SASTRA PERIODE
1961-Sekarang
1. Sastra dan Politik
Merupakan
suatu kenyataan sejarah bahwa sudah sejak awal pertumbuhan sastrawan-sastrawan
Indonesia menunjukkan perhatian yang serius kepada politik. Bahkan ada di
antaranya yang kemudian lebih terkenal sebagai politikus daripada pengarang
seperti Muh. Yamin dan Roestam Effendi. Demikian juga para pengarang pujangga
baru ialah orang-orang yang aktif dalam dunia pergerakan nasional. Para
pengarang pada awal revolusi bukanlah orang-orang yang bersifat a-politis.
Chairil Anwar, Pramaedya Ananta Toer, Achdiat K. Mihardja, Mochtar Lubis
merupakan orang-orang yang mempunyai pandangan dan kesadaran politik.
Perbedaan-perbedaan
pandangan mengenai seni dan sastra yang berpangkal pada perbedaan-perbedaan
pendirian politik, sudah sejak lama kelihatan dalam dunia sastra Indonesia.
Pada awal tahun lima puluhan terjadi polemik yang seru juga antara orang-orang
yang membela hak hidup Angkatan 45 dengan orang-orang yang mengatakan “Angkatan
45 sudah mampus” yang berpangkal pada suatu sikap politik. Pihak yang berpaham
realisme-sosialis, yaitu paham yang menjadi filsafat-seni kaum komunis aktif
mengadakan polemik. Penganut paham realisme sosials yang paling keras
teriakannya ialah As Dharta yang menjadi pokok soal bahan polemik-polemik ialah
paham “seni untuk seni” dan “seni untuk rakyat”, orang-orang yang menganut
paham realisme sosialis berpaham “seni untuk rakyat” sambil mengutuk
orang-orang yang berpaham “seni untuk seni” sebagai penganut “humanisme
universal” yang dicapnya sebagai filsafat kaum borjuis kapitalis yang bobrok.
Yang
paling bernilai diantara polemik-polemik itu karena kedua belah pihak menulis
dengan kepala dingin dan pandangan yang luas serta hati terbuka ialah yang
terjadi sekitar tahun 1954 antara Boejoeng Saleh Poeradisastro dengan
Soedjatmoko berkenaan dengan pandangan-pandangan Soedjatmoko dalam karangannya
“Mengapa Konfrontasi”.
Pada
tahun 1950 berdirilah di Jakarta Lembaga Kebudayaan Rakyat yang kemudian lebih
terkenal dengan sebutan Lekra. Sebagai sekretaris jenderalnya yang pertama
bertindak As. Dharta. Pada mulanya Lekra ini belum merupakan organ kebudayaan
dari PKI. Diantara yang hadir pada ketika pembentukan Lekra itu terdapat
orang-orang yang kemudian menjadi musuh antara lain HB Jassin dan Achdiat K.
Mihardja. Setelah PKI kuat kedudukannya, Lekra secara resmi menjadi organ
kebudayaannya. Lekra dengan tegas menganut “seni untuk rakyat” dan menghantam
golongan yang menganut paham “seni untuk seni”.
Dalam
gelanggang percaturan politik PKI makin kuat kedudukannya. Tahun 1959 Soekarno
mendekritkan UUD 1945 berlaku lagi dan mengajukan “Manifesto Politik” (Manipol)
sebagai dasar haluan negara. Manipol memberikan ruang gerak kepada PKI untuk
merebut tempat-tempat dan posisi-posisi penting untuk merebut kekuasaan.
Dalam
usahanya mempersiapkan diri untuk merebut kekuasaan itu, PKI mengerahkan segala
kekuatan dalam segala bidang. Dalam bidang kebudayaan dilakukan oleh Lekra.
Lekra melakukan teror terhadap orang-orang dan golongan yang dianggapnya tidak
sepaham.
Dalam
bidang sastra satu persatu pengarang yang mempunyai paham berbeda dengan
mereka, dihantam dan dimusnahkan. Sutan Takdir Alisjahbana yang politis menjadi
anggota partai yang dibubarkan (PSI) dan Hamka (Masyumi) menjadi sasarannya.
Buku-buku mereka dituntut supaya dilarang dipergunakan.
Tahun
1950 PNI membentuk Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) diketuai oleh Sita
Situmorang. NU membentuk Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (LESBUMI)
dengan ketua Osman Ismail. Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Syariat
Islam Indonesia (PSII), Partai Indonesia (Partindo).
Dengan
berbagai cara para budayawan, seniman, dan pengarang Indonesia dipaksa masuk
Lekra. Organisasi-organisasi yang hendak berdiri sendiri (independen) terus diteror
dan difitnahnya seperti terjadi dengan Himpunan Mahasiswa islam (HMI) dan
Pelajar Islam Indonesia (PII).
2.
Manifes Kebudayaan dan Konferensi Karyawan Pengarang se Indonesia
Mei
1961 diterbitkan Majalah Sastra. Ketua : HB. Jassin, Redaktur penyelenggara :
DS. Moeljanto. Majalah sastra mengutamakan memuat cerpen, juga sajak, kritik
dan esai.
Beberapa pengarang esai yang banyak menulis pada masa itu adalah Goenawan Mohamad, Arief Budiman (Soe Hok Djin) D.A Peransi, dan lain-lain. Beberapa penulis esai seperti Iwan Simatupang dan Wiratmo Soekito juga banyak menulis dalam majalah sastra. Boen S. Oemarjati, M.S Hutagalung, Virga Belan, Salim Said juga sering mengumumkan kritik-kritiknya dalam majalah tersebut.
Beberapa pengarang esai yang banyak menulis pada masa itu adalah Goenawan Mohamad, Arief Budiman (Soe Hok Djin) D.A Peransi, dan lain-lain. Beberapa penulis esai seperti Iwan Simatupang dan Wiratmo Soekito juga banyak menulis dalam majalah sastra. Boen S. Oemarjati, M.S Hutagalung, Virga Belan, Salim Said juga sering mengumumkan kritik-kritiknya dalam majalah tersebut.
Pengarang-pengarang
cerpen dalam majalah sastra antara lain B. Soelarto Bur Rasuanto, A. Bastari
Asnin, Satyagraha Hoerip Soeproto Kamal Hamzah, Ras Siregar, Sori Siregar,
Gerson Poyk, B. Jass, dan lain-lain. Sedang para penyair antara lain: Isma
Sawitri, Goenawan Mohamad, M. Saribi Afn, Poppy Hutagalung, Budiman S. Hartojo,
Arifin C.Noer, Sapardi Djoko Danomo, dan lain-lain.
17
Agustus 1963 diumumkan “Manifes Kebudayaan” yang disusun dan ditandatangani
sejumlah pengarang dan pelukis Jakarta, antara lain H.B Jassin, Trisno
Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Goenawan Mohamad, Bokor Hutasuhut, Soe Hok
Djin, dan lain-lain.
Manifes Kebudayaan
Manifes Kebudayaan
Kami
para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan mengumumkan sebuah manifes
kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik kebudayaan nasional
kami.
Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektoral kebudayaan di atas sektor kebudayaan lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektoral kebudayaan di atas sektor kebudayaan lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
Dalam
melaksanakan kebudayaan nasional kami berusaha mencipta dengan kesungguhan yang
sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan
martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia ditengah-tengahnya masyarakat
bangsa-bangsa. (Jakarta, 17 Agustus 1963)
PANCASILA
adalah falsafah kebudayaan kami.
Jakarta,
17 Agustus 1963
Manifes
ini segera mendapatkan sambutan dari pelosok tanah air. Di pihak lain, manifes
itu mempermudah Lekra beserta kampanyenya untuk menghancurkan orang-orang yang
mereka anggap sebagai musuh. Namun, pihak manifes pun tidak tinggal diam mereka
mempersiapkan konferensi pengarang yang mereka namakan Konferensi Karyawan
Pengarang Se-Indonesia (KKPI). Konferensi ini berlangsung di Jakarta bulan
Maret 1964, yang menghasilkan Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia (PKPI).
Tapi, sebelum PKPI berjalan, Soekarno (presiden saat itu) menyatakan manifes
kebudayaan terlarang. Para budayawan, seniman, dan pengarang penandatanganan
manifes kebudayaan diusir dari tiap kegiatan, ditutup kemungkinan mengumumkan
karya-karyanya, bahkan yang menjadi pegawai pemerintah dipecat dari
pekerjaannya.
Perkataan
‘Manikebuis’ menjadi istilah populer untuk menuduh seseorang “kontra revolusi,
anti-manipol, anti-lisdek, anti-nasakom dan sebagainya. Majalah sastra dituntut
dilarang terbit. Demikian juga majalah Indonesia, dan lain-lain.
Situasi
ini memberi ciri kepada karya-karya sastra yang dihasilkan period ini. Yang
ingin membela kemerdekaan manusia yang diinjak-injak tirani mental dan fisik.
Sajak-sajak, cerpen-cerpen, terutama esai-esai yang ditulis merupakan protes
sosial dan protes terhadap penginjakan martabat manusia. Puncaknya adalah
sajak-sajak Taufiq Ismail, Mansur Samin, Slamet Kirnanto, Bur Rasuanto, dan
lain-lain yang ditulis ditengah demonstrasi mahasiswa dan pelajar awal tahun
1966. Sajak-sajak demonstrasi yang dikumpulkan Taufik Ismail dalam Tirani dan
Benteng (tahun 1966) merupakan dari suatu period sejak tahun 1966, terbit
majalah Horison ynag dipimpin Mochtar Lubis, H.B Jassin, Taufiq Ismail,
Goenawan Mohamad, Arief Budiman, dan lain-lain. Akhir tahun 1967, majalah
sastra dihidupkan kembali dengan pimpinan redaksi H.B jassin, terbit pula
majalah cerpen dipimpin Kassim Achmad dan D.S Moeljanto. Sejak Juni 1968 terbit
majalah Budaya Djaja yang dipimpin Ilen Surianegara dengan redaksi Ajip Rosidi
dan Hariyadi S. Hartowardjojo. Majalah-majalah itu isinya menunjukkan
hasil-hasil masa transisi.
3.
Para Pengarang Lekra
Karangan-karangan
yang ditulis oleh pengarang bukan anggota Lekra, asalkan menguntungkan bagi
pihak Lekra, maka karangan tersebut diterbitkan juga. Misalnya kumpulan sajak
Sitor Situmorang yang berjudul “Zaman Baru” tahun 1962 diterbitkan oleh organ
penerbitan Lekra.
Kecuali
ruangan kebudayaan dalam surat kabar partai “Harian Rakyat” yang dipimpin oleh
NR. Bandaharo, Lekra mempunyai majalah “Zaman Baru” yang dipimpin oleh Rivai
Apin. S. Anantaguna dan lain-lain. Beberapa bulan menjelang Gestapu, mereka
menerbitkan harian “Kebudayaan Baru” yang dipimpin oleh S. Antaguna, yang dalam
penerbitannya selalu dimuat sajak-sajak, cerpen-cerpen, esai-esai dan
karangan-karangan lain baik asli maupun terjemahan karya para anggota Lekra
atau bukan.
Paramoedya
Ananta Toer yang merupakan salah seorang ketua lembaga seni sastra (Lekra) dan
salah seorang anggota pleno Pengurus Pusat Lekra, memimpin ruangan kebudayaan
lentera dalam surat kabar “Bintang” (timur) minggu yang resminya ialah koran
Partindo.
Di
antara golongan nama-nama baru yang untuk pertama kali menulis, ada juga
nama-nama yang sudah dikenal sebagai pengarang yang kemudian masuk Lekra.
Nama-nama yang sudah dikenal itu antara lain Rivai Apin, S. Rukiah, Kuslan
Budiman, S. Wisnu Kontjahjo, Sobron Audit, Utuy T. Sontanz Dadang Djiwapradja,
paramoedya Ananta Toer dan lain-lain.
Di
antara para penulis yang namanya sejak mulai muncuk selaku dalam lingkungan
Lekra ialah A.S, Dharta Bachtiar Siagin, bakri Siregar, Hr. Bandaharo, F.L.
Risakorta, Zubir A.A, A. Kohor Ibrahim, Amarzam Ismail Hamid, S. Anantaguna.
Again Wispi, Kusni Sulang, B.A Simanjuntak, Sugiarti Siswandi, Hadi S dan
lain-lain.
AS
Dharta alias Kelana Asmara, alias Klara Akustia alias Yogaswara alias
Garmaraputra dan sejumlah alias lagi nama sebenarnya ialah Rodji, lahir di
Cibeber, Cianjur tanggal 7 Maret 1923. Ia seorang pendiri Lekra dan menjadi
sekretaris jenderalnya yang pertama, ia pernah menjadi anggota konstitutuante
sebagai wakil PKI dan dipecat oleh Lekra. Sajak-sajaknya diterbitkan dengan
judul “Rangsang Detik” tahun 1957 dan karangan-karangan Polemis dengan H.B
Jassin dan lain-lain.
Bachtiar
Siangin banyak menulis Sanoiwara, ia menerbitkan beberapa buku sandiwara,
diantaranya Lorong Belakang (1950). Agam Wispi lahir di Idi, Aceh tahun 1934.
Mula-mula menulis cerpen dan sajak, kemudian esai dan bentuk-bentuk sastra
lain. Sejumlah sajaknya dimuat juga dalam berbagai penerbitan bersama yang
dikumpulkan dalam “sahabat” (1959).
S.
Anantaguna (lahir di Klaten tanggal 9 Agustus 1930) mula-mula menulis
sajak-sajak tetapi kemudian menulis juga cerpen dan karangan-karangan lain.
Sajak-sajak yang diterbitkan dalam kumpulan “yang Bertanah Air Tapi Tidak
Bertanah” (1964).
Sobron
Aidit lahir di Belitung 2 Juni 1934 juga mula-mula hanya menulis sajak kemudian
juga menulis cerpen dan roman. Sajak-sajak awal (sebelum ia aktif menjadi
anggota Lekra) sebagian dimuat dalam kumpulan bersama Asip Rosidi dan S.M.
Ardan berjudul “Ketemu di Jalan” (1956). Sejumlah sajaknya dibukukan dalam
palang bertempur (1959) sedangkan cerpen dan novel revolusinya diterbitkan
dengan judul Derap Revolusi (1962).
Hadi
S. yang nama panjangnya ialah Hadi Sosrodanukusumo terutama menulis sajak yang
sebagian telah diterbitkan dengan judul “Yang Jatuh dan Yang Tumbuh” (1954).
Penyair Lekra diantara yang muda ialah Amarzan Ismail Hamid (lahir ?) yang kadang-kadang juga menulis cerpen dan esai.
Penyair Lekra diantara yang muda ialah Amarzan Ismail Hamid (lahir ?) yang kadang-kadang juga menulis cerpen dan esai.
4. Para Pengarang Keagamaan
Yang
mau menyaingi Lekra dalam bidang penerbitan buku-buku sastra barangkali hanya
Lembaga Kebudayaan Kristen (Lekrindo) saja. Beberapa buku kumpulan sajak dan
cerita-cerita karangan para pengarang Kristen yang pernah diterbitkan antara
lain “Kidung Keramahan” (1963) kumpulan sajak Soeparwata Wiraatmdja ‘Hari-hari
Pertama oleh Gerson Poyk, dan kumpulan sejak malam sunyi (1961) dan basah dan
peluh (1962) kedua-duanya buah tangan Fridolin Ukur.
Buku-buku
karya sastra yang bernafaskan agama Islam tidaklah diterbitkan oleh
lembaga-lembaga atau badan-badan yang ada sangkut pautnya dengan
lembaga-lembaga kebudayaan itu kumpulan-kumpulan cerpen dan roman. Kumpulan
cerpen dan roman Djamil Suherman yang berdujul “Umi Kalsum” dan “Perjalanan Ke
Akhirat” diterbitkan oleh penerbit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar