Powered By Blogger

Kamis, 20 November 2014

PENGKAJIAN FIKSI BERDASARKAN SUBJEKTIVITAS



PENGKAJIAN FIKSI BERDASARKAN SUBJEKTIVITAS
Pengkajian Fiksi Berdasarkan Subjektivitas dalam Karya Sastra
Wellek dan Warren (1995:85) mengatakan, “Dalam hal ini, kita perlu membedakan dua tipe penyair; yang objektif dan yang subjektif. Penyair seperti Keats dan T.S.Eliot menekankan negatif capability (kemampuan membuat negasi), keterbukaan pada dunia, dan penghilangan diri pengarang. Sebaliknya, ada tipe penyair yang ingin memamerkan kepribadiannya, membuat potret diri, menyampaikan pengakuan dan menyatakan dirinya”.  Lebih lanjut Wellek dan Warren (1995:85) menambahkan, bahwa penyair zaman romantik, seperti Byron adalah penyair yang subjektif karena ia menulis tentang dirinya dan perasaan-perasaannya yang paling dalam, bahkan membawa the pageant of his bleeding heart (memamerkan hatinya yang berdarah) ke sekeliling Eropa.
Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan: siapa yang menceritakan, atau: dari posisi mana (siapa) peristiwa dan tindakan itu dilihat. Dengan demikian, pemilihan bentuk persona yang dipergunakan mempengaruhi kebebasan dan keterbatasan, ketajaman, dan keobjektifan terhadap hal-hal yang diceritakan.
Menurut Wellek dan Warren (1995:17) dalam karya sastra, sarana-sarana bahasa dimanfaatkan secara lebih sistematis dan sengaja. Dalam karya penyair yang subjektif, kita melihat suatu “pribadi” yang jelas sosoknya dan lebih menonjol dari pribadi yang kita jumpai dalam situasi sehari-hari.
            Dari pendapat para ahli di atas, Viona Sapulette menggunakan sebagai pemandu dalam mengaji sebuah cerpen yang berjudul Bukan Yem karya Etik Juwita. Namun sebelumnya diperhatikan sinopsis, dan biografi pengarang cerpen tersebut.
1.       Sinopsis
Cerpen ini dibuka dengan penuturan Yem, teman seperjalanan sang narator, yang bercerita tentang tindak kriminal yang dilakukan rekan mereka sesama TKW: “Kau percaya? Ada kawanku yang memasukkan bayi majikannya ke dalam mesin cuci sesaat menjelang pulang kampung.” Hal ini jelas membat narator menjadi bergidik.
Kekejaman yang dilakukan oleh para pembantu tersebut tentu bukan tak berlasan. Jika kita mengamati berita beberapa waktu belakangan, tentu bisa dimengerti mengapa mereka tega berbuat sekejam itu. Tindakan sadis tersebut jelas merupakan pelampiasan atas ‘perbuatan sadis’ lain yang mereka terima dari sang majikan. Sudah jamak kita dengan berita di berbagai media tentang pembantu yang disiksa oleh majikannya di luar negeri. Mulai dari yang disetrika hingga dicambuk oleh sang majikan.

Tokoh utama cerpen ini memang tak mendapatkan perlakuan kasar dari majikannya sehingga ia merasa heran dengan berbagai cerita sadis yang ia dengar dari rekan-rekannya sesama TKW. “Mendengar kisah bagaimaa kawan-kawan saya menjalani kehidupan sebagai buruh migran seringkali memerangahkan saya. Mulai dari cara mereka memberi nama majikan sebagai Mak Lampir, Nini Pelet, Mak Jambrong, bahkan Anjing! Atau tindakan nekat mereka mencampur sup yang dimakan majikan dengan air kencing bira majikan nurut dan tak cerewet…” kehidupan narator di luar negeri yang kontras dengan rekan-rekannya justru semakin memperjelas tindak yang tak berprikemanusiaan yang dilakukan oleh para majikan terhadap para TKW, yang kemudian membuat mereka melancarkan aksi ‘balas dendam’.
Perlakuan tak manusawi yang diterima oleh para TKW tak hanya di luar negeri. Ketika mereka balik ke tanah air, para TKW pun kembali diperlakukan secara tak baik oleh berbagai pihak.
Di suatu tempat, subuh-subuh, sopir mendadak menghentikan bus. Oleh sang sopir, rombongan TKW tersebut kemudian dibawa ke sebuah ruangan yang sepertinya memang sengaja dipersiapkan untuk ‘menyambut’ mereka. Berdalih ingin membantu para TKW menukarkan uang mereka ke dalam bentuk rupiah, para petugas di sana melancarkan praktik penipuan. Untung saja, Tik, tokoh utama, menyadari modus penipua tersebut.

Namun, teman-temannya yang lain tetap menjadi korban aksi penipuan tersebut. “Ketika kami berada kembali di dalam mobil, kawan-kawan saya ribut mengeluhkan kurs mata uang rupiah yang lebih mahal di Indonesia. ‘Harusnya kutukar semua di Singapura, Tik. Jadi ruginya nggak banyak banget kayak begini.’”

Yem lebih parah lagi. Di saat teman-temannya sudah mendapatkan uang tunai masing-masing, ia justru tak mempunyai uang sepeser pun. Ia mengatakan bahwa majikannya akan mengirim cek ganjinya belakangan. Meski tak percaya sepenuhnya bahwa majikannya akan menepati janji, namun Yem tak punya pilihan lain.

Penderitaan para TKW tersebut belum berakhir sampai di situ. Setelah sarapan pagi, lagi-lagi mereka dibawa ke sebuah tempat yang mereka tak tahu itu tempat apa. Satu-satunya petunjuk yang didapat hanyalah bahwa tuan mereka berbicara dengan bahasa ‘lu-gue’.

Rupanya di rumah itu mereka kembali diperas oleh petugas yang mengaku dari perusahaan asuransi. Dengan menakut-nakuti para TWK tentang kemungkinan dirampok dan diperkosa di jalan, para petugas gadungan tersebut melancarkan aksi penipuan yang telah terencana dengan rapi. Namun, untung saja Tik tak sebodoh dan selugu TKW yang lain sehingga ia pun tak jadi korban aksi penipuan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar