Powered By Blogger

Kamis, 20 November 2014

SASTRA DUNIA (PERIODE 1900-1933)



 SASTRA DUNIA (PERIODE 1900-1933)

Pertengahan 1900-an di Inggris merupakan masa paling menentukan dalam sejarah sastra
dunia, ketika muncul sekelompok pengarang yang menempatkan kembali fantasi dan spiritualitas
dalam karya-karya yang dihasilkannya.Bermula dari puisi Tolkien yang berjudul
Mythopoeia,dan diikuti pendirian Inklings, kelompok non formal oleh Tolkien dan kawan-kawan
Profesornya di Oxford, berkembanglah tradisi sastra yang bergenre fantasi (Mythopoeia).Pada
tahun 1936, Tolkien menulis novel Hobbit dan dari novel itu, tradisi sastra yang bergenre fantasi
mythopoeicsemakin berkembang. Tradisi baru ini menerobos tradisi sastra yang mapan ketika
itu, yakni sastra modern bercorak realis yang dominasi oleh karya-karya Lawrence, Hemingway
dan Joycei.
Deskkripsi dan istilah mythopoeia dikembangakan oleh J.R.R. Tolkien tahun1930an.Penulis dalam genre ini menggambungkan tema-tema mitologi tradisional dan arketip-arketip ke dalam fiksi.Mythopoeia juga merupakan menciptakan hal-hal berupa mitos.Usaha mengelaborasi “kemasalaluan” menjelma dalam bentuk sastra fantasi mythopoeic.Banyak karya sastra yang bermuatan tema-tema mistik, namun hanya beberapa yang
mendekati misi mythopoeia.Menurut Cooper, sebagai kebalikan dari dunia-dunia fantasi atau
fiksi-fiksi umum yang berdasarkan sejarah, georgrafi, dan hukum alam, myithopoeia bertujuan
untuk meniru dunia mitologi yang sesungguhnya. Mythopoeia secara khusus dibuat untuk
menciptakan mitologi bagi pembaca modern, dan atau untuk menambah kekuatan dan kedalaman
sastra terhadap dunia-dunia fiksi, fantasi atau karya-karya dan film science fiksi.Mythopoeia
            Sastra fantasi awalnya berkembang dalan tradisi dan ideologi Inklings, namun dalam
perkembangan selanjutnya, sastra fantasi terpecah menjadi dua; pertama fantasi yang setia secara
bentuk dan ideologi dalam tradisi Inklings, yakni berkomitmen kepada koreksi terhadap
modernism yang dianggap tersekulerkan, dan cenderung pada kemajuan material disebut dengan
Fantasi Mythopoeic, yang kedua bentuk fantasi yang berbeda secara ideologis dengan Inklings,
oleh Jack Zipes dinamai Fantasi Radikal(Frenkel, 1993: 1-18).
Joseph Campbell, seorang peneliti mitologi dunia mengatakan bahwa sastra fantasi
adalah sebuah bentuk usaha dari para penulis untuk mengembalikan mitos dan sastra lisan
kepada zaman modern. Terlebih lagi sastra fantasi mythopoeic, kelompok Inklings dan
mythopoeic society memiliki misi yang lebih dari itu, misi mythopoeic adalah mengeksplorasi
spirit dari mite dan cerita-cerita ajaib dari masa lampau guna mengatasi kompleksitas persoalan
modernitas.Usaha ini diperlukan karen menurut Campbell, manusia di abad ke-21 haus untuk
kembali kepada kultur masa lampau (Frenkel, 1993 : 14-16). Komitmen Inkling untuk mengkaji kembali nilai-nilai masa lampau tersebut sejalan dengan filsafat organisisme yang dikembangkan oleh filsuf Inggris, Alfred North Whitehead pada tahun 1920-an. Filsafat Whiteheadean kemudian dikembangkan kembali oleh kelompok Grifin pada tahun 1989. Menurut Griffin:
“Mitos kemajuan” modern merendahkan masa lalu, yang tradisional, dengan mengatakan
modernitas sebagai “pencerahan” dan masa lalu sebagai “zaman kegelapan”, dan
mempertentangkan “sains modern” dengan “takhayul” primitif Abad Pertengahan. Mitos
kemajuan ini diungkapkan oleh Auguste Comte yang memperiodisasi sejarah manusia kedalam zaman teologi, metafisika, dan sains; periodisasi yang sekarang masih dipakai
secara luas dalam lingkungan akademis(Griffin, 2005 : 18).
            1.4 Tinjauan Pustaka
Artikel berjudul “Fairy and Faerie: Uses of the Victorian in Neil Gaiman's and Charles
Vess's Stardust” (2008), yang ditulis Meredith Collins yang mendeskripsikan Stardust adalah

sebuah novel yang mengandung unsur-unsur dongeng, yakni mengisahkan tentang nasib tokoh
utama yang penuh dengan petualangan supranatural dan banyak berisi jampi-jampi dan mantera.
Selanjutnya tulisan ini juga menyatakan bahwa Neil Gaiman menggunakan tokoh-tokoh
sejarah sebagai tokoh dalam novelnya ini, antara lain, Ratu Victoria, Mr. Charles Dickens , Mr.
Drapper dan Mr. Morse. Ratu Victoria digambarkan penuh semangat dan belum menjadi
pemurung seperti ketika ia telah menjadi janda, menurutnya penggambaran ini bukan tanpa
maksud, melainkan untuk menghidupkan suasana teks sebagai suasana yang riang dan
menghilangkan kesan kemurungan. Masih tentang peran tokoh-tokoh sejarah dalam
kehadirannya di dalam teks, dinyatakan dalam tulisan ini bahwa, Charles Dickens mewakili
budaya populer, sedangkan Mr. Morse dan Mr, Drapper mewakili sains dan teknologi.Kehadiran
karakter tokoh sejarah tersebut mewujud dalam tokoh utama Tristan sebagai sosok yang penuh
ingin tahu, optimistis dan eksploratif.
Stardust juga digambarkan sebagai penekanan pada hubungan kedua tokoh utama Tristan
dan Lady Yefiene (Putri Bintang) sebagai laki-laki dan perempuan yang saling
melengkapi.Dengan demikian, Stardust menekankan pada relasi dari gender komplementer.
Dari tulisan di atas, terlihat bahwa Stardust disimpulkan sebagai novel posmoderen yang
mengandung tegangan antara tokoh sejarah dan tokoh fiksi.Kehadiran tokoh sejarah untuk
memperkuat karakter tokoh fiksi.Namun tulisan di atas tidak mengeksplorasi kehadiran tokoh
Victoria sebagai ikon penemu budaya daerah jajahan yang menyebabkan terjadinya kontak barat
dan timur sehingga fiksi posmodern sebagai metafiksi historiografis tidak dibahas dalam tulisan
di atas.
Demikian pula kehadiran Mr. Dickens yang di dalam novel digambarkan sangat rindu
akan cerita-cerita peri dan hal-hal yang berbau mistis tidak ditonjolkan sehingga sisi posmodern
dari novel ini tidak diungkap, seperti hal yang menjadi fokus kajian dalam tulisan ini nanti.
Tulisan lainnya yang berbicara tentang novel Stardust karya Neil Gaimanberupa disertasi
berjudul “The Fantastic Worlds as a Representation of The Collective Human Unconscious in
the Books by Neil Gaiman” (2008)yang ditulis oleh Jitka Marková.Penelitian Marková ini
membahas hubungan arus utama sosial dan dunia-dunia fantastik menurut analisis pandangan
psikologi. Dalam penelitian itu, juga dijelaskan bahwa perjalanan tokoh utama yang berperan
sebagai bagian utama dalam novel tersebut memiliki fungsi yang sama dengan proses individuasi
yang dijabarkan oleh C.G. Jung. Marková menggambarkan bahwa ide dunia fantastik yang
merepresentasikan unconscious dianalisis melalui hubungan tokoh-tokoh utama kepada duniadunia
dan perkembangan sifat-sifat mereka terhadap sesuatu yang di luar pengalaman mereka.
Dalam hal ini Stardust merepresentasikan sifat lain dari fenomena dunia fantastik. Di sini
digambarkan bukan sebagai suatu petualangan hero tetapi lebih kepada hal yang positif yaitu
harmonisasi dengan tokoh utama dan tidak menggambarkan suatu threat pada tokoh. Kenyataan
ini terreflesikan pada keserupaan pada fairytale dimana seluruh masalah tersebut diselesaikan
dengan cara mengguanakan magis atau bantuan dari beberapa hal yang sifatnya supranatural.
Pada umumnya, penelitian terhadap novel bergenre fantasi hanya terjebak pada bingkai
budaya popular yang menganggap sastra fantasi sebagai eskapisme, menyamakan sastra fantasi
dengan bentuk pelarian lain seperti minuman berakohol, obat-obatan psikotropika yang mampu
membuat pembaca “melarikan diri ” dari dunia nyata, dan itupun bersifat temporal. Dari tinjauan
pustaka terlihat bahwa penelitian Markova sedikit lebih maju, Markova memanfaatkan teori
psikologi Jungian, namun demikian, tidak menyentuh sisi religiositas yang dapat diungkap lewat
teori Jung.Penelitian tulisan Markovapun hanya terjebak dalam persoalan psikologi sastra.

Komitmen Mitopoeic Society sebagai kelas sosial terhadap reproduksi mite, terhadap kearifan masa lampau, kebangkitan spritualitas dan reaksinya terhadap modernisme tidak mendapat tempat dalam penelitian-penelitian tentang genre ini, oleh karena itu metode strukturalisme
genetik diharapkan dapat mengungkap pandangan dunia kelompok sosial ini, sehingga ideologi
yang diusungnya dapat terungkap, demikian pula peta peradaban dan pergerakannya dapat
dibaca melalui cerminannya dalam karya sastra. Dengan demikian penelitian ini adalah orisinil.
1.5 Landasan Teori
Novel Stardust karya Neil Gaiman ini, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya
mencirikan novel posmodern yang mengandung tegangan nilai-nilai masa lampau dengan nilainilai
modernitas. Tokoh peri, latar tempat yang tak dapat dirujuk pada dunia nyata, serta simbolsimbol
yang dipinjam dari masa lampau (tradisional) diasumsikan sebagai perlawanan terhadap
tata dunia kini (modernisme). Demikian pula hero dalam hal ini tokoh utama berusaha
membangun penyatuan kembali dunia yang telah terfragmentasi oleh nilai-nilai modernitas
mencirikan perlawanan yang sama. Koherensi antar unsur dalam novel Stardust yang
mengindikasikan sebuah proses pencarian hero akan nilai-nilai otentik akan dapat dijembatani
oleh teori strukturalisme genetik Lucien Goldmann, oleh karena itu penelitian ini menggunakan
teori Strukturalisme Genetik Lucien Goldmann. Novel Stardustmenunjukkan pencirian sebagai
karya posmodernisme, dengan tokoh dan latar tempatnya yang merupakan perpaduan antara
dunia yang dapat dirujuk pada suatu ruang yang riil, dan dunia peri yang tak dapat dirujuk pada
dunia nyata. Dengan alasan yang demikian, penelitian ini juga menggunakan cara pandang
posmodernisme Whiteheadian yang lebih berkecenderungan pada pandangan tentang

Organisisme, adanya jaringan kehidupan yang menyeluruh dan dengan begitu penting artinya
mencari kembali relasi organis dalam dunia yang telah terfragmentasi oleh sikap hidup modernis.
Ada beberapa alasan untuk menggabungkan kedua teori ini. Pertama, strukturalisme
genetik mensyaratkan homologi antara bentuk novel dan isi. Novel Stardust adalah novel
posmodern, oleh karena itu penggunaan strukturalisme saja tidak memadai untuk mengungkap
sisi kepostmoderenannya v. Di lain pihak, teori posmodernisme sendiri kurang memadai untuk
mengetahu posisi Stardust dalam peta sejarah sastra, sementara Stardustmerupakan sejarah
panjang dan komprehensif mengenai pemikiran dan perjuangan subjek transindividual yang
terdiri dari para filsuf dan kelompok pengarang dalam pergulatan mereka mengoreksi nilai-nilai
modernisme yang dianggap bersifat destruktif. Oleh karena itu metode keseluruhan-bagian dan
konsep Goldmann mengenai subjek transindividual diperlukan untuk memahami entitas struktur
novelStardust.
Strukturalisme genetik dan postmodernisme sendiri tidak memiliki pertentangan
dipandang dari beberapa alasan, Pertama, posmodernisme memiliki beberapa pengertian, mulai
dari pengertian Lyotard yang mengajukan pemutusan secara radikal dengan modernisme, sampai
Gidden dan Habermas yang membela modernitas sebagai proyek yang belum selesai (Maksum,
2008: 306). Novel Stardust meskipun menampilkan perlawanan terhadap modernisme, namun
tidak menolak nilai-nilai modernismedengan ekstrim. Nilai-nilai itu dikodekan secara ganda
(double coding) dengan nilai-nilai tradisional, sehingga nilai-nilai itu bisa saling melengkapi.
Kedua, Strukturalisme genetik bergerak dinamis. Pada awalnya Goldmann menempatkan
posisi pengarang sebagai subyek transindividual pada komunitas sosial yang lebih besar yakni
kelas sosial, namun pada fase Malraux, kelas sosial ini tidak dapat dipertahankan oleh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar