Powered By Blogger

Kamis, 20 November 2014

UNSUR-UNSUR PEMBANGUN PUISI (KATA dan BAHASA KIAS)



UNSUR-UNSUR PEMBANGUN PUISI (KATA dan BAHASA KIAS)

A.  UNSUR KATA
Kata adalah unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan (Depdiknas, 2007: 513). Dalam puisi, kata bisa diucapkan juga dituliskan. Kata menjadi sangat penting sekali sebab melalui katalah kita mengungkapkan puisi. Ada dua hal yang menjadi sorotan kaitannya dengan diksi dan interpretasinya pada sebuah puisi. Pertama, mengenai pemilihan diksi. Kedua, mengenai cara pemaknaan diksi itu sendiri. Menurut Sudjiman (1984: 19) diksi yang baik adalah yang tepat dan selaras dengan peristiwa yang dibicarakan pada suatu puisi. Pemilihan kata pada sebuah puisi didasarkan pada pertimbangan apakah suatu kata mampu atau tidaknya menyampaikan pesan yang ingin disampaikan secara utuh. Hal ini menjadi penting agar maksud si penyair dapat tersampaikan. Kadang seorang penyair harus merevisi diksi puisinya saat dirasa belum sepenuhnya mampu menyampaikan apa yang dimaksudkan. Artinya, sang penyair merasa ada yang kurang. Hal ini pernah terjadi pada Chairil Anwar, puisinya yang berjudul Hampa. Pada versi pertamanya, Deru Campur Deru (DCD), kata-kata sebelum larik awalnya hanyalah Kepada Sri. Sedangkan, pada versi kedua, Kerikil Tajam diubah menjadi Kepada Sri yang selalu sangsi. Alasan Chairil menambahkan kata yang selalu sangsi mungkin untuk menimbulkan efek suasana yang lebih mengena daripada pilihan diksi sebelumnya, yaitu hanya Kepada Sri saja. Untuk membandingkannya, dapat kita lihat contohnya di bawah ini.
Versi DCD:HAMPA
Kepada Sri
Sepi di luar
Sepi menekan-mendesak
Lurus kaku pohonan
Tak bergerak
Sampai ke puncak Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti
Sepi
Tambah ini menanti jadi mencekik
...dst.
 (Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang: 24)
Versi Kerikil Tajam:
HAMPA
Kepada Sri yang selalu sangsi
Sepi di luar Sepi menekan-mendesak
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti
Sepi
Tambah ini menanti jadi mencekik
...dst.
(Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang: 24)
Kemudian, menurut Hasanuddin WS (2012: 68-69) penyair boleh menggunakan bahasa sehari-hari, komunikasi, atau memilih bahasa apa saja. Penyair juga boleh menggunakan bahasa asing atau bahasa daerah. Hal ini semata-semata demi kepentingan kepadatan makna, demi kepentingan tersampaikannya makna secara utuh dan memiliki nilai estetik. Diksi yang dianggap berlebihan adalah saat seorang penyair menggunakan kata yang begitu jarang digunakan, padahal masih ada kata lain yang lebih umum namun masih memiliki nilai estetis.  Hal yang kedua menjadi sorotan kaitannya dengan unsur kata adalah mengenai secara apa kita memaknai sebuah puisi (interpretasi). Secara denotatif ataukah konotatif? Denotatif berarti mengacu pada makna yang tertera di kamus, sedangkan konotatif sebaliknya memerlukan tambahan makna lain berdasarkan konteks yang dihadirkan. Contoh:

B.  UNSUR BAHASA KIASAN/MAJAS (FIGURATIVE LANGUAGE)
Bahasa puisi tidak lepas dari penggunaan majas/bahasa kiasan. Majas adalah bahasa kias, bahasa yang dipergunakan untuk menciptakan efek tertentu (admin, http://carapedia.com/pengertian_majas_info741.html, akses 28 Oktober 2014). Pradopo (2012: 62), menyatakan bahwa penggunaan majas menyebabkan puisi menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan. Contoh dalam hal menimbulkan kejelasan gambaran angan, seorang penyair yang ingin mengungkapkan perasaan rindu bisa saja mengumpamakannya seperti tanah kering yang menanti hujan. Ada begitu banyak jenis majas. Pada makalah ini hanya akan dijelaskan beberapa saja. Secara umum, gaya bahasa terbagi ke dalam beberapa kelompok di antaranya: majas perbandingan, majas pertentangan, majas pertautan, dan majas perulangan.
1.      Majas Perbandingan
Majas ini digunakan untuk membandingkan satu hal dengan lainnya. Yang tergolong ke dalam majas perbandingan di antaranya: asosiasi/perumpamaan, metafora, personifikasi, depersonifikasi, alegori, simbolik, dan simile (Mulyadi, http://mbahkarno.blogspot.com/2012/08/macam-macam-majas-perbandingan-beserta.html, akses 28 Oktober 2014).
a.       Asosiasi/Perumpamaan
Majas ini digunakan untuk membandingkan dua hal yang hakikatnya berbeda namun sengaja dianggap sama. Biasanya ditandai dengan kata bagai, seperti, umpama, laksana, dan lain-lain. Contoh:
Sungai susu
Di pangkal tidurnya mereka dengar bisikan
Halus bagai biji-biji hujan yang berkecambah
Siap tumbuh memanjat udara ke awan-awan setelah diguyur matahari tidak terbelah
...dst.
(mam, 2012: 39)
b.      Metafora
Menurut Becker (Seperti dikutip Pradopo, 1978: 317)
, metafora itu melihat sesuatu dengan perantara benda yang lain. Majas ini digunakan untuk mengungkapkan perbandingan analogis tanpa menggunakan kata-kata yang digunakan pada majas asosiasi. Contoh:
Bumi ini perempuan jalang.
(Subagyo, “Dewa Telah Mati”, 1975: 9)
c.       Personifikasi
Majas ini mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir, dan sebagainya seperti manusia (Pradopo, 2012: 75). Contoh:
Mimpi segelap apa pun selalu memiliki sebatang pulpen
yang mampu mencatat nama-nama atau kehidupan bahkan kehidupan yang sudah mati. Tetapi dalam mimpimu tinta pulpen itu hanya jatuh cinta kepada satu nama. nama yang melukaimu: aku
...dst.
 (mam, 2012: 19)
d.      Depersonifikasi
Depersonifikasi adalah jenis majas yang mengumpamakan manusia seolah-olah menjadi binatang, tumbuhan, dan benda-benda mati lainnya. Majas ini kebalikan dari majas personifikasi (admin,
http://perpustakaancyber.blogspot.com/2013/02/majas-depersonifikasi-pengertian-contoh-perbandingan.html, akses 28 Oktober 2014). Contoh: Aku melihatnya diam mematung.
e.       Alegori
Majas ini berupa cerita kiasan ataupun lukisan kiasan. Cerita kiasan ini mengiaskan hal lain atau kejadian lain. Majas ini dapat pula dikatakan sebagai lanjutan dari metafora. Dan majas ini banyak ditemui di puisi-puisi Angkatan Pujangga Baru. Juga banyak ditemui pada puisi-puisi modern (Pradopo, 2012: 71). Contoh:
KAPAL NUH
Sekali akan turun lagi
kapal Nuh di pelabuhan malam
tanpa kapten
hanya Suara yang berseru ke setiap hati:
“Mari!”
Kita berangkat berkelamin, laki-isteri,
untuk berbiak di tanah baru yang berseri,
juga makhluk yang merangkak
di darat di langit terbang
masuk sejodoh-sejodoh. Masing-masing
mendapat ruang
di haluan, di buritan, di timbaruang.
bahkan bunga, emas dan perak
itu batu mulia
yang memancarkan api rahmat
turun termuat.
kalau bahtera mulai bertolak
dekat kita dengar bumi retak
Bumi, yang telah tua
oleh usia dan derita.
 (Simphoni, 1975: h. 23)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar