SASTRA
DUNIA (PERIODE 1900-1933)
Pertengahan 1900-an di Inggris merupakan masa paling
menentukan dalam sejarah sastra
dunia,
ketika muncul sekelompok pengarang yang menempatkan kembali fantasi dan
spiritualitas
dalam
karya-karya yang dihasilkannya.Bermula dari puisi Tolkien yang berjudul
Mythopoeia,dan
diikuti pendirian Inklings, kelompok non formal oleh Tolkien dan
kawan-kawan
Profesornya
di Oxford, berkembanglah tradisi sastra yang bergenre fantasi (Mythopoeia).Pada
tahun
1936, Tolkien menulis novel Hobbit dan dari novel itu, tradisi sastra
yang bergenre fantasi
mythopoeicsemakin
berkembang. Tradisi baru ini menerobos tradisi sastra yang mapan ketika
itu,
yakni sastra modern bercorak realis yang dominasi oleh karya-karya Lawrence,
Hemingway
dan
Joycei.
Deskkripsi dan istilah mythopoeia dikembangakan
oleh J.R.R. Tolkien tahun1930an.Penulis dalam genre ini menggambungkan
tema-tema mitologi tradisional dan arketip-arketip ke dalam fiksi.Mythopoeia
juga merupakan menciptakan hal-hal berupa mitos.Usaha mengelaborasi
“kemasalaluan” menjelma dalam bentuk sastra fantasi mythopoeic.Banyak
karya sastra yang bermuatan tema-tema mistik, namun hanya beberapa yang
mendekati misi mythopoeia.Menurut Cooper,
sebagai kebalikan dari dunia-dunia fantasi atau
fiksi-fiksi
umum yang berdasarkan sejarah, georgrafi, dan hukum alam, myithopoeia bertujuan
untuk
meniru dunia mitologi yang sesungguhnya. Mythopoeia secara khusus dibuat
untuk
menciptakan
mitologi bagi pembaca modern, dan atau untuk menambah kekuatan dan kedalaman
sastra
terhadap dunia-dunia fiksi, fantasi atau karya-karya dan film science
fiksi.Mythopoeia
Sastra fantasi
awalnya berkembang dalan tradisi dan ideologi Inklings, namun dalam
perkembangan
selanjutnya, sastra fantasi terpecah menjadi dua; pertama fantasi yang
setia secara
bentuk
dan ideologi dalam tradisi Inklings, yakni berkomitmen kepada koreksi
terhadap
modernism
yang dianggap tersekulerkan, dan cenderung pada kemajuan material disebut
dengan
Fantasi
Mythopoeic, yang kedua bentuk fantasi yang berbeda secara
ideologis dengan Inklings,
oleh
Jack Zipes dinamai Fantasi Radikal(Frenkel, 1993: 1-18).
Joseph Campbell, seorang peneliti mitologi dunia
mengatakan bahwa sastra fantasi
adalah
sebuah bentuk usaha dari para penulis untuk mengembalikan mitos dan sastra
lisan
kepada
zaman modern. Terlebih lagi sastra fantasi mythopoeic, kelompok Inklings
dan
mythopoeic
society memiliki misi yang lebih dari itu, misi mythopoeic
adalah mengeksplorasi
spirit
dari mite dan cerita-cerita ajaib dari masa lampau guna mengatasi kompleksitas
persoalan
modernitas.Usaha
ini diperlukan karen menurut Campbell, manusia di abad ke-21 haus untuk
kembali kepada kultur masa lampau (Frenkel, 1993 :
14-16). Komitmen Inkling untuk mengkaji kembali nilai-nilai masa lampau
tersebut sejalan dengan filsafat organisisme yang dikembangkan oleh filsuf
Inggris, Alfred North Whitehead pada tahun 1920-an. Filsafat Whiteheadean
kemudian dikembangkan kembali oleh kelompok Grifin pada tahun 1989. Menurut
Griffin:
“Mitos
kemajuan” modern merendahkan masa lalu, yang tradisional, dengan mengatakan
modernitas
sebagai “pencerahan” dan masa lalu sebagai “zaman kegelapan”, dan
mempertentangkan
“sains modern” dengan “takhayul” primitif Abad Pertengahan. Mitos
kemajuan
ini diungkapkan oleh Auguste Comte yang memperiodisasi sejarah manusia kedalam
zaman teologi, metafisika, dan sains; periodisasi yang sekarang masih dipakai
secara
luas dalam lingkungan akademis(Griffin, 2005 : 18).
1.4 Tinjauan Pustaka
Artikel
berjudul “Fairy and Faerie: Uses of the Victorian in Neil Gaiman's and
Charles
Vess's
Stardust” (2008), yang ditulis Meredith Collins yang
mendeskripsikan Stardust adalah
sebuah novel yang mengandung unsur-unsur dongeng,
yakni mengisahkan tentang nasib tokoh
utama
yang penuh dengan petualangan supranatural dan banyak berisi jampi-jampi dan
mantera.
Selanjutnya
tulisan ini juga menyatakan bahwa Neil Gaiman menggunakan tokoh-tokoh
sejarah
sebagai tokoh dalam novelnya ini, antara lain, Ratu Victoria, Mr. Charles Dickens
, Mr.
Drapper
dan Mr. Morse. Ratu Victoria digambarkan penuh semangat dan belum menjadi
pemurung
seperti ketika ia telah menjadi janda, menurutnya penggambaran ini bukan tanpa
maksud,
melainkan untuk menghidupkan suasana teks sebagai suasana yang riang dan
menghilangkan
kesan kemurungan. Masih tentang peran tokoh-tokoh sejarah dalam
kehadirannya
di dalam teks, dinyatakan dalam tulisan ini bahwa, Charles Dickens mewakili
budaya
populer, sedangkan Mr. Morse dan Mr, Drapper mewakili sains dan teknologi.Kehadiran
karakter
tokoh sejarah tersebut mewujud dalam tokoh utama Tristan sebagai sosok yang
penuh
ingin
tahu, optimistis dan eksploratif.
Stardust
juga
digambarkan sebagai penekanan pada hubungan kedua tokoh utama Tristan
dan
Lady Yefiene (Putri Bintang) sebagai laki-laki dan perempuan yang saling
melengkapi.Dengan
demikian, Stardust menekankan pada relasi dari gender komplementer.
Dari
tulisan di atas, terlihat bahwa Stardust disimpulkan sebagai novel
posmoderen yang
mengandung
tegangan antara tokoh sejarah dan tokoh fiksi.Kehadiran tokoh sejarah untuk
memperkuat
karakter tokoh fiksi.Namun tulisan di atas tidak mengeksplorasi kehadiran tokoh
Victoria
sebagai ikon penemu budaya daerah jajahan yang menyebabkan terjadinya kontak
barat
dan
timur sehingga fiksi posmodern sebagai metafiksi historiografis tidak dibahas
dalam tulisan
di
atas.
Demikian pula kehadiran Mr. Dickens yang di dalam
novel digambarkan sangat rindu
akan
cerita-cerita peri dan hal-hal yang berbau mistis tidak ditonjolkan sehingga
sisi posmodern
dari
novel ini tidak diungkap, seperti hal yang menjadi fokus kajian dalam tulisan
ini nanti.
Tulisan
lainnya yang berbicara tentang novel Stardust karya Neil Gaimanberupa
disertasi
berjudul
“The Fantastic Worlds as a Representation of The Collective Human
Unconscious in
the
Books by Neil Gaiman” (2008)yang ditulis oleh Jitka
Marková.Penelitian Marková ini
membahas
hubungan arus utama sosial dan dunia-dunia fantastik menurut analisis pandangan
psikologi.
Dalam penelitian itu, juga dijelaskan bahwa perjalanan tokoh utama yang
berperan
sebagai
bagian utama dalam novel tersebut memiliki fungsi yang sama dengan proses
individuasi
yang
dijabarkan oleh C.G. Jung. Marková menggambarkan bahwa ide dunia fantastik yang
merepresentasikan
unconscious dianalisis melalui hubungan tokoh-tokoh utama kepada
duniadunia
dan
perkembangan sifat-sifat mereka terhadap sesuatu yang di luar pengalaman
mereka.
Dalam
hal ini Stardust merepresentasikan sifat lain dari fenomena dunia
fantastik. Di sini
digambarkan
bukan sebagai suatu petualangan hero tetapi lebih kepada hal yang positif yaitu
harmonisasi
dengan tokoh utama dan tidak menggambarkan suatu threat pada tokoh.
Kenyataan
ini
terreflesikan pada keserupaan pada fairytale dimana seluruh masalah
tersebut diselesaikan
dengan
cara mengguanakan magis atau bantuan dari beberapa hal yang sifatnya
supranatural.
Pada
umumnya, penelitian terhadap novel bergenre fantasi hanya terjebak pada bingkai
budaya
popular yang menganggap sastra fantasi sebagai eskapisme, menyamakan sastra
fantasi
dengan
bentuk pelarian lain seperti minuman berakohol, obat-obatan psikotropika yang
mampu
membuat
pembaca “melarikan diri ” dari dunia nyata, dan itupun bersifat temporal. Dari
tinjauan
pustaka
terlihat bahwa penelitian Markova sedikit lebih maju, Markova memanfaatkan
teori
psikologi
Jungian, namun demikian, tidak menyentuh sisi religiositas yang dapat diungkap
lewat
teori
Jung.Penelitian tulisan Markovapun hanya terjebak dalam persoalan psikologi
sastra.
Komitmen Mitopoeic Society sebagai kelas
sosial terhadap reproduksi mite, terhadap kearifan masa lampau, kebangkitan
spritualitas dan reaksinya terhadap modernisme tidak mendapat tempat dalam
penelitian-penelitian tentang genre ini, oleh karena itu metode strukturalisme
genetik
diharapkan dapat mengungkap pandangan dunia kelompok sosial ini, sehingga
ideologi
yang
diusungnya dapat terungkap, demikian pula peta peradaban dan pergerakannya
dapat
dibaca
melalui cerminannya dalam karya sastra. Dengan demikian penelitian ini adalah
orisinil.
1.5
Landasan Teori
Novel
Stardust karya Neil Gaiman ini, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya
mencirikan
novel posmodern yang mengandung tegangan nilai-nilai masa lampau dengan
nilainilai
modernitas.
Tokoh peri, latar tempat yang tak dapat dirujuk pada dunia nyata, serta
simbolsimbol
yang
dipinjam dari masa lampau (tradisional) diasumsikan sebagai perlawanan terhadap
tata
dunia kini (modernisme). Demikian pula hero dalam hal ini tokoh utama berusaha
membangun
penyatuan kembali dunia yang telah terfragmentasi oleh nilai-nilai modernitas
mencirikan
perlawanan yang sama. Koherensi antar unsur dalam novel Stardust yang
mengindikasikan
sebuah proses pencarian hero akan nilai-nilai otentik akan dapat dijembatani
oleh
teori strukturalisme genetik Lucien Goldmann, oleh karena itu penelitian ini
menggunakan
teori
Strukturalisme Genetik Lucien Goldmann. Novel Stardustmenunjukkan
pencirian sebagai
karya
posmodernisme, dengan tokoh dan latar tempatnya yang merupakan perpaduan antara
dunia
yang dapat dirujuk pada suatu ruang yang riil, dan dunia peri yang tak dapat
dirujuk pada
dunia
nyata. Dengan alasan yang demikian, penelitian ini juga menggunakan cara
pandang
posmodernisme
Whiteheadian yang lebih berkecenderungan pada pandangan tentang
Organisisme, adanya jaringan kehidupan yang
menyeluruh dan dengan begitu penting artinya
mencari
kembali relasi organis dalam dunia yang telah terfragmentasi oleh sikap hidup
modernis.
Ada
beberapa alasan untuk menggabungkan kedua teori ini. Pertama,
strukturalisme
genetik
mensyaratkan homologi antara bentuk novel dan isi. Novel Stardust adalah
novel
posmodern,
oleh karena itu penggunaan strukturalisme saja tidak memadai untuk mengungkap
sisi
kepostmoderenannya v. Di lain pihak, teori posmodernisme sendiri kurang memadai
untuk
mengetahu
posisi Stardust dalam peta sejarah sastra, sementara Stardustmerupakan
sejarah
panjang
dan komprehensif mengenai pemikiran dan perjuangan subjek transindividual yang
terdiri
dari para filsuf dan kelompok pengarang dalam pergulatan mereka mengoreksi
nilai-nilai
modernisme
yang dianggap bersifat destruktif. Oleh karena itu metode keseluruhan-bagian
dan
konsep
Goldmann mengenai subjek transindividual diperlukan untuk memahami entitas
struktur
novelStardust.
Strukturalisme
genetik dan postmodernisme sendiri tidak memiliki pertentangan
dipandang
dari beberapa alasan, Pertama, posmodernisme memiliki beberapa
pengertian, mulai
dari
pengertian Lyotard yang mengajukan pemutusan secara radikal dengan modernisme,
sampai
Gidden
dan Habermas yang membela modernitas sebagai proyek yang belum selesai (Maksum,
2008:
306). Novel Stardust meskipun menampilkan perlawanan terhadap
modernisme, namun
tidak
menolak nilai-nilai modernismedengan ekstrim. Nilai-nilai itu dikodekan secara
ganda
(double
coding) dengan nilai-nilai tradisional, sehingga nilai-nilai itu bisa
saling melengkapi.
Kedua,
Strukturalisme genetik bergerak dinamis. Pada awalnya Goldmann menempatkan
posisi
pengarang sebagai subyek transindividual pada komunitas sosial yang lebih besar
yakni
kelas
sosial, namun pada fase Malraux, kelas sosial ini tidak dapat dipertahankan
oleh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar