisisnya. Oleh sebab itu, penulis senantiasa mengharapkan saran dan kritikan dari berbagai pihak yang sifatnya konstruktif (membangun) demi perbaikan dan penyempurnaan makalah berikutnya.
Akhirnya, dengan selesainya makalah ini ditulis, mudah-mudahan dapat memberi manfaat bagi para pembaca yang budiman, orang-orang yang mencintai ilmu pengetahuan, dan juga terutama bagi diri penulis pribadi.
|
Billahi Fii Sabilil Haq, Fastabikul Khaerat.
Makassar, Februari 2011
P e n u l i s,
DAHLAN BERSABAR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar