Powered By Blogger

Kamis, 20 November 2014

SASTRA POEJANGA BAROE (PERIODE 1933-1942)



 POEJANGA BAROE (PERIODE 1933-1942)
beberapa orang penelaah sastra Indonesia telah mencoba membuat babakan waktu (periodisasi) sejarah sastra Indonesia. Meskipun di antara para ahli dan sarjana itu ada persamaan persamaan yang menyolok dalam membagi-bagi babakan waktu sejarah Indonesia, namun kalau diteliti lebih lanjut maka akan tampak bahwa masing-masing periodisasi itu menujukan perbedaan-perbedaan yang menyolok juga, baik istilah maupun konsepsinya (Ajip Rosidi, 1986:11).
Pernyataan tersebut menejelaskan bahwa kesusastraan di Indonesia mengalami perkembangan dari masa ke masanya.perkembangan tersebut tentunya mempengaruhi ragam sastra terutama cirri khas dari masing-masing pengarang yang sesuai dengan jamannya pada waktu itu.
Ajip Rosidi dalam bukunya Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (Ajip Rosidi, 1986:11-12) membagi pembabakan waktu sejarah sastra Indonesia sebagai berikut:
1.      Masa Kelahiran atau Masa Penjadian (kurang lebih 1900-1945) yang dapat dibagi lagi menjadi beberapa periode, yaitu:
1)      Periode awal hingga 1933;
2)      Periode 1933-1942;
3)      Periode 1942-1945;
2.      Masa Perkembangn (1945-hingga sekarang) yang lebih lanjut dapat pula dibagi menjadi beberapa periode sebagai berikut:
1)      Periode 1945-1953;
2)      Periode 1953-1961;
3)      Periode 1961-samapi sekarang)
Dari pernyataan tersebut penulis mencoba mengkaji perkembangan sastra pada masa eriode 1933-1942 sebagi materi dengan rumusan masalah.
egertian Sastra
Secara harfiah, kata sastra berarti ‘huruf, tulisan, dan karangan’. Lalu karena tulisan atau karangan biasanya berwujud buku, maka sastra berarti juga ‘buku’. Dalam pengertian kesusastraan lama, istilah sastra berarti juga buku, naik yang berisi tentang dongeng, pelajaran agama, sejarah, maupun peraturan perundang-undangan. (Sugiantomas, 2011:7)
Dalam bahasa inggris, sastra disebut litterature yang diambil dari bahasa latiin litteretura, perkembangan dari kata litera yang berarti ‘tulisan’. Sedangkan menurut Webster, sastra merupakan wujud pernyataan manusia tentang sesuatu subyek yang dijelmakan dengan bahsa tulis, dan mengandung nilai-nilai abadi yang universal. (Sugiantomas, 2011:7)
Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa (Rene Wellek & Austin Warren, Teori Kesusastraan, 1989 : 3, 109). Dan pengertian sastra menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah, bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yg dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari).
Sehingga ditarik kesimpulan dari uraian di atas yang menyatakan bahwa, sastra adalah hasil kegiatan kreatif manusia yang dituangkan ke dalam media bahasa (kata-kata, gaya bahasa) baik lisan maupun tulisan. Sugoantomas (2011:9). Sebuah karya seni yang dapat dikatakan sebagai karya yang bernilai sastra bukan hanya karena bahasa indah, beralun-alun, penuh dengan irama dan perumpamaan, melainkan harus dilihat secara keseluruhan, dari nilai-nilai estetika, nilai-nilai moral, dan nilai-nilai konsepsi yang tedapat dalam karya sastra tersebut.

            2.1 Ilmu-ilmu Sastra
Ilmu-ilmu sastra meliputi tiga macam cabang ilmu di dalamnya, yakni teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra. Dari ketiga ilmu sastra tersebut memiliki objek penelitian tertentu, antara teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra. Tetapi masing-masing dari cabang ilmu sastra ini memiliki keterkaitan satu sama lain di dalam bidang kesusastraanya.
2.2.1    Teori Sastra
Teori sastra ialah menyelidiki dasar-dasar yang bersangkut paut dengan sastra, misalnya hakikat sastra, fungsi sastra, jenis sastra, aliran-aliran sastra, masyarakat sastra dan unsur-unsur pembangunan yang lainnya. Hakikat sastra adalah perwujudan dari sebuah seni, hasil karya cipta manusia yang berwujud karya sastra (Sugiantomas, 2011:1). Karya seni sebagai ungkapan kreatif seniman tidak mungkin dihindari lagi keberadaannya. Secara sadar atau tidak, kehadirannya telah menjadi bagian dalam kehidupan ini. Dan yang membedakan satu karya seni dengan karya seni lainnya tidak lain adalah media atau alatnya. (Sugiantomas, 2011:5).
Bentuk-bentuk sastra didalamnya dapat digolongkan menjadi tiga bentuk, yakni puisi, prosa, dan drama. Bentuk sastra berarti cara dan gaya dalam penyusunan dan pengaturan bagian-bagian karangan; pola structural karya sastra (Sujiman, 1984:12). Puisi ialah bentuk karya sastra yang diungkapkan dengan gaya dendang. Prosa adalah karya sastra yang diungkapkan dengan gaya cerita. Drama adalah karya sastra yang diungkapkan dengan gaya dialog. Dan sedangkat masyarakat sastra dibagi menjadi kedalam empat kelompok, yaitu sastrawan, penikmat sastra, pengkaji sastra, dan penerbit sastra atau media masa.
Sastrawan merupakan pekerja kreatif yang menuangkan idenya melalui media bahasa serta memilih bentuk – bentuk sastra sesuai selera, baik bentuk puisi, prosa maupun naskah drama. Penikmat sastra ialah mereka yang terlibat baik secara aktif atau pasif dalam kegiatan kesusastraan. Pengkaji satra ialah mereka yang merupakan penikmat satra aktif yang melangkah lebih jauh lagi mempelajari karya satra sebagai sasaran kajian (studi). Satu lagi yang harus diperhatikan dalam masyarakat satra yaitu penerbit atau media masa, ialah mereka yang menerbitkan baik suatu karya satra ataupu suatu kajian sastra. Tanpa adanya penerbit atau media masa maka siklus masyarakat satra, sastrawan – penikmat sastra – pengkaji sastra akan terhenti.
2.2.2    Sejarah Sastra
Cabang ilmu sastra yang berusaha menyelidiki perkembangan sastra sejak dari mula pertumbuhannya sampai perkembangannya sekarang. Sejarah sastra dibahas periode-periode kesusastraan, aliran-aliran, jenis-jenis, pengarang-pengarang, dan juga reaksi pembaca. Semua itu dihubungkan dengan perkembangan di luar sastra seperti, sosial, politik, dan filsafat. Jadi, sejarah sastra meliputi penulisan perkembangan sastra dalam arus sejarah dan di dalam konteksnya. (Luxemburg, 1984:202-212). Pengetahuan atau uraian tentang peristiwa kesastraan yang terjadi di masa lampau serta perkembangannya sampai dengan sekarang. (Jaelani, 2013:6).
2.2.3    Kritik Sastra
Karya satra adalah bidang garapan yang perlu dipelajari dengan seksama karena kebutuhan akan bidang itu ternyata sangat penting dalam kehidupan dunia apresiasi sastra. Suatu kritik sastra akan tercipta setelah orang mengenal, merenung, dan bertanya apa hakikat karya satra. Suatu karya sastra bisa hidup tanpa adanya kritikan sastra, sementara suatu kritikan sastra mustahil hidup tanpa adanya suatu karya sastra. H.B.Jassin mengutarakan bahwa kritik sastra adalah pertimbangan baik buruk suatu hasil kesusastraan, yang terkutip dari buku kajian prosa fiksi & drama (Sugiantomas, 2012:8). Sedangkan Andrea Harjana yang terkutip dari buku kajian prosa fiksi & drama (Sugiantomas, 2012:8) mengatakan bahwa kritikan sastra merupakan hasil usaha mencari nilai hakiki karya sastra melalui pemahaman, penafsiran dengan sistematik dalam bentuk tulisan.

Ada beberapa hal yang menjadi ciri dari kritik satra yaitu:
1.   Tidak bisa pendek
2.   Berbentuk prosa
3.   Bersifat objektif
4.   Bersifat memberikan penilaian baik buruk karya satra
5.   Sistematis
                       
2.3   Sejarah Sastra
Sejarah sastra merupakan cabang ilmu sastra yang mempelajari pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu bangsa, misalnya sejarah sastra Indonesia. Dalam pengertian dasar itu tampaklah bahwa objek sejarah sastra adalah segala peristiwa yang terjadi pada rentang masa pertumbuhan dan perkembangan suatu bangsa. Peristiwa yang dimaksud dalam sejarah sastra adalah peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan kesusastara, yaitu yang bersangkutan dengan lahirnya karya-karya sastra, pengarangnya, kualitas karya, munculnya konsep-konsep baru, serta situasi sosial-budaya-politik yang melatar belakangi terjadinya peritiwa penting tersebut. Jadi yang dimaksud sejarah sastra adalah pengetahuan atau uraian tentang peristiwa kesastraan yang terjadi di masa lampau serta perkembangannya sampai dengan sekarang.
Menurut K. S Yudiono (2007:11) yang dikutip dari buku (Jaelani, 2013:10) memaparkan bahwa secara sederhana dapat dikatakan bahwa sastra Indonesia ialah sastra berbahasa Indonesia. Sedangkan dari Soemawidagda dalam Surwadadi (1994:13-14) mengungkapkan pengertian sastra Indonesia sebagai berikut:
1.      Ditulis pertama kalinya dalam bahasa Indonesia.
2.      Masalah-masalah yang dikemukakan didalamnya haruslah masalh-masalah Indonesia.
3.      Pengarangnya haruslah berbangsa Indonesia.
Dan Surwadadi (1994:14) yang dikutip dari buku (Jaelani, 2013:10) mengungkapkan bahwa sastra Indonesia ialah sastra yang aslinya ditulis dalam bahasa Indonesia. Jadi unsur persyaratannya ada dua, yakni media masa bahasanya bahasa Indonesia dan corak isi karangannya mencerminkan sikap dan watak Indonesia didalam memandang sebuah masalah.
Berdasarkan uraian diatas, maka kiranya perlu dibedakan dan ditegaskan beberapa pengertian istilah – istilah seperti berikut ini:
1.      Sastra indonesia adalah sastra yang diungkapkan dalam bahasa indonesia dan memiliki ciri – ciri khas budaya indonesia.
2.      Sastra daerah adalah sastra yang diungkapkan dalam bahasa daerah dan memiliki ciri – ciri khas kebudayaan daerah.
3.      Sastra asing adalah sastra yang diungkapkan dalam bahasa asing dan memiliki ciri – ciri khas kebudayaan asing.
4.      Sastra terjemahaan adalah sastra yang dihasilkan dari karya satra orang lain yang sudah ada, dengan cara menerjemaahkan bahasa karya satra itu kedalam bahasa yang lain.
5.      Sastra seduraan adalah sastra yang dihasilkan dari karya sastra yang sudah ada dengan car mengungkapkannya kembali dengan gaya bahasa yang lain tanpa mengubah idenya.

2.4   Sejarah Sastra Indonesia Periode 1933-1942
Sekitar tahun 1920 dikenal majalah, dan diantaranya juga yang mwmuat karangan-karangan berupa cerita, sajak, serta karangan-karangan tentang sastra seperti majalah, Sri Poestaka (1919-1941), Pandji Peostaka (1919-1942), Jong Sumatra (1929-1926), dan lain-lainnya, tetapi hingga awal tahun 1930-an niat para pengarang untuk menerbitkan majalah khususnya kebudayaan dan kesustraan belum juga terlaksana. Tahun 1930 terbit majalah Timboel (1930-1933) yang awal mulanya dalam bahasa Belanda dan di tahun 1932 terbit edisi bahasa Indonesia dengan Sanusi Pane sebagai redaktur. Tahun 1932, Sultan Takdir Alisjahbana bekerja di Balai Pustaka mengadakan rubrik ‘Menuju Kesusastraan Baru’ dalam majalah Pandji Poestaka.  Di tahun 1933, Armijn Pane, Amir Hamzah dan Sutan Takdir Alisjahbana berhasil mendirikan majalah Poedjangga Baroe (1933-1942 dan 1949-1953). ). Pada mulanya keterangan resmi tentang majalah itu berbunyi “majalah kesusastraan dan bahasa serta kebudayaan umum”, tetapi sejak tahun 1935 berubah menjadi “pembawa semangat baru dalam kesusastraan, seni, kebudayaan dan soal masyarakat umum” dan sejak 1936 bunyinya berubah pula menjadi “pembimbing semangat baru yang dinamis untuk membentuk kebudayaan persatuan Indonesia”.
Dalam siaran yang ditanda tangani oleh Armijn Pane, Amir Hamzah dan Sutan Takdir Alisjahbana menjelang penerbitan majalah tersebut dapat kita baca dari kalimat : “Dalam zaman kebangunan sekarang inipun kesusastraan bangsa kita mempunyai tangungan dan kewajiban yang luhur. Ia menjelmakan semngat baru yang memenuhi masyarakat kita. Ia harus menyampaikan berita kebenaran yang terbayang-bayang dalam hati esgla bangsa Indonesia yang yakin akan tibanya masa kebesarannya itu.”
Segeralah majalah  Poejangga baroe menjadi tempat berkumpul kebudayawan, seniman dan cendekiawan Indonesia. Dalam lingkungan majalah itu munculnya nama-nama Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, Mr. Sumanang, Mr. Amir Sjarifuddin, Mr. S. Muh. Sjah, Dr. Ng. Poerbatjaraka, W.Z.S Poerwadaminta, H.B. Jassin, dan yang lainnya sebagai anggota redaksi. Nama- nama itu silih berganti kecuali Sutan Takdir Alisjahbana yang masih duduk memegang kemudi redaksi. Sedangkan para pembantunya datang dari segala penjuru tanah air dan berasal dari segala golongan serta suku bangsa : Dr. M. Amir (Tanjungpura), L.K Bohang (Jakarta), M.R. Dajoh (Bogor), Fatimah H. Delais (Palembang), Muhammad Dimjati (Solo), Karim Halim (Padang), Ali Hasjmy (Seulimeum, Aceh), Intojo (Rangkasbitung), Aoh K.Hadimadja (Parakan Salak), Or. Mandank (Medan), Selasih (Padangpanjang), Sutan Syahrir (Bandaneira), Suwandhi (Yogyakarta), J.E Tatengkeng (Ulu-siau), AM. Thahir (Ujungpandang), I. Gusti Njoman P. Tisna (Singaraja), dan yang lainnya. Majalah Poedjangga Baru  terbit dengan setia meskipun pegorbanan dan keuletan Sutan Takdir Alisjahban bukan tanpa kesulitan maplahnya sekitar 500 eksemplar setiap terbit dan langganan yang membayar hanya 190 orang kerugian ditanggung oleh Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane. Ketika Jepang masuk ke Indonesia majalah  Poejangga Baroe segera dilarang terbit karena dianggap “kebarat-baratan” tetapi setelah Indonesia merdeka majalah ini diterbitkan kembali oleh Sutan Takdir Alisjahbana dengan staf redaksi diperkuat dari tenaga muda seperti Chairil Anwar, Rifa’I Apin, Asrul Sani, Achdiat K. Mihardija, Dodong Djiwapradja, Harijadi S. Hartowadojo, S.Rukiah dan yang lainnya. . Majalah ini terus terbit sampai tahun 1953 kemudian dihentikan penerbitannya dan Sutan Takdir Alisjahbana menerbitkan majalah baru bernama Konfrontasi (1954-1962).
Kelahiran majalah poedjangga baru yang banyak melontarkan gagagsan gagsan baru dalam bidang kebudayaan itu bukan tidak menimbulkan reaksi. Sutan Takdir Alisjahbana dalam sebuah esainya dalam tahun pertama (1933) menulis antara lain: “Bahasa Indonesia ialah bahasa perhubungan yang berabad-abad tumbuh perlahan-lahan dikalangan penduduk Asia Selatan dan yang setelah bangkitnya pergerakan kebangunan rakyat Indonesia pada permulaan abad dua puluh dengan insaf diangkat dan dijungjung sebagai bangsa persatuan” sikap ini menimbulkan reaksi dari para tokoh baha yang erat berpegang kepada kemurnian bahasa Melayu tinggi. Maka terjadilah polemic tentang bahasa yang tidak hanya dimuat dalam majalah pujangga baru saja, melainkan juga meluas dalam surat-surat kabar dan majalah-majalah yang terbit pada masa itu.
Polemic golongan pujangga baru dengan kaum tua itu tidak hanya mengenai bahasa saja karena gerakan pujangga baru bukanlah hanya gerakan bahasa dan sastra belaka. Juga mengenai soal-soal lainnya seperti kebudayaan, pendidikan, pandangan hidup kemasyarakatan terjadi polemic yang seru. Sulta Takdir yang pro barat dan mengatakan bahwa hanya dengan jalan mereguk ilmu dan roh barat dengan sepuas-puasnya sajalah kita dapat mengimbangi barat, ia berhadapan dengan doctor.Soetomo (1888-1938), Ki Hadjar Dewantara (1889-1958) dan lain-lain yang hendak mempertahankan tradisionalisme yang dianggap sebagai kepribadian bangsa. Sanusipane yang juga turut aktif dalam polemic-polemik itu akhirnya menyatakan bahwa baginya manusia (Indonesia) baru haruslah merupakan campuran antara Faust (yang dianggap mewakili roh kerpibadian barat) dengan Arjuna (sebagai wakil roh kepribadian timur). Sebelumnya Sanusipane dikenal sebagai seorang yang sangat mempertahankan timur dalam menghadapi Sultan Takdir.
Peristiwa Sastra Periode 1933-1942
1). Lahirnya Majalah ’Pujangga Baru’.
 Majalah mulai dikenal pada tahun 1920 yang memuat karangan-karangan berupa cerita, sajak. Ada juga karangan-karangan tentang sastra seperti majalah Sri Poestaka (1919-1941), Pandji Poestaka (1919-1942), Jong Sumatra (1920-1926). Pada pertengahan tahun 1930an terbit majalah Timboel (1930-1933) yang mula-mula dalam bahasa Belanda, kemudian pada tahun 1932 terbit juga edisi bahasa Indonesia dengan Sanusi Pane sebagai RedakturPada tahun 1933, Armijn Pane, Amir Hamzah dan Sutan Takdir Alisjahbana berhasil mendirikan majalah Poedjangga Baroe (1933-1942 dan 1949-1953). Mulanya keterangan resmi tentang majalah itu berbunyi  “majalah kesustraan dan bangsa serta kebudayaan umum”, tetapi sejak tahun 1935 berubah menjadi ”pembawa semangat baru dalam kesustraan, seni, kebudayaan, dan soal masyarakat umum”dan tahun 1936 bunyinya berubah pula menjadi “ pembimbing semangat baru yang dinamis untuk membentuk kebuayaan persatuan Indonesia”.
Tokoh-tokoh yang berkecimpung di dalam lingkungan majalah Poedjangga Baroe ialah Sultan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Amir Hamzah, dan J.E Tatengkeng.


2). Pujangga baru yang dilarang terbit.
Ketika Jepang masuk dan menduduki Indonesia, majalah Poejangga Baroe ini segera dilarang terbit karena dianggap “kebarat-baratan”. Tetapi setelah Indonesia merdeka, majalah ini diterbitkan kembali oleh Sutan Takdir Alisjahbana dan staf redaksi yang diperkuat oleh tenaga muda seperti. Chairil Anwar, Rivai Apin, Asrul Sani, Achdiat K. Mihardja, Dodong Djiwapradja, Harijadi S. Hartowardojo ,S. Rukiah dan lain lain.

3). Adanya Polemik.
Polemik golongan pujangga baru dengan kaum tua itu tidak hanya mengenai bahasa saja, karena gerakan pujangga baru bukanlah hanya gerakan bahasa dan sastra belaka. Juga mengenai soal-soal lainnya seperti kebudayaan, pendidikan, pandangan hidup kemasyarakatan terjadi polemic yang seru. Sutan Takdir yang pro barat dan mengatakan bahwa hanya dengan jalan mereguk ilmu dan roh barat sepuas-puasnya sajalah kita dapat mengimbangi Barat, merupakan seorang polemis yang tajam dan bersemangat. Ia berhadapan dengan Dr. Soetomo (1888-1938),  Ki Hajar Dewantara (1889-1958), yang hendak mempertahankan tradisionalisme yang dianggap sebagai keprbadian bangsa. Sanusi Pane yang juga turut aktif dalam polemik-polemik itu akhirnya menyatakn bahwa baginya Manusia (Indonesia) baru haruslah merupakan campuran antara Faust (yang dianggap mewakili roh kepribadian Barat) dengan Arjuna (sebagai wakil roh kepribadian Timur).
           
                        4). Para Pengarang Balai Pustaka
Sastra Balai Pustaka tidak muncul dari masyarakat Indonesia secara bebas dan spontan. Sastra ini dimunculkan dan diatur oleh pemerintah jajahan Belanda di Indonesia. Sastra ini penuh dengan syarat-syarat dan ditulis dengan maksud-maksud tertentu, yang akhirnya bermuara bagi kepentingan politik jajahan. Dari sudut ini dapat dikatakan bahwa sastra Balai pustaka bukanlah hasil ekspresi bangsa secara murni. seperti yang dijelaskan oleh Sumardjo (1992:31) bahwa:
Sastra balai pustaka adalah sastra bertendens, yakni sstra yang ditulis untuk maksud-maksud praktis tertentu, dalam hal ini adalah mendidik bangsa Indonesia agar menjadi pegawai negeri yang patuh dan tidak ambisius sehingga ingin menyamai orang-orang belanda.

Balai Pustaka adalah suatu badan yang merupakan penjelmaan dari “Commissie voor de Volkslectuur” atau dalam bahasa indonesianya: “ Komisi Untuk Bacaan Rakyat” yang berkedudukan di Jakarta dan dibentuk oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1908. Komisi untuk bacaan rakyat didirikan, juga disebabkan politik ethis Belanda, politik balas jasa, untuk mengambil hati rakyat Indonesia. Tujuan dibentuknya Komisi Bacaan Rakyat ialah:
1. Membendung dan memberantas bacaan cabul yang diedarkan oleh penerbit partikelir.
2. Mencegah beredarnya bacaan yang membahayakan kedudukan pemerintah penjajah belanda.
3. Menjual buku-buku bacaan dengan harga yang semurah-murahnya, agar penerbit partikelir menjadi bangkrut.
4. Menerbitkan buku bacaan yang dianggap bermanfaat bagi kepentingan pemerintah Hindia Belanda di Indonesia. 
Pengarang Balai Pustaka Nur Sutan Iskandar. Karena ia minat dan perhatiannya kepada dunia karang-mengarang, meninggalkan kedudukannya sebagai guru dan melamar ke Balai Pustaka. Dan I Gusti Njoman Pandji Tisna dalam tahun 1935 oleh Balai Pustaka diterbitkan sebuah roman berjudul Ni Rawit Ceti Penjual Orang yang melukiskan kebengisan masyarakat feudal di Bali. Dan pengarang-pengarang baru pun muncul sebagai pengarang roman yang penting seperti I Gusti Nyoman Pandji Tisna, Suman Hs, Aman Dt. Madjoindo dan lain-lain.

            3.2 Karya Sastra dan Pengarang Periode  1933-1942
1. Sutan Takdir Alisjahbana
Lahir di Natal pada tahun 1908 ia telah sejak tahun 1929 munjul dalam panggung sejarah sastra Indonesia yaitu ketika menerbitkan romannya yang pertama berjudul Tak Putus Dirundung Malang. Roman ini diterbitkan oleh bali pustaka seperti juga roman-romannya yang lain. Roma kedua yang ditulisnya berjudul Dian yang Tak Kunjung Padam (1932) dan yang ketiga berjudul Layar Terkembang (1936). Roman yang berjudul Disarang Penyamun (1941) ditulisnya lebih dahulu daripada layar terkembang tiga puluh tahun kemudian konon takdir menulis sebauah roman berjudul Grotta Azzura (gua biru) yang diterbitkan berkenaan dengan hari lahirnya yang ke 60.
Layar terkembang merupakan roman takdir yang terpenting. Disini takdir melalui tokoh Tuti menyampaikan pendapat-pendapan dang pandangan-pandangannya tentang peranan wanita dan kaum muda dalam kebangunan bangsa. Takdirpun ada juga menulis sajak. Sajak-sajak yang ditulisnya dekat setelah kematian istrinya yang pertama diterbitkan sebagai nomor khusus majalah pujangga baru berjudul Tebaran Mega (1936). Esai-esai takdir tentang sasrta bnyak juga antara yang dimuat dalam majalah baru, misalnya ‘Puisi Indonesia jaman baru’, ‘Kesusastraan Dijaman Pembangunan Bangsa’ (1938), ‘Kedudukan Perempuan Dalam Kesusastraan dalam Timur Bru’ (1941), dan lain-lain. Iapun menyusun dua serangkai bungarampai puisi lama (1941) dan puisi baru (1946).

2. Armijn Pane
Organisator pujangga baru ialah Arjmin Pane, adiknya Sanusi Pane yang tiga tahun lebih muda (Lahir di Muarasiponi 1908). Tahun 1923 ia mengunjungi sekolah kedokteran (STOVIA dan kemudian NIAS) tetapi keinginan hatinya tertumpu pada bahasa dan sastra maka ia pindah ke AMS A-1 (sastra barat) di Solo. Kemudian ia bergerak di surat kabar dan perguruan kebangsaan. Tahun 1933 ia bersama takdir dan kawan sekolahnya, Amir Hamzah, menerbitkan majalah pujangga baru.
Armijn terkenal sebagai pengarang belenggu (1940) yang terbit pertama kali dalam majalah pujangga baru. Roman ini mendapat reaksi hebat baik dari yang pro maupun yang kontra terhadapnya.belenggu adalah sebuah Roman yang menarik karena yang dilukiskannya adalah gerak-gerak lahir tokohnya, tetapi gerak-gerik batinnya. Sebelum menulis romannya itu, Armoijn menulis cerpen, sajak, esai, dan sandiwara. Cerpennya ‘Barang Tiada Berharga’ dan sandiwaranya ‘Lukisan Masa’ merupakan prototif buat romannya belenggu.
Cerpen-cerpennya bersama yang ditulisnya sesudah perang, kemudian dikumpulkan dengan judul kisah antara manusia (1953). Sajak-sajaknya dengan judul jiwa berjiwa diterbitkan sebagai nomer istimewa majalah pujangga baru (1939). Dan sajak-sajaknya yang tersebar, kemudian dikumpulkan juga dan terbit dibawah Gamelan Jiwa (1960).

3.Amir Hamzah
Amir Hamzah (1911-1946) ialah seorang keturunan bangsawan langkat di Sumatera Timur ia pergi ke sekolah Jawa, paling akhir sebagai mahasiswa Fakultas Hukum, dengan dibiayai oleh pamannya yang menjadi Sultan Langkat. Di Jawa ia aktif juga dalam kegiata-kegiatan gerakan kebangsaan. Amir hamzah sempat mengikat cinta dengan seorang gadis Jawa. Seakan-akan dia menjadi  tokoh roman adat yang banyak dihasilkan oleh para pengarang dari Sumatera pada tahun 1920-an dan 1930-an. Iapun bersama dengan Sutan Takdir dan Armiin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar