POEJANGA
BAROE (PERIODE 1933-1942)
beberapa orang penelaah sastra
Indonesia telah mencoba membuat babakan waktu (periodisasi) sejarah sastra
Indonesia. Meskipun di antara para ahli dan sarjana itu ada persamaan persamaan
yang menyolok dalam membagi-bagi babakan waktu sejarah Indonesia, namun kalau
diteliti lebih lanjut maka akan tampak bahwa masing-masing periodisasi itu
menujukan perbedaan-perbedaan yang menyolok juga, baik istilah maupun
konsepsinya (Ajip Rosidi, 1986:11).
Pernyataan tersebut menejelaskan
bahwa kesusastraan di Indonesia mengalami perkembangan dari masa ke
masanya.perkembangan tersebut tentunya mempengaruhi ragam sastra terutama cirri
khas dari masing-masing pengarang yang sesuai dengan jamannya pada waktu itu.
Ajip Rosidi dalam bukunya Ikhtisar
Sejarah Sastra Indonesia (Ajip Rosidi, 1986:11-12) membagi pembabakan waktu
sejarah sastra Indonesia sebagai berikut:
1.
Masa Kelahiran atau Masa Penjadian (kurang lebih 1900-1945) yang dapat dibagi
lagi menjadi beberapa periode, yaitu:
1)
Periode awal hingga 1933;
2)
Periode 1933-1942;
3)
Periode 1942-1945;
2.
Masa Perkembangn (1945-hingga sekarang) yang lebih lanjut dapat pula dibagi
menjadi beberapa periode sebagai berikut:
1)
Periode 1945-1953;
2)
Periode 1953-1961;
3)
Periode 1961-samapi sekarang)
Dari pernyataan
tersebut penulis mencoba mengkaji perkembangan sastra pada masa eriode
1933-1942 sebagi materi dengan rumusan masalah.
egertian
Sastra
Secara harfiah, kata sastra berarti ‘huruf, tulisan, dan
karangan’. Lalu karena tulisan atau karangan biasanya berwujud buku, maka
sastra berarti juga ‘buku’. Dalam pengertian kesusastraan lama, istilah sastra
berarti juga buku, naik yang berisi tentang dongeng, pelajaran agama, sejarah,
maupun peraturan perundang-undangan. (Sugiantomas, 2011:7)
Dalam bahasa inggris, sastra disebut litterature yang
diambil dari bahasa latiin litteretura, perkembangan dari kata litera
yang berarti ‘tulisan’. Sedangkan menurut Webster, sastra merupakan wujud
pernyataan manusia tentang sesuatu subyek yang dijelmakan dengan bahsa tulis,
dan mengandung nilai-nilai abadi yang universal. (Sugiantomas, 2011:7)
Sastra adalah suatu kegiatan
kreatif, sebuah karya seni. Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium
bahasa (Rene Wellek & Austin Warren, Teori Kesusastraan, 1989 : 3, 109). Dan
pengertian sastra menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah, bahasa
(kata-kata, gaya bahasa) yg dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa
sehari-hari).
Sehingga ditarik kesimpulan dari uraian di atas yang
menyatakan bahwa, sastra adalah hasil kegiatan kreatif manusia yang dituangkan
ke dalam media bahasa (kata-kata, gaya bahasa) baik lisan maupun tulisan.
Sugoantomas (2011:9). Sebuah karya seni yang dapat dikatakan sebagai karya yang
bernilai sastra bukan hanya karena bahasa indah, beralun-alun, penuh dengan
irama dan perumpamaan, melainkan harus dilihat secara keseluruhan, dari
nilai-nilai estetika, nilai-nilai moral, dan nilai-nilai konsepsi yang tedapat
dalam karya sastra tersebut.
2.1 Ilmu-ilmu Sastra
Ilmu-ilmu sastra meliputi tiga macam cabang ilmu di
dalamnya, yakni teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra. Dari ketiga
ilmu sastra tersebut memiliki objek penelitian tertentu, antara teori sastra,
sejarah sastra dan kritik sastra. Tetapi masing-masing dari cabang ilmu sastra
ini memiliki keterkaitan satu sama lain di dalam bidang kesusastraanya.
2.2.1 Teori Sastra
Teori sastra ialah menyelidiki dasar-dasar yang bersangkut
paut dengan sastra, misalnya hakikat sastra, fungsi sastra, jenis sastra,
aliran-aliran sastra, masyarakat sastra dan unsur-unsur pembangunan yang
lainnya. Hakikat sastra adalah perwujudan dari sebuah seni, hasil karya cipta
manusia yang berwujud karya sastra (Sugiantomas, 2011:1). Karya seni sebagai
ungkapan kreatif seniman tidak mungkin dihindari lagi keberadaannya. Secara
sadar atau tidak, kehadirannya telah menjadi bagian dalam kehidupan ini. Dan
yang membedakan satu karya seni dengan karya seni lainnya tidak lain adalah
media atau alatnya. (Sugiantomas, 2011:5).
Bentuk-bentuk sastra didalamnya dapat digolongkan menjadi
tiga bentuk, yakni puisi, prosa, dan drama. Bentuk sastra berarti cara dan gaya
dalam penyusunan dan pengaturan bagian-bagian karangan; pola structural karya
sastra (Sujiman, 1984:12). Puisi ialah bentuk karya sastra yang diungkapkan dengan
gaya dendang. Prosa adalah karya sastra yang diungkapkan dengan gaya cerita.
Drama adalah karya sastra yang diungkapkan dengan gaya dialog. Dan sedangkat
masyarakat sastra dibagi menjadi kedalam empat kelompok, yaitu sastrawan,
penikmat sastra, pengkaji sastra, dan penerbit sastra atau media masa.
Sastrawan merupakan pekerja kreatif yang menuangkan idenya
melalui media bahasa serta memilih bentuk – bentuk sastra sesuai selera, baik
bentuk puisi, prosa maupun naskah drama. Penikmat sastra ialah mereka yang
terlibat baik secara aktif atau pasif dalam kegiatan kesusastraan. Pengkaji
satra ialah mereka yang merupakan penikmat satra aktif yang melangkah lebih
jauh lagi mempelajari karya satra sebagai sasaran kajian (studi). Satu lagi
yang harus diperhatikan dalam masyarakat satra yaitu penerbit atau media masa,
ialah mereka yang menerbitkan baik suatu karya satra ataupu suatu kajian
sastra. Tanpa adanya penerbit atau media masa maka siklus masyarakat satra,
sastrawan – penikmat sastra – pengkaji sastra akan terhenti.
2.2.2 Sejarah Sastra
Cabang ilmu sastra yang berusaha
menyelidiki perkembangan sastra sejak dari mula pertumbuhannya sampai
perkembangannya sekarang. Sejarah sastra dibahas periode-periode kesusastraan,
aliran-aliran, jenis-jenis, pengarang-pengarang, dan juga reaksi pembaca. Semua
itu dihubungkan dengan perkembangan di luar sastra seperti, sosial, politik,
dan filsafat. Jadi, sejarah sastra meliputi penulisan perkembangan sastra dalam
arus sejarah dan di dalam konteksnya. (Luxemburg, 1984:202-212). Pengetahuan
atau uraian tentang peristiwa kesastraan yang terjadi di masa lampau serta
perkembangannya sampai dengan sekarang. (Jaelani, 2013:6).
2.2.3 Kritik Sastra
Karya satra adalah bidang garapan yang perlu dipelajari
dengan seksama karena kebutuhan akan bidang itu ternyata sangat penting dalam
kehidupan dunia apresiasi sastra. Suatu kritik sastra akan tercipta setelah
orang mengenal, merenung, dan bertanya apa hakikat karya satra. Suatu karya
sastra bisa hidup tanpa adanya kritikan sastra, sementara suatu kritikan sastra
mustahil hidup tanpa adanya suatu karya sastra. H.B.Jassin mengutarakan bahwa
kritik sastra adalah pertimbangan baik buruk suatu hasil kesusastraan, yang
terkutip dari buku kajian prosa fiksi & drama (Sugiantomas, 2012:8).
Sedangkan Andrea Harjana yang terkutip dari buku kajian prosa fiksi & drama
(Sugiantomas, 2012:8) mengatakan bahwa kritikan sastra merupakan hasil usaha
mencari nilai hakiki karya sastra melalui pemahaman, penafsiran dengan
sistematik dalam bentuk tulisan.
Ada beberapa hal yang menjadi ciri dari kritik satra yaitu:
1. Tidak bisa pendek
2. Berbentuk prosa
3. Bersifat objektif
4. Bersifat memberikan
penilaian baik buruk karya satra
5. Sistematis
2.3 Sejarah Sastra
Sejarah sastra merupakan cabang ilmu
sastra yang mempelajari pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu bangsa,
misalnya sejarah sastra Indonesia. Dalam pengertian dasar itu tampaklah bahwa
objek sejarah sastra adalah segala peristiwa yang terjadi pada rentang masa
pertumbuhan dan perkembangan suatu bangsa. Peristiwa yang dimaksud dalam
sejarah sastra adalah peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan kesusastara,
yaitu yang bersangkutan dengan lahirnya karya-karya sastra, pengarangnya,
kualitas karya, munculnya konsep-konsep baru, serta situasi
sosial-budaya-politik yang melatar belakangi terjadinya peritiwa penting
tersebut. Jadi yang dimaksud sejarah sastra adalah pengetahuan atau uraian tentang
peristiwa kesastraan yang terjadi di masa lampau serta perkembangannya sampai
dengan sekarang.
Menurut K. S Yudiono (2007:11) yang
dikutip dari buku (Jaelani, 2013:10) memaparkan bahwa secara sederhana dapat
dikatakan bahwa sastra Indonesia ialah sastra berbahasa Indonesia. Sedangkan
dari Soemawidagda dalam Surwadadi (1994:13-14) mengungkapkan pengertian sastra
Indonesia sebagai berikut:
1.
Ditulis pertama kalinya dalam bahasa Indonesia.
2.
Masalah-masalah yang dikemukakan didalamnya haruslah masalh-masalah Indonesia.
3.
Pengarangnya haruslah berbangsa Indonesia.
Dan Surwadadi (1994:14) yang dikutip dari buku (Jaelani,
2013:10) mengungkapkan bahwa sastra Indonesia ialah sastra yang aslinya ditulis
dalam bahasa Indonesia. Jadi unsur persyaratannya ada dua, yakni media masa
bahasanya bahasa Indonesia dan corak isi karangannya mencerminkan sikap dan
watak Indonesia didalam memandang sebuah masalah.
Berdasarkan uraian diatas, maka kiranya perlu dibedakan dan
ditegaskan beberapa pengertian istilah – istilah seperti berikut ini:
1.
Sastra indonesia adalah sastra yang diungkapkan dalam bahasa indonesia dan
memiliki ciri – ciri khas budaya indonesia.
2.
Sastra daerah adalah sastra yang diungkapkan dalam bahasa daerah dan memiliki
ciri – ciri khas kebudayaan daerah.
3.
Sastra asing adalah sastra yang diungkapkan dalam bahasa asing dan memiliki
ciri – ciri khas kebudayaan asing.
4.
Sastra terjemahaan adalah sastra yang dihasilkan dari karya satra orang lain
yang sudah ada, dengan cara menerjemaahkan bahasa karya satra itu kedalam
bahasa yang lain.
5.
Sastra seduraan adalah sastra yang dihasilkan dari karya sastra yang sudah ada
dengan car mengungkapkannya kembali dengan gaya bahasa yang lain tanpa mengubah
idenya.
2.4 Sejarah Sastra
Indonesia Periode 1933-1942
Sekitar tahun 1920 dikenal majalah, dan diantaranya juga
yang mwmuat karangan-karangan berupa cerita, sajak, serta karangan-karangan
tentang sastra seperti majalah, Sri Poestaka (1919-1941), Pandji
Peostaka (1919-1942), Jong Sumatra (1929-1926), dan lain-lainnya,
tetapi hingga awal tahun 1930-an niat para pengarang untuk menerbitkan majalah
khususnya kebudayaan dan kesustraan belum juga terlaksana. Tahun 1930 terbit
majalah Timboel (1930-1933) yang awal mulanya dalam bahasa Belanda dan
di tahun 1932 terbit edisi bahasa Indonesia dengan Sanusi Pane sebagai
redaktur. Tahun 1932, Sultan Takdir Alisjahbana bekerja di Balai Pustaka
mengadakan rubrik ‘Menuju Kesusastraan Baru’ dalam majalah Pandji Poestaka. Di
tahun 1933, Armijn Pane, Amir Hamzah dan Sutan Takdir Alisjahbana berhasil
mendirikan majalah Poedjangga Baroe (1933-1942 dan 1949-1953). ). Pada mulanya
keterangan resmi tentang majalah itu berbunyi “majalah kesusastraan dan bahasa
serta kebudayaan umum”, tetapi sejak tahun 1935 berubah menjadi “pembawa
semangat baru dalam kesusastraan, seni, kebudayaan dan soal masyarakat umum”
dan sejak 1936 bunyinya berubah pula menjadi “pembimbing semangat baru yang
dinamis untuk membentuk kebudayaan persatuan Indonesia”.
Dalam siaran yang ditanda tangani oleh Armijn Pane, Amir
Hamzah dan Sutan Takdir Alisjahbana menjelang penerbitan majalah tersebut dapat
kita baca dari kalimat : “Dalam zaman kebangunan sekarang inipun kesusastraan
bangsa kita mempunyai tangungan dan kewajiban yang luhur. Ia menjelmakan
semngat baru yang memenuhi masyarakat kita. Ia harus menyampaikan berita
kebenaran yang terbayang-bayang dalam hati esgla bangsa Indonesia yang yakin
akan tibanya masa kebesarannya itu.”
Segeralah majalah Poejangga baroe menjadi
tempat berkumpul kebudayawan, seniman dan cendekiawan Indonesia. Dalam
lingkungan majalah itu munculnya nama-nama Armijn Pane, Sutan Takdir
Alisjahbana, Mr. Sumanang, Mr. Amir Sjarifuddin, Mr. S. Muh. Sjah, Dr. Ng.
Poerbatjaraka, W.Z.S Poerwadaminta, H.B. Jassin, dan yang lainnya sebagai
anggota redaksi. Nama- nama itu silih berganti kecuali Sutan Takdir Alisjahbana
yang masih duduk memegang kemudi redaksi. Sedangkan para pembantunya datang
dari segala penjuru tanah air dan berasal dari segala golongan serta suku
bangsa : Dr. M. Amir (Tanjungpura), L.K Bohang (Jakarta), M.R. Dajoh (Bogor),
Fatimah H. Delais (Palembang), Muhammad Dimjati (Solo), Karim Halim (Padang),
Ali Hasjmy (Seulimeum, Aceh), Intojo (Rangkasbitung), Aoh K.Hadimadja (Parakan
Salak), Or. Mandank (Medan), Selasih (Padangpanjang), Sutan Syahrir
(Bandaneira), Suwandhi (Yogyakarta), J.E Tatengkeng (Ulu-siau), AM. Thahir
(Ujungpandang), I. Gusti Njoman P. Tisna (Singaraja), dan yang lainnya. Majalah
Poedjangga Baru terbit dengan setia meskipun pegorbanan dan
keuletan Sutan Takdir Alisjahban bukan tanpa kesulitan maplahnya sekitar 500
eksemplar setiap terbit dan langganan yang membayar hanya 190 orang kerugian
ditanggung oleh Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane. Ketika Jepang masuk
ke Indonesia majalah Poejangga Baroe segera dilarang terbit karena
dianggap “kebarat-baratan” tetapi setelah Indonesia merdeka majalah ini
diterbitkan kembali oleh Sutan Takdir Alisjahbana dengan staf redaksi diperkuat
dari tenaga muda seperti Chairil Anwar, Rifa’I Apin, Asrul Sani, Achdiat K.
Mihardija, Dodong Djiwapradja, Harijadi S. Hartowadojo, S.Rukiah dan yang
lainnya. . Majalah ini terus terbit sampai tahun 1953 kemudian dihentikan
penerbitannya dan Sutan Takdir Alisjahbana menerbitkan majalah baru bernama Konfrontasi
(1954-1962).
Kelahiran majalah poedjangga baru yang banyak melontarkan
gagagsan gagsan baru dalam bidang kebudayaan itu bukan tidak menimbulkan
reaksi. Sutan Takdir Alisjahbana dalam sebuah esainya dalam tahun pertama
(1933) menulis antara lain: “Bahasa Indonesia ialah bahasa perhubungan yang
berabad-abad tumbuh perlahan-lahan dikalangan penduduk Asia Selatan dan yang
setelah bangkitnya pergerakan kebangunan rakyat Indonesia pada permulaan abad
dua puluh dengan insaf diangkat dan dijungjung sebagai bangsa persatuan” sikap
ini menimbulkan reaksi dari para tokoh baha yang erat berpegang kepada
kemurnian bahasa Melayu tinggi. Maka terjadilah polemic tentang bahasa yang
tidak hanya dimuat dalam majalah pujangga baru saja, melainkan juga meluas
dalam surat-surat kabar dan majalah-majalah yang terbit pada masa itu.
Polemic golongan pujangga baru dengan kaum tua itu tidak
hanya mengenai bahasa saja karena gerakan pujangga baru bukanlah hanya gerakan
bahasa dan sastra belaka. Juga mengenai soal-soal lainnya seperti kebudayaan,
pendidikan, pandangan hidup kemasyarakatan terjadi polemic yang seru. Sulta
Takdir yang pro barat dan mengatakan bahwa hanya dengan jalan mereguk ilmu dan
roh barat dengan sepuas-puasnya sajalah kita dapat mengimbangi barat, ia
berhadapan dengan doctor.Soetomo (1888-1938), Ki Hadjar Dewantara (1889-1958)
dan lain-lain yang hendak mempertahankan tradisionalisme yang dianggap sebagai
kepribadian bangsa. Sanusipane yang juga turut aktif dalam polemic-polemik itu
akhirnya menyatakan bahwa baginya manusia (Indonesia) baru haruslah merupakan
campuran antara Faust (yang dianggap mewakili roh kerpibadian barat) dengan
Arjuna (sebagai wakil roh kepribadian timur). Sebelumnya Sanusipane dikenal
sebagai seorang yang sangat mempertahankan timur dalam menghadapi Sultan
Takdir.
Peristiwa Sastra Periode 1933-1942
1). Lahirnya Majalah ’Pujangga Baru’.
Majalah mulai dikenal pada tahun 1920 yang memuat
karangan-karangan berupa cerita, sajak. Ada juga karangan-karangan tentang
sastra seperti majalah Sri Poestaka (1919-1941), Pandji
Poestaka (1919-1942), Jong Sumatra (1920-1926). Pada
pertengahan tahun 1930an terbit majalah Timboel (1930-1933)
yang mula-mula dalam bahasa Belanda, kemudian pada tahun 1932 terbit juga edisi
bahasa Indonesia dengan Sanusi Pane sebagai Redaktur. Pada tahun 1933, Armijn Pane, Amir
Hamzah dan Sutan Takdir Alisjahbana berhasil mendirikan majalah Poedjangga
Baroe (1933-1942 dan 1949-1953). Mulanya keterangan resmi tentang majalah itu
berbunyi “majalah kesustraan dan bangsa serta kebudayaan umum”, tetapi
sejak tahun 1935 berubah menjadi ”pembawa semangat baru dalam kesustraan, seni,
kebudayaan, dan soal masyarakat umum”dan tahun 1936 bunyinya berubah pula
menjadi “ pembimbing semangat baru yang dinamis untuk membentuk kebuayaan
persatuan Indonesia”.
Tokoh-tokoh yang berkecimpung di dalam lingkungan majalah Poedjangga
Baroe ialah Sultan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Amir Hamzah, dan J.E
Tatengkeng.
2). Pujangga baru yang dilarang terbit.
Ketika Jepang masuk dan menduduki Indonesia, majalah
Poejangga Baroe ini segera dilarang terbit karena dianggap “kebarat-baratan”.
Tetapi setelah Indonesia merdeka, majalah ini diterbitkan kembali oleh Sutan
Takdir Alisjahbana dan staf redaksi yang diperkuat oleh tenaga muda seperti.
Chairil Anwar, Rivai Apin, Asrul Sani, Achdiat K. Mihardja, Dodong Djiwapradja,
Harijadi S. Hartowardojo ,S. Rukiah dan lain lain.
3). Adanya Polemik.
Polemik golongan pujangga baru dengan kaum tua itu tidak
hanya mengenai bahasa saja, karena gerakan pujangga baru bukanlah hanya gerakan
bahasa dan sastra belaka. Juga mengenai soal-soal lainnya seperti kebudayaan,
pendidikan, pandangan hidup kemasyarakatan terjadi polemic yang seru. Sutan
Takdir yang pro barat dan mengatakan bahwa hanya dengan jalan mereguk ilmu dan
roh barat sepuas-puasnya sajalah kita dapat mengimbangi Barat, merupakan
seorang polemis yang tajam dan bersemangat. Ia berhadapan dengan Dr. Soetomo
(1888-1938), Ki Hajar Dewantara (1889-1958), yang hendak mempertahankan
tradisionalisme yang dianggap sebagai keprbadian bangsa. Sanusi Pane yang juga
turut aktif dalam polemik-polemik itu akhirnya menyatakn bahwa baginya Manusia
(Indonesia) baru haruslah merupakan campuran antara Faust (yang dianggap
mewakili roh kepribadian Barat) dengan Arjuna (sebagai wakil roh kepribadian
Timur).
4). Para
Pengarang Balai Pustaka
Sastra
Balai Pustaka tidak muncul dari masyarakat Indonesia secara bebas dan spontan.
Sastra ini dimunculkan dan diatur oleh pemerintah jajahan Belanda di Indonesia.
Sastra ini penuh dengan syarat-syarat dan ditulis dengan maksud-maksud
tertentu, yang akhirnya bermuara bagi kepentingan politik jajahan. Dari sudut
ini dapat dikatakan bahwa sastra Balai pustaka bukanlah hasil ekspresi bangsa
secara murni. seperti yang dijelaskan oleh Sumardjo (1992:31) bahwa:
Sastra balai pustaka adalah sastra bertendens, yakni sstra yang ditulis untuk maksud-maksud praktis tertentu, dalam hal ini adalah mendidik bangsa Indonesia agar menjadi pegawai negeri yang patuh dan tidak ambisius sehingga ingin menyamai orang-orang belanda.
Balai Pustaka adalah suatu badan yang merupakan penjelmaan dari “Commissie voor de Volkslectuur” atau dalam bahasa indonesianya: “ Komisi Untuk Bacaan Rakyat” yang berkedudukan di Jakarta dan dibentuk oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1908. Komisi untuk bacaan rakyat didirikan, juga disebabkan politik ethis Belanda, politik balas jasa, untuk mengambil hati rakyat Indonesia. Tujuan dibentuknya Komisi Bacaan Rakyat ialah:
1. Membendung dan memberantas bacaan cabul yang diedarkan oleh penerbit partikelir.
2. Mencegah beredarnya bacaan yang membahayakan kedudukan pemerintah penjajah belanda.
3. Menjual buku-buku bacaan dengan harga yang semurah-murahnya, agar penerbit partikelir menjadi bangkrut.
4. Menerbitkan buku bacaan yang dianggap bermanfaat bagi kepentingan pemerintah Hindia Belanda di Indonesia.
Sastra balai pustaka adalah sastra bertendens, yakni sstra yang ditulis untuk maksud-maksud praktis tertentu, dalam hal ini adalah mendidik bangsa Indonesia agar menjadi pegawai negeri yang patuh dan tidak ambisius sehingga ingin menyamai orang-orang belanda.
Balai Pustaka adalah suatu badan yang merupakan penjelmaan dari “Commissie voor de Volkslectuur” atau dalam bahasa indonesianya: “ Komisi Untuk Bacaan Rakyat” yang berkedudukan di Jakarta dan dibentuk oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1908. Komisi untuk bacaan rakyat didirikan, juga disebabkan politik ethis Belanda, politik balas jasa, untuk mengambil hati rakyat Indonesia. Tujuan dibentuknya Komisi Bacaan Rakyat ialah:
1. Membendung dan memberantas bacaan cabul yang diedarkan oleh penerbit partikelir.
2. Mencegah beredarnya bacaan yang membahayakan kedudukan pemerintah penjajah belanda.
3. Menjual buku-buku bacaan dengan harga yang semurah-murahnya, agar penerbit partikelir menjadi bangkrut.
4. Menerbitkan buku bacaan yang dianggap bermanfaat bagi kepentingan pemerintah Hindia Belanda di Indonesia.
Pengarang
Balai Pustaka Nur Sutan Iskandar. Karena ia minat dan perhatiannya kepada dunia
karang-mengarang, meninggalkan kedudukannya sebagai guru dan melamar ke Balai
Pustaka. Dan I Gusti Njoman Pandji Tisna dalam tahun 1935 oleh Balai Pustaka
diterbitkan sebuah roman berjudul Ni Rawit Ceti Penjual Orang yang melukiskan
kebengisan masyarakat feudal di Bali. Dan pengarang-pengarang baru pun muncul
sebagai pengarang roman yang penting seperti I Gusti Nyoman Pandji Tisna, Suman
Hs, Aman Dt. Madjoindo dan lain-lain.
3.2 Karya Sastra dan Pengarang Periode 1933-1942
1.
Sutan Takdir Alisjahbana
Lahir
di Natal pada tahun 1908 ia telah sejak tahun 1929 munjul dalam panggung
sejarah sastra Indonesia yaitu ketika menerbitkan romannya yang pertama
berjudul Tak Putus Dirundung Malang. Roman ini diterbitkan oleh bali pustaka
seperti juga roman-romannya yang lain. Roma kedua yang ditulisnya berjudul Dian
yang Tak Kunjung Padam (1932) dan yang ketiga berjudul Layar Terkembang (1936).
Roman yang berjudul Disarang Penyamun (1941) ditulisnya lebih dahulu daripada
layar terkembang tiga puluh tahun kemudian konon takdir menulis sebauah roman
berjudul Grotta Azzura (gua biru) yang diterbitkan berkenaan dengan hari
lahirnya yang ke 60.
Layar
terkembang merupakan roman takdir yang terpenting. Disini takdir melalui tokoh
Tuti menyampaikan pendapat-pendapan dang pandangan-pandangannya tentang peranan
wanita dan kaum muda dalam kebangunan bangsa. Takdirpun ada juga menulis sajak.
Sajak-sajak yang ditulisnya dekat setelah kematian istrinya yang pertama
diterbitkan sebagai nomor khusus majalah pujangga baru berjudul Tebaran Mega
(1936). Esai-esai takdir tentang sasrta bnyak juga antara yang dimuat dalam
majalah baru, misalnya ‘Puisi Indonesia jaman baru’, ‘Kesusastraan Dijaman
Pembangunan Bangsa’ (1938), ‘Kedudukan Perempuan Dalam Kesusastraan dalam Timur
Bru’ (1941), dan lain-lain. Iapun menyusun dua serangkai bungarampai puisi lama
(1941) dan puisi baru (1946).
2.
Armijn Pane
Organisator pujangga baru ialah Arjmin Pane, adiknya Sanusi
Pane yang tiga tahun lebih muda (Lahir di Muarasiponi 1908). Tahun 1923 ia
mengunjungi sekolah kedokteran (STOVIA dan kemudian NIAS) tetapi keinginan
hatinya tertumpu pada bahasa dan sastra maka ia pindah ke AMS A-1 (sastra
barat) di Solo. Kemudian ia bergerak di surat kabar dan perguruan kebangsaan.
Tahun 1933 ia bersama takdir dan kawan sekolahnya, Amir Hamzah, menerbitkan majalah
pujangga baru.
Armijn terkenal sebagai pengarang belenggu (1940) yang
terbit pertama kali dalam majalah pujangga baru. Roman ini mendapat reaksi
hebat baik dari yang pro maupun yang kontra terhadapnya.belenggu adalah sebuah
Roman yang menarik karena yang dilukiskannya adalah gerak-gerak lahir tokohnya,
tetapi gerak-gerik batinnya. Sebelum menulis romannya itu, Armoijn menulis
cerpen, sajak, esai, dan sandiwara. Cerpennya ‘Barang Tiada Berharga’ dan
sandiwaranya ‘Lukisan Masa’ merupakan prototif buat romannya belenggu.
Cerpen-cerpennya bersama yang ditulisnya sesudah perang,
kemudian dikumpulkan dengan judul kisah antara manusia (1953). Sajak-sajaknya
dengan judul jiwa berjiwa diterbitkan sebagai nomer istimewa majalah pujangga
baru (1939). Dan sajak-sajaknya yang tersebar, kemudian dikumpulkan juga dan
terbit dibawah Gamelan Jiwa (1960).
3.Amir
Hamzah
Amir Hamzah (1911-1946) ialah seorang keturunan bangsawan
langkat di Sumatera Timur ia pergi ke sekolah Jawa, paling akhir sebagai
mahasiswa Fakultas Hukum, dengan dibiayai oleh pamannya yang menjadi Sultan
Langkat. Di Jawa ia aktif juga dalam kegiata-kegiatan gerakan kebangsaan. Amir
hamzah sempat mengikat cinta dengan seorang gadis Jawa. Seakan-akan dia
menjadi tokoh roman adat yang banyak dihasilkan oleh para pengarang dari
Sumatera pada tahun 1920-an dan 1930-an. Iapun bersama dengan Sutan Takdir dan
Armiin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar