PENGKAJIAN
PUISI BERDASARKAN SEMIOTIK
Kajian Semiotik dalam
Puisi Tirani dan Benteng Karya Taufik Ismail
Sebagai
salah satu genre sastra, puisi pun masih diminati oleh masyarakat, baik oleh
para pelajar, mahasiswa, maupun masyarakat pada umumnya. Akan tetapi, puisi
atau sajak sukar dimengerti karena kompleksitas, pemadatan, kiasan-kiasan, dan
pemikirannya yang abstrak dan sukar diterjemahkan. Puisi merupakan kristalisasi
pengalaman, maka hanya inti masalah yang dikemukakan; untuk mencapai hal itu
perlu pemadatan. Untuk pemadatan ini, puisi hanya menyatakan sesuatu hal secara
implisit, sugestif, dan mempergunakan ambiguitas. Semuanya itu yang menyebabkan
sukarnya pemahaman puisi atau sajak (Pradopo, dkk, 2002).
Oleh karena itu, diperlukan adanya seperangkat teori yang
dapat diterapkan dalam membaca, membongkar, serta memahami sebuah puisi, agar
tercipta koherensi pemahaman terhadap karya sastra. Di Indonesia sudah ada
beberapa kajian puisi dan kritik puisi, di antaranya adalah Apresiasi Puisi (1974, cet II) oleh S.
Effendi, Teori dan Apresiasi Sastra (1987)
oleh Herman J. Waluyo, dan Pengkajian
Puisi (1987, cet I; 1990, cet.II) oleh Rachmat Djoko Pradopo (2002). Ketiga
buku tersebut merupakan buku pengkajian puisi yang membincang puisi (sajak)
dalam garis besarnya, berguna bagi pemahaman puisi pada tahap awalnya. Model
itu pula hanya berkutat pada kajian strukturalisme murni yang masih menjelajah
pada aspek intrinsik dan ekstrinsik puisi.
Pada pengkajian lain, model-model yang digunakan masih
terbatas pada bagian permukaan suatu puisi (sajak). Kritik puisi, selain ketiga
tersebut, yang perlu dikemukakan di sini adalah buku kumpulan kritik sajak
berasal dari media massa karya M. S Hutagalung Sajak-Sajak dalam Analisis (1989), dan Linus Suryadi A. G. Di balik Sejumlah Nama (1989). Keduanya
bersifat kritik yang impresionistik, yang membahas sajak pada sifatnya memang
esaistis; hanya membicarakan dan menganalisis unsur sajak yang dianggap penting
saja dan tidak sampai merenik.
Dari uraian di atas, tampak perlu adanya sebuah model kajian
sajak yang uraiannya lebih mendalam, sistematis, tetapi praktis yang dapat
dipergunakan untuk memahami puisi secara lebih mudah dan dalam. Model
pengkajian yang dimaksud adalah model pengkajian semiotik. Pengkajian dalam
bingkai strukturalisme semiotik di harapkan dapat memahami puisi (sajak) untuk
menangkap makna dari konvensi bahasa yang terdapat di dalamnya.
Model pengkajian puisi dengan menggunakan metode analisis
semiotika sudah diterapkan di Indonesia. Meskipun hanya menggunakan model
semiotika Rifaterre. Model ini digunakan oleh Rachmat djoko Pradopo (1994)
terhadap puisi Dewa Telah Mati karya
Subagio Sastrowardoyo, dan Faruk (1995) yang menganalisis puisi Aku karya Chairil Anwar (Pradopo, dkk.
2002). Oleh karena itu, uraian selanjutnya akan menerapkan model kajian semiotik untuk membongkar analisis
struktur dalam puisi. Metode strukturalisme semiotik diharapkan dapat mengkaji
puisi (sajak) secara sedalam-dalamnya, dapat menganalisis kompleksitas struktur
puisi, dan diharapkan dapat memberikan makna puisi (sajak) semaksimal mungkin.
Untuk mengkaji puisi analisis
semiotik, terlebih dahulu harus dipahami teori yang digunakan dalam
menganalisis. Untuk itu ditampilkan teori berikut ini.
1.
Pendekatan Semiotik
Semiotik berasal dari kata Yunani
kuno”semeton” yang berarti tanda atau”sign” dalam bahasa Inggris. Ferdinand de
Saussure yang digelar sebagai bapak Lungustik Moderen, dalam bukunya Ours de Linguistiqe General (1916), juga
mengajukan konsep signe (Inggris:
sign Indonesia: tanda) untuk mengajukan gabungan signifie (Inggris: signified) atau “yang mengartikan” adalah
tidak lain dari makna atau konsep dari signifiet atau yang mengartikan yang
wujudnya berupa bunyi-bunyi bahasa. Signifiet dan signifiant sebagi signe linguistique merupakan satu
kesatuan yang merujuk kepada suatu referent, yaitu suatu, berupa benda atau
hal, yang berada di luar bahasa (Munandar, dkk dalam Chaer, 2004).
Kata semiotika dalam bahasa
Indonesia diturunkan dari bahasa Inggris: semiotics,
yang berasal dari bahasa Yunani: semion,
yang berarti tanda (Chaer, dalam
Munandar, 2004). Nama lain semiotika adalah semiologi. Bagi para penutur bahasa
Inggris dan di lingkungan kebudayaan Amerika nama semiotika sudah menjadi
istilah umum. Istilah semiotika ini
menjadi populer berkat buah pemikiran seorang filsuf dan ahli logika Charles
Sanders Pierce. Ia mengembangkan semiotika dalam hubungannya dengan filsafat
pragmatisme. Di lingkungan kebudayaan Perancis dan para penutur bangsa Eropa
yang lain, nama semiologi lebih dikenal dan dipahaminya. Hal ini berkat jasa
baik “Bapak Seniotika Modern” (Munandar, dkk dalam Zoest, 2004), ferdinand de
Saussure, yang berhasil meletakkan dasar-dasar semiologi kebahasaan dan
psikologi sosial bagi perkembangan ilmu semiotika.
Dalam pertumbuhan selanjutnya,
Semiotika dikembangkan menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri, antara lain
Charles Morris, Roman Jakobson, Jonathan Culler, Roland Barthes, Umberto Eco,
Julia Kristeva, Aj Grimas, dan Michael Rifaterre (Noth, 1990). Kemudian teori
semiotika yang akan diacu dalam analisi puisi ini adalah teori semiotika yang
dikembangkan oleh Michael Rifaterre dalam bukunya Semiotics Of Poetry (1978). Ia menganggap puisi adalah sebagai
salah satu wujud aktifitas bahasa, puisi berbicara secara tidak langsung
sehingga bahasa yang digunakan pun berbeda dari bahasa seharihari. Laras bahasa
puisi tersebut disebabkan oleh penggubahan (displacing makna, penciptaan
(creating) makna baru, dan perusakan (distorsing) makna kebahasaan sehari-hari.
Bahasa sehari-hari itu bersifat mimetik sehingga membangun arti (meaning) yang beraneka ragam dan
menampakkan adanya keterpecahan atau ketakgramatikalan (ungrammatikalitas). Sebaliknya, bahasa puisi itu bersifat semiotik
sehingga membangun makna (significance)
tunggal dan memusat.
Salah satu titik tolak Saussure
adalah bahwa bahasa harus dipelajari sebagai suatu sistem tanda, tetapi ia pun
menegaskan bahwa tanda bahasa bukanlah satu-satunya tanda. Atas dasar itulah
muncul pemikiranya, bahwa ilmu bahasa, yang dianggap sebagai studi mengenal
jenis tanda tertentu, mestinya mendapat tempat di dalam ilmu tanda. Menciptakan
ilmu tanda seperti itu bukanlah urusannya, tetapi ia telah memikirkan sebuah
nama untuknya, yakni ‘semiologi’. Kata semiologi disampin kata semiotika,
sampai sekarang masih
di pakai. Kedua istilah ini mengandung pengertian yang persis sama, walaupun
penggunaan salah satu dari kedua istilah tersebut biasanya menunjukkan
pemikiran pemakaiannya, mereka yang bergabung dengan peirce menggunakan kata
‘semiotika’ dan mereka yang bergabung dengan sussere menggunakan kata
‘semiologo’. Tetapi yamg terakhir, kalau di bandingkan yang pertama, semakin
jarang dipakai.
Teori Pierce mengatakan bahwa sesutu
itu dapat di sebut sebagai tanda jika ia mewakili sesuatu yang lain. Sebuah
tanda yang disebutnya sebagi represantamen haruslah mengacu (atau mewakili
)sesuatu yang disebutnya sebagai objek (acuan, ia juga menyebutnya istilah
referent). jadi, jika sebuah tanda acuannya, hal itu fungsi utama tanda itu.
Misalnya, anggukan kepala mewakili persetujuan, gelengan mewakili
ketidaksetujuan.
Berdasarkan teori tanda yang
ditemukan oleh Saussure dan Pierce, maka dapat disimpulkan bahwa ilmu semiotika
berarti ilmu tentang tanda-tanda. Menurut Zoest (dalam Munandar, 2004); Ilmu
semiotika dapat diartikan sebagai cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian
tanda dan segala sesutu yang berhubungan dengan tanmda, sepeti sistem tanda dan
prosesyang berlaku bagi penggunaan tanda. Pendapat yang sama dikemukakan oleh
Hoed (dalam Munandar, 2004) bahwa” semiotik adalah ilmu atau metode analisis
untuk mengkaji tanda”.
Semiotika dalam kamus besar bahasa
Indonesia dapat diartikan sebagai suatu ilmu (teori) tentang lambang dan tanda
(dalam bahasa, lalu lintas, kode, morse dan sebagainya) (Lukman, 1995).
Dikemukakan oleh Junus (1981) bahwa semiotik merupakan lanjutan atau
perkembangan strukturalisme tidak dapat dipisahkan dengan semiotik. Alasannya
adalah karya sastra itu merupakan struktur tanda-tanda dan maknanya, dan
komvensi tanda, struktur karya sastra tidak dapat dimengerti maknanya secara
optimal.
Pendekatan
semiotik bertolak dari asumsi bahwa karya sastra memiliki suatu sistem sendiri
yang memiliki dunianya sendiri, sebagai suatu realitas yang hadir atau
dihadirkan dihadapan pembaca didalamnya terkandung potensi komunikatif yang
ditandai adanya lambang-lambang kebahasan yang khas yang memiliki nilai
artistik yang dramatik itu di akibatkan suatu dorongan kreatif yang subjektif
pengarang pemaknaannya juga mengacu kepada suatu yang lain, selain teks, yang
mengacu kepada berbagai dimensi makna yang sering kali bersifat kompleks.
Karya sastra itu
merupakan struktur yang bermakna. Hal ini mengingat bahwa karya sastra itu
merupakan sistem tanda yang mempunyai makna yang menggunakan medium bahasa.
Bahasa merupakan suatu sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol. Ia
merupakan simbol yang rangkain bunyi yamg dihasilkan atau alat ucap manusia
harus diberikan makna tertentu, yaitu mengacu kepada suatu yang ditangkap panca
indera. Hal ini dijelaskan oleh Pradopo (1994) sebagai berikut:
Bahasa sebagai medium karya sastra
sudah merupakan sistem semiotik atau ketandaan, yaitu sistem ketandaan yang
mempunyai arti, medium karya sastra bukanlah bahan yang bebas (netral) seperti
bunyi pada alat musik ataupan warna pada lukisan. Warna cat sebelum
dipergunakan dalam lukisan bersifat netral belum mempunyai arti apa-apa,
sedangkan kata-kata (bahasa) sebelum dipergunakan dalam karya sastra sudah
merupakan suatu lambang yang sudah mempunyai arti yang ditentukan oleh
perjanjian masyarakat. Lambang atau tanda-tanda bahasa itu berupa satuan-satuan
bunyi yang mempunyai arti konvensi masyarakat. Bahasa itu merupakan sistem
ketandaan yang berdasarkan atau ditentukan oleh konvansi (perjanjian)
masyarakat, sistem ketandaan itu disebut semiotik.
Dari pendapat
para ahli pesan teoris semiotika, dapat ditarik kesimpulan bahwa semiotika
merupakan cabang ilmu yang beberurusan dengan pengkajian tanda dengan segala
sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda yang berlaku bagi
kegunaan tanda.
2.
Elemen-elemen Dasar Semiotika
Penggunaan metode semiotika dalam
memahami dan membongkar puisi harus didasarkan pada pemahaman yang komprehensif
mengenai elemen-elemen dasar semiotika. Elemen dasar dalam semiotika adalah
komponen tanda yang meliputi, lambang (symbol)dan makna.tingkatan tanda
(denotasi/konotasi), serta relasi tanda (metafora/metonimi). Semitotik sebagai
pijakan dalam pengakjian karya sastra tentu mempunyai komponen di dalamnya.
Komponen dasar semiotik mencakup. Ketiga komponen inilah yang dapat dijadikan
sebagai pijakan dalam mengkaji karya sastra.
Tanda dalam semiotik merupakan bagian yang menandai sesuatu
atau keadaan untuk menerangkan obyek kepada subyek. Tanda, dalam hal ini
selalu menunjukkan kepada sesuatu yang bersifat nyata misalnya benda, kejadian,
tulisan, bahasa, peristiwa dan bentuk-bentuk tanda lainnya. Sebagai contoh
terjadinya peristiwa gunung meletus mungkin diawali dengan tanda-tanda yang
menunjukkan akan terjadinya peristiwa tersebut misalnya keluarnya asap tebal
diiringi lahar. Bentuk seperti tanda alamiah tersebut merupakan suatu bagian
dari hubungan secara alamiah pula. Peristiwa gunung meletus diwali dengan
tanda-tanda yang menandakan akan terjadinya peristiwa itu.
Tanda-tanda alamiah berbeda dengan tanda-tanda yang dibuat
oleh manusia. Tanda-tanda yang dibuat oleh manusia hanya akan merujuk
pada sesuatu hal yang terbatas maknanya. Tulisan manusia misalnya, merupakan
tanda yang maknanya terbatas pada hal-hal yang tertuang di dalamnya. Hal ini
dapat pula ditunjukkan oleh binatang dengan bunyi (suara) sebagai penanda dari
binatang tersebut. Tanda-tanda seperti itu selalu tetap dan tidak pernah
berubah. Dengan demikian tanda bersifat statis, umum, lugas dan obyektif.
1)
Komponen Tanda
Penggunaan semiotika sebagai ‘metode
pembacaan’ di dalam berbagai cabang keilmuan dimungkinkan, oleh karena ada
kecenderungan dewasa ini untuk memandang berbagai wacana sosial, politik,
ekonomi, budaya, seni dan desain sebagai fenomena bahasa. Berdasarkan pandangan
semiotika, bila seluruh praktek sosial dapat diangap fenomena bahasa, ia dapat
pula dipandang sebagai “tanda”. Hal ini dimungkinkan karena luasnya penjelasan
“tanda” itu sendiri. Saussere, misalnya, menjelaskan “tanda” sebagai kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan dari dua bidang –seperti halnya selembar
kertas-yaitu bidang penanda (signifier) nntuk menjelaskan ‘bentuk’ atau
’ekspresi’; dan bidang petanda (signified), untuk menjelaskan ‘konsep’ atau
‘makna’.
Berkaitan
dengan piramida pertandaan Saussure ini (tanda/penanda/petanda), Saussure menekankan perlunya semacam konvensi sosial
(social convention) dikalangan komunitas bahasa, yang mengatur makna sebuah
tanda. Satu kata mempunyai makna tertentu disebabkan adanya kesepakatan sosial
di antara pengguna bahasa. Meskipun, di dalam masyarakat informasi dewasa ini
terjadi perubahan mendasar tentang bagaimana tanda dan “obyek sebagai tanda”
dipandang dan digunakan. Perubahan ini disebabkan arus pertukaran tanda (sign
exchange) atau obyek dewasa ini tidak lagi berpusar di dalam satu komunitas
tertutup, tetapi meliobatkan persinggungan diantara berbagai komunitas,
kebudayaan, dan ideologi. Jean Baudrillard, di dalam berbagai karyanya mencoba
melihat secara kritis kompleksitas penggunaan obyek dan sistem obyek (the
system of objects). Dalam konteks tandanya (sign value) di dalam masyarakat
kapitalis dewasa ini, yang merupakan suatu bidang penelitian sendiri yang
sangat kompleks (Pradopo, dkk. 2002).
Selanjutnya
dikatakan, tanda dalam hubungan dengan acuannya dibedakan menjadi tanda yang
dikenal dengan ikon, indeks, dan simbol/lambang dan makna.
a. Lambang/Simbol
Lambang adalah sesuatu yang mengantarkan pemahaman si subyek
kepada obyek. Suatu lambang biasanya selalu dikaitkan dengan tanda-tanda yang
secara kultural, situasional, dan kondisional mengacu pada pengertian tertentu.
Lambang kebanggaan negara berupa bendera. Warna pada bendera tersebut mempunyai
makna sesuai dengan kultur, situasi, dan kondisi.
Lambang bagi Peirce merupakan bagian dari tanda. Setiap
lambang adalah tanda dan tidak setiap tanda itu sebagai lambang. Adakalanya
tanda dapat menjadi lambang secara keseluruhan yaitu dalam bahasa. Sebagai
sistem tanda yang arbitrer, setiap tanda dalam bahasa merupakan lambang.
Puisi sebagai karya dengan medium bahasa di dalamnya terdapat lambang
yang berupa bunyi, baik vokal maupun konsonan yang menyiratkan makna tertentu.
b. Makna
Pengertian pemaknaan puisi yaitu pemberian makna atau
penggantian makna pada sebuah puisi.
2)
Tingkatan Tanda
Cara pengkombinasian tanda serta aturan yang melandasinya
kemungkinan untuk dihasilkan makna sebuah teks. Oleh karena itu, hubungan
antara sebuah penanda dan petanda bukanlah terbentuk secara alamiah, melainkan
hubungan yang terbentuk berdasarkan konvensi, maka sebuah penanda dan pada
dasarnya membuka berbagai peluang atau makna.
Roland Barthes
mengembangkan dua tingkatan pertandaan, yang memungkinkan untk menghasilkan
makna yang juga bertingkat-tingkat yaitu tingkat denotasi dan konotasi.
“Denotasi” adalah
tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau
antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna eksplisit,
lamgsung dan pasti. Makna
denotasi, dalam hal ini, adalah makna pada apa yang tampak. Misalnya foto wajah
Barnadi berarti wajah Barnadi yang sesungguhnya. Denotasi adalah tanda yang
penandanya mempunyai tingkat konvensi atau kesepakatan yang tinggi.
“Konotasi” adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan
hubungan antara penanda dan petanda, yang di dalamnya beroperasi makna yang
eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka dalam berbagai
kemungkinan). Ia menciptakan makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda
dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis, seperti perasaan, emosi, atau keyakinan.
Misalnya, tanda bunga mengkonotasikan
‘kasih sayang’ atau tanda tengkorak mengkonotasikan
‘bahaya’. Konotasi dapat menghasilkan makna lapis kedua yang bersifat implisit,
tersembunyi, yang disebut makna konotatif.
Selain itu, Roland Barthes juga melihat makna yang lebih
dalam tingkatnya, tetapi lebih bersifat konvensional, yaitu makna-makna yang
berkaitan dengan mitos. Mitos dalam pemahaman semiotika Barthes adalah
pengkodean makna dan nilai-nilai sosial (yang sebetulnya arbitrer atau
konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap alamiah.
3)
Relasi Antartanda
Selain kombinasi tanda, analisis semiotika juga beruapaya
mengungkap interaksi di antara tanda-tanda.meskipun bentuk interaksi di antara
tanda-tanda ini sangat terbuka luas, tetapi ada dua bentuk interaksi utama yang
dikenal, yaitu metafora (metaphor) dan metonimi (metonymy).
“Metafora” adalah sebuah model interaksi tanda, yang di
dalamnya sebuah tanda dari sebuah sistem yang lainnya. Misalnya penggunaan
metafora ‘kepala batu’ untuk menjelaskan seseorang yang tidak mau diubah
pikirannya. Metafora merupakan sebuah kecenderungan yang banyak digunakan di
dalam berbagai puisi sebagai karya sastra.
“Metonimi” adalah interaksi tanda, yang di dalamnya sebuah
tanda diasosiasikan dengan tanda lain, yang di dalamnya terdapat hubungan
bagian (part) dengan keseluruhan (whole). Misalnya, tanda botol (bagian)
untuk mewakili ‘pemabuk’ (total). Atau, tanda mahkota untuk mewakili konsep tentang ‘kerajaan’. Relasi metafora
dan metonimi ini banyak digunakan di dalam puisi sebagai dua majas (figure of speech). Untuk menjelaskan
makna-makna secara tidak langsung.
3.
Unsur-unsur
Puisi dalam Kajian Semiotik
Puisi sebagai karya sastra sarat dengan makna. Untuk dapat
mengungkap makna pada sebuah puisi dapat dikaji dengan menggunakan teori
semiotik. Beberapa unsur puisi yang menjadi bahan kajian semiotik dalam
penelitian ini adalah diksi, makna kata, citraan, dan gaya bahasa. Unsur-unsur
tersebut merupakan unsur pembangun sebuah puisi yang dapat mengantarkan usaha
mamaknai puisi menjadi lebih mudah
a. Diksi
Diksi
berasal dari bahasa Latin dicere atau dictum. Dalam
bahasa Inggris dikenal istilah diction. Diksi dapat berarti pemilihan
dan penyusunan kata-kata dalam tuturan atau tulisan (Scott). Diksi adalah
pilihan kata yang tepat dan selaras untuk mengungkapkan gagasan sehingga
memperoleh efek tertentu. Dengan demikian diksi dapat diartikan berupa
kecermatan pemilihan dan penggunaan kata-kata yang bertujuan untuk
memperoleh efek ucapan atau tulisan yang disampaikan.
Penyair
sebagai pengungkap kegelisahan batinnya tentu menginginkan kata-kata yang tepat
dalam pengungkapannya. Ketepatan kata yang dipilih memungkinkan akan adanya
penjelmaan pengalaman jiwa penyair secara utuh. Oleh karena itu, diksi
merupakan sarana bagi penyair untuk dapat mengungkapakan pengalaman jiwa yang
diekspresikan dalam bentuk kata-kata yang tepat. Ketepatan pemilihan kata
memungkinkan penyair dapat menimbulkan imaji estetik. Dengan demikian, diksi
merupakan salah satunya sarana untuk mendapatkan nilai estetik.
Penyair
ingin mengekspresikan pengalaman jiwanya secara padat dan intens. Untuk hal itu, ia memilih kata-kata yang
setepat-tepatnya yang dapat menjelmakan pengalaman jiwanya. Untuk
mendapatkan intensitas serta supaya selaras dengan sarana komunikasi
puitis yang lain maka penyair memilih kata-kata dengan secermat-cermatnya
(Altenbern dalam pradopo). Kecermatan penyair dalam memilih kata-kata salah satu
pertimbangannya adalah mencermati perbedaan makna kata sekecil-kecilnya.
Perbedaan makna kata akan menimbulkan kesan tersendiri pada puisi yang
dihasilkan.
Dalam
penciptaan puisi, penyair sangat cermat dalam hal pemilihan kata-kata yang akan
dipergunakannya. Pemilihan kata-kata secara tepat dapat dipertimbangkan melalui
makna yang terkandung. Di samping makna, komposisi bunyi dan kedudukan kata
dalam bait-bait puisi juga sangat diperhatikan. Kata-kata yang dipilih tersebut
bersifat absolut dan tidak bisa digantikan dengan kata-kata lain walaupun
dengan padanan katanya sekalipun. Penggantian kata-kata atau urutan kata akan
merusak konstruksi puisi sehingga puisi tersebut akan kehilangan daya gaibnya
(Herman J. Waluyo). Dengan demikian, begitu penting kecermatan dalam memilih
kata-kata untuk menyampaikan pesan dalam sebuah puisi. Kecermatan dalam
pemilihan kata-kata ini akan dapat dilakukan jika seorang penulis puisi
memiliki perbendaharaan kata yang cukup memadai.
Perbendaharaan
kata-kata yang dimiliki seorang penyair akan memudahkan penuangan ide-ide dalam
karya-karyanya. Dengan kata-kata yang cukup terpilih juga akan memperlihatkan
kemampuan penyair dalam mengekspresikan ide-ide tersebut. Di samping itu,
dengan kata-kata yang secara selektif terpilih akan memperlihatkan
karakterisitik karya-karya yang dihasilkan. Dengan demikian, kekuatan diksi
seorang penyair jelas harus ditunjang dengan perbendaharaan kata yang cukup.
Perbendaharaan
kata bagi seorang penyair merupakan satu keharusan yang mesti dimiliki. Untuk
mendapatkan kata-kata yang sesuai dengan problematika yang akan disampaikan
penyair biasanya tidak saja memilih kata-kata yang secara konvensional banyak
digunakan, tetapi bisa saja ia memillih kata-kata yang sudah tidak dipergunakan
lagi di masyarakat. Penggalian kata-kata tidak terbatas ke dalam perbendaharaan
kata dari masa si pengarang itu, tetapi sering juga mencari jauh ke dalam
perbendaharaan kata di masa lalu. Oleh karena itu, dalam sastra terhimpun
perbendaharaan kata luas. (Rusyana).
Dalam tataran
kata, sastra mempunyai satu kebesasan dalam pemilihannya. Bisa saja penyair
menggunakan kata-kata yang sudah lama tidak dipergunakan lagi di masyarakat.
Kebebasan ini bisa saja memunculkan kembali penggunaan kata-kata yang sudah
tidak dipergunakan atau membangkitkan makna yang terkandung di dalam kata
tersebut. Dengan demikian, diksi dalam sebuah puisi bukan saja mengantarkan
makna yang akan disampaikan dapat pula mengantarkan kata-kata lama untuk
dipergunakan kembali.
b. Makna Denotasi dan Konotasi
Kata-kata yang terdapat dalam teks mempunyai makna
tersendiri. Secara umum makna kata terdiri dari makna denotatif dan makna
konotatif. Makna denotasi adalah yang merujuk kepada makna sebenarnya (makna
kamus). Sedangkan makna konotasi adalah arti tambahan yang ditimbulkan
asosiasi-asosiasi yang keluar dari denotasinya (Attenbern dalam Pradopo).
(Makna
denotatif adalah makna yang terdapat dalam kamus, sebaliknya makna konotatif
asosiasi-asosiasi yang melahirkan struktur makna kata berdasarkan konteks dalam
pemikiran dan kata-kata lainnya dengan yang biasanya).
Perbedaan
denotatif dan konotatif didasarkan pada ada atau tidaknya nilai rasa pada
sebuah kata. Setiap
kata penuh mempunyai makna denotatif tetapi tidak mesti mempunyai makna
konotatif. Makna denotatif diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai
dengan hasil observasi yang dirasakan oleh panca indera dan perasaan serta
pengalaman lainnya. sedangkan makna konotasi mengandung makna tambahan (Chaer,
1994: 2).
Kata bermakna denotasi bersifat umum, tradisional, dan
presendensial. Denotasi biasanya merupakan hasil penggunaan yang cukup lama dan
termuat dalam kamus. Perubahan kata bermakna denotasi sangat lambat.
Konotasi merupakan respon emosional yang sering kali bersipat
perseorangan, timbul dalam kebanyakan kata-kata leksikal pada kebanyakan
pemakainya (Tarigan). Secara tidak langsung makna denotasi adalah makna kata
berdasarkan kamus sedangkan konotasi berupa makna tambahan akibat adanya respon
emosional. Respon emosional inilah yang akan menumbuhkembangkan makna konotasi
pada diri pemakainya.
Makna kata yang masih menunjuk pada acuan dasarnya sesuai
dengan konvensi yang telah disepakati bersama disebut makna denotatif atau
makna dasar. Makna kata yang telah mengalami perubahan terhadap makna dasarnya
disebut makna konotatif atau makna tambahan. Dengan demikian makna konotatif
muncul manakala terjadi penambahan makna terhadap denotatif akibat kesan-kesan
yang dimunculkan.
Makna konotatif muncul akibat adanya asosiasi-asosiasi.
Asosiasi akan muncul jika terdapat makna kata yang tidak hanya memiliki satu
makna. Makna konotatif sebuah kata dipengaruhi dan ditentukan oleh
dua lingkungan, yaitu lingkungan tekstual dan lingkungan budaya ( Sumardjo
dan Saini K.M). Lingkungan tekstual adalah keseluruhan kata-kata dalam
sebuah teks akan menentukan makna konotatif sebuah kata. Sedangkan lingkungan
budaya adalah lingkungan yang secara tidak langsung menafsirkan makna-makna
kata (makna kata berdasarkan konvensi masyarakat). Pada masyarakat tertentu
pengucapan kata-kata mengandung makna yang berlainan jika dibandingkan dengan
masyarakat lainnya. Hal itu terjadi karena pada suatu masyarakat mungkin
kata-kata tersebut berlainan penafsirannya.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa sebuah kata
mungkin hanya bermakna denotatif atau bermakna denotatif dan konotatif
sekaligus. Makna denotatif adalah makna yang bersifat hanya menunjuk pada suatu
hal yang berupa hasil observasi yang dirasakan pancaindera dan bersifat umum.
Sedangkan makna konotatif adalah makna tambahan yang ditimbulkan dengan adanya
asosiasi-asosiasi yang keluar dari denotasinya. Hal itu merupakan responsi
emosional yang bersifat arbitrer dan terkadang bersifat irasional.
c. Citraan
Citraan (imagery) merupakan sesuatu yang dirasakan
atau dialami secara imajinatif. Dengan ketepatan pilihan kata dalam sebuah
karya sastra (puisi) membantu daya bayang untuk menjelmakan gambaran yang
nyata. Pembaca atau pendengar sastra seolah-olah dapat melihat, merasakan,
mendengar, menyentuh apa yang dibaca atau ditulis penyair. Citraan dalam sebuah
puisi mengingatkan kembali sesuatu yang pernah dirasakan oleh pancaindera.
Sebuah puisi sebagai karya sastra mempunyai daya bayang yang kuat apabila puisi
itu mampu menimbulkan suatu gambaran atau menggugah perasaan, rasa, bunyi, atau
aroma.
Citraan ialah gambar-gambar dalam pikiran dan bahasa yang
menggambarkannya (Atenbernd dalam Pradopo). Munculnya gambar-gambar dalam
pikiran merupakan efek dari hasil penangkapan pancaindera. Penangkapan
pancaindera yang melekat pada pikiran akan mampu terekam jika pengalaman-pengalaman
inderaan pernah dialaminya.
Citraan merupakan gambaran angan. Gambaran-gambaran angan
itu bermacam-macam sesuai dengan indera yang menghasilkannya. Citraan dapat
berupa penglihatan, pendengaran, perabaan, pengecapan, penciuman. Citraan yang
dihasilkan berdasarkan indera penglihatan disebut citraan penglihatan (visual
imagery), citraan pendengaran (auditory imagery), dan sebagainya.
Dengan demikian, citraan yang muncul bergantung pada indera yang menangkapnya.
Macam pencitraan itu meliputi kelima jenis indera manusia yakni citraan
penglihatan (visual), pendengaran (auditoris), gerakan (kinestetik),
rabaan (taktil termal), dan penciuman (olfaktori) (Harimurti,
1982:76).
Dalam karya sastra, citraan berfungsi untuk memberikan
gambaran yang jelas. Dengan adanya citraan, puisi akan terlihat lebih hidup dan
menimbulkan suasana khusus, serta akan menarik perhatian. Pencitraan merupakan
suatu gaya yang banyak dimanfaatkan dalam penulisan sastra. Pencitraan dapat
dipergunakan untuk mengkonkretkan pengungkapan gagasan yang abstrak
dengan kata-kata yang mudah membangkitkan tanggapan imajinasi. Dengan adanya
daya tanggapan imajinasi pembaca dengan mudah akan dapat membayangkan,
merasakan, dan menangkap pesan yang terdapat dalam karya sastra. Dengan
demikian, adanya pencitraan akan memudahkan pembaca untuk memahami sebuah
karya.
Bermacam-macam citraan yang mungkin muncul dalam sastra.
Penggunaan dari citraan tersebut mungkin intensitasnya akan berbeda-beda sesuai
dengan penulis karya tersebut. citraan dapat dibedakan atas beberapa bagian.
Bagian tersebut merujuk pada aspek citraan apa yang tertuang dalam sebuah
karya, bagian citraan tersebut, yaitu: (1) citraan penglihatan (visual
imagery); ( 2) citraan pendengaran (auditory imagery);
(3)citraan penciuman (olfactory imagery); (4) citraan perabaan (tactile
imagery); (5) citraan perasaan dan pencecapan (gustatory imagery);
(6) citraan pemikiran (intelectual imagery); dan (7) citraan gerak (kinaesthetic
imagery).
Dengan adanya berbagai citraan, pembaca karya sastra dapat
tergugah untuk menangkap gambaran yang terdapat dalam karya sastra. Pembaca
dapat melihat, mendengar, merasakan, mencium hal-hal yang tergambarkan dalam
karya sastra. Dengan demikian, sebuah citraan atau imagery merupakan
segala sesuatu yang dapat terlihat, terdengar, tercium, tersentuh, atau
terasakan. Dengan demikian sebuah citraan adalah sesuatu yang dapat dirasakan
yang lahir dari pengalaman.
d. Bahasa Kiasan
Puisi
sebagai bentuk karya sastra banyak menggunakan bahasa kiasan dalam
penyampaian gagasan yang terkandung di dalamnya. Bahasa kiasan (figurative
language) meruapakan bahasa yang bersusun-susun atau berfigura.
Adanya bahasa kias dapat mengefektikan penyampaian maksud. Dengan
bahasa kias, imaji tambahan akan semakin mudah ditemukan sehingga yang abstrak
menjadi konkret dan puisi lebih mudah dipahami dan nikmat untuk ditelaah.
Bahasa kias juga dapat menyampaikan sesuatu yang luas menjadi simpel dan taktis
sehingga orang mudah memahami maksudnya.
1) Metode
Analisis Teks Puisi
Tanda
selalu berada dalam hubungan trio
yaitu dengan ground, acuannya dan interpretan. Hubungan dengan acuannya
ada tiga macam, yaitu hubungan kemiripan yang menimbulkan tanda yang disebut ikon, hubungan kedekatan eksistensi
(kontinguitas) menimbulkan tanda yang disebut indeks, dan yang terakhir adalah hubungan yang terbentuk secara
konvensional yang disebut simbol/lambing.
Metode
semiotik pada dasarnya Metode semiotik pada dasarnya beroperasi pada dua
jenjang analisis. Pertama analisis tanda secara individual, misalnya jenis tanda,
mekanisme atau struktul tanda, dan makna tanda secara individual. Yaitu kedua,
analisis tanda sebagai sebuah kelompok atau kombinasi, yaitu kumpulan
tanda-tanda yang membentuk apa yang disebut sebagai “teks” (text).
‘Teks’
dalam pengertian yang paling sederhana adalah ‘kombinasi tanda-tanda’.
Tipe-tipe teks yang paling jelas adalah kalimat yang ditulis dari sebuah novel,
atau fesyen yang dikenalkan oleh seseorang. Masing-masing teks ini mempunyai
aksi paradigmatik dan sintagmatiknya yang khusus. Kata-kata pada puisi atau
unsur-unsur pakaian pada fesyen dapat
dianggap sebagai kumpulan tnda-tanda, yang secara bersama-sama membentuk verbal
teks dan fesyen teks. Dalam
pengertian yang sama, banda-benda desain apa pun (man, fesyen, produk,
interior, arsitektur) dapat dianggap sebuah teks oleh karena itu merupakan
kombinasi elemen tanda-tanda, dengan kode dan aturan tertentu sehingga
menghasilkan sebuah ekspresi bermakna.
Pada
analisis tanda secara individual dapat digunakan berbagai modelanalisis tanda,
misalnya analisis tipologi tanda, struktur tanda, dan makna tanda. Diantara
tipologi tanda yang terkenal adalah yaitu indeks, ikon dan simbol. “Indeks”
adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petanda di dalamnya bersifat
kausal, misalnya: hubungan antara asap dan api. “Ikon” adalah tanda yang
hubungan antara penanda dan petanda bersifat kesurupan. Misalnya, foto Soekarno
yang merupakan ‘tiruan’ dua dimensi dari soekarno. Sementara, ‘simbol’ adalah
yang hubungan penanda dan petandanya bersifat arbiter.
Analisis
tanda-tanda di dalam kelompok atau kombinasinya disebut “analisis
teks”.Semiotik teks, dalam hal ini tidak berhenti hanya menganalisis tanda
(jenis,struktur, makna)secara individu, akan tetapi melingkupi pemilihan
tanda-tanda yang di kombinasikan ke dalasm kelompok atau pola-pola yang lebih
besar(teks), yang di melatar belakangi kombinasi tanda-tanda tersebut. Thwaites
mengajukan model dan prinsip analisis teks berikut.
Prinsip dasar
analisis teks adalah polysemy, yaitu keaneka-ragaman makna sebuah penanda
a)
Konotasi sebuah tanda selalu berkaitan dengan kode
nilai, makna sosial serta berbagi perasaan, sikap, atau emosi yang ada.
b)
Setiap
teks adalah kombinasi sintagmatik tanda-tanda, lewat kode sosial
tertentu, menghasilkan konotasi-konotasi tertentu. Metafora dan metanimi menjadian
bagian dari pengkombinasian tanda ini.
c)
Konotasi
yang di tekankan oleh pembaca yang berbeda bergantung pada posisi sosial mereka
masing-masing, yaitu kelas, gender, ras, umur dan faktor lain yang mempengaruhi
cara bagaimana berfikir tentang dan menafsirkan teks.
d)
Konotasi yang di terima luas secara sosial akan
berkembang menjadi denotasi, yaitu makna tanda atau teks yang di anggap benar
oleh pembaca.
e)
Denotasi mereperensikan mitos budaya (cultural myth),
seperangkap kepercayaan dan sikap yang di anggap sebagai benar oleh pembaca
teks.
Akan tetapi, model yang dikemukakan
oleh Twhaites di atas hanya salah satu model saja dari berbagai kemungkinan
model analisis teks. Berbeda dengan Thwaites, misalnya, Fiske mengajukan model
yang berbeda, yang melihat bahwa analisis denotasi mendahului analisis
konotasi, bukan sebaliknya.
Selain itu, metode
analisis teks itu sendiri pada prinsipnya dikombinasikan pada metode analisis
lainnya di dalam sebuah kombinasi metodologi. Judith Willianmsons, misalnya di
dalam Decoding Advertisements,
mengembangkan sebuah metode analisis iklan, yang di dalamnya di kombinasikan
pendekatan semiotika dan pendekatan psikoanalis. Dick Hebdige, dalam bukunya
Subculture: The meaning of style.
Mengombinasikan metode semiotikan dan metode antropologi, dalam rangka memahami
penomena pertandaan di kalangan kelompok subkultur, seperti punk, Hippers, Skinhead, dan sebagainya.
Meskipun demikian,
model-model analisis teks tersebut sering di anggap tidak memenuhi persyaratan
penelitian ilmiah di sebabkan lemahnya tingkat obyektivitas, tidak adanya
prosedur verifikasi, serta kurangnya pengbuktian empiris di dalamnya. Metode
analisis teks di anggap bersifat terlalu subyektif, arbiter, dan ideologis.
4.
Metode Strukturalisme Semiotik
Sesuai dengan teori strukturalisme semiotik, kajian sastra,
khususnya puisi, memerlukan metode analisis itu dengan pemaknaan antara lain:
(a) Sajak dianalisis ke dalam unsur-unsurnya dengan memperhatikan saling
hubungan antar unsur-unsurnya dengan keseluruhannya. (b)Tiap unsur puisi
(sajak) itu dan keseluruhannya diberi makna sesuai dengan konvensi puisi. (3)
Setelah sajak dianalisis ke dalam unsur-unsurnya dilakukan pemaknaan, sejak
dikembalikan makna toralitasnya dalam kerangka semiotik.
Untuk pemaknaan itu
diperlukan pembacaan secara semiotik, yaitu pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik atau pembacaan retroaktif
(Riffaterre dalam Pradopo, dkk, 2002).
a.
Pembacaan Heuristik
Pembacaan
heuristik adalah pembacaan yang
berdasarkan pada konvensi bahasa yang bersifat mimetik (tiruan alam) dan
membangun serangkaian arti yang heterogen, berserak-serakan atau takgramatikal.
Hal ini dapat terjadi karena kajian didasarkan pada pemahaman arti kebahasaan
yang bersifat lugas atau berdasarkan arti denotatif dari suatu bahasa. Untuk
memperjelas arti dalam pembacaan ini, perlu diberi sisipan atau sinonim
kata-katanya ditaruhkan dalam tanda kurung. Begitu struktur kalimatnya
disesuaikan dengan kalimat baku (berdasarkan bahasa normatif); bilamana perlu
susunannya dibalik untuk memperjelas arti.
b.
Pembacaan Hermeneutik
Pembacaan hermeneutik merupakan pembacaan yang
bermuara pada ditemukannya satuan makna puisi secara utuh dan terpadu. Puisi
harus dipahami sebagai sebuah satuan yang bersifat struktural atau bangunan
yang bersusun dari berbagai unsur kebahasaan.
Oleh karena itu, pembacaan hermeneutik pun
dilakukan secara struktural. Artinya, pembacaan itu bergerak secara bolak-balik
dari suatu bagian ke keseluruhan dan kembali ke bagian yang lain dan
seterusnya. Pembacaan ini dilakukan pada interpretasi hipogram potensial,
hipogram aktual, model, dan matriks.
Urutan-urutan
metode di atas dapat dibalik (ditukar-tukar) sesuai dengan keperluan analisis
struktural itu dapat dimulai darimana saja sesuai dengan keperluannya.
DAFTAR PUSTAKA
Azis Siti Aida. 2014. “kritik sastra”, 11-10-2014. dalam bunda.ipass@mail.com