Powered By Blogger

Kamis, 20 November 2014

SEJARAH SASTRA PERIODE 1945-1953



SEJARAH SASTRA PERIODE 1945-1953

SEJARAH SASTRA
PERIODE 1945-1953

Oleh: Indri Yuliana,Linda Susanti,Siti Saadah,Sri Julia Erni

1. Latar Belakang

Secara kronologi pendekatan sastra dilihat dari periodisasi dan angkatannya. Periodisasi adalah suatu rentang waktu tertentu yang didalamnya terdapat tonggak-tonggak penting peristiwa kesusas traan. Sedangkan angkatan adalah suatu peristiwa atau tonggak penting yang terjadi dalam kesusastraan, dalam kurun waktu tertentu.

Periodisasi dilakukan sebagai upaya pelonggaran terhadap kriteria definisi angkatan yang terlalu sempit. Periodisasi juga di gunakan untuk mengukur ada tidaknya suatu kelompok sastrawan yang bertindak sebagai suatu kesatuan yang berpengaruh pada suatu masa tertentu yang secara umum dalam karya mereka menganut prinsip yang sama.

Kesusastraan Indonesia terbagi dalam beberapa periode. Periode 1900-1933 disebut Angkatan Balai Pustaka, periode 1933-1942 disebut Angkatan Pujangga Baru,periode 1942-1945 disebut Angkatan 45, periode 1995-1950 disebut Angkatan 50,periode 1960-1970 disebut Angkatan 66, dan periode 1970-sekarang disebut Angkatan 70 dan Angkatan 2000 atau Angkatan Melankolik.

2. Visi dan Konsep Estetik Angkatan 50

            Estetika berarti ilmu yang membicarakan seluk-beluk. Dalam hal ini , yang dibicarakan adalah seluk beluk sejarah sastra angkatan 50 atau periode 1945-1950. Angkatan 50 itu sendiri ditandai oleh terbitnya majalah sastra kisah asuhan H.B.Jassin. angkatan ini didominasi oleh cerita pendek. Pada angkatan ini muncul gerakan komunis dikalangan sastrawan, yang bergabung dalam lembaga kebudayaan rakyat (lekra) yang berkonsep sastra realisme-sosialis. Muncul perpecahan dan polemik yang berkepanjangan dikalangan sastrawan.

            Nama angkatan 50 itu sendiri dikemukakan pertama kali oleh Rendra besreta kawan kawan dari jogja pada akhir 1953. Nama ini diberikan bagi sastrawan yang mulai menulis pada tahun 50 –an. Ajip rosidi menulis naskah yang berjudul “sumbangan terbaru sastrawan indonesia kepada kesusastraan indonesia

3. Para Sastrawan Angkatan 50
Sastrawan yang termasuk Angkatan 50 yaitu:
  1. Ajip Rosidi
Lahir di Jatiwangi, Cirebon 31 Januari 1938. Dia menjadi Profesor Tamu pada Osaka Gaidai di Jepang untuk mengajarkan Indonesiologi dan menerima Bintang Jasa The Order of the Secred Treasure Gold Ray with Neck Ribbon pada tahun 2000.

Pada usia 13 tahun telah memimpin majalah sekolah dan telah menerbitkan buku pada usia 16 tahun. Ia pernah menjadi redaktur majalah Suluh Pelajar,Prosa,Majalah Sunda, Budaya Jaya, Direktur Penerbit Cupumanik dan Duta Rakyat. Selain itu juga pernah menjadi dosen luar biasa FS UNPAD Bandung,Direktur Penerbit Pustaka Jaya, Ketua IKAPI, Ketua DKJ, hingga meraih Hadiah Sastra Nasional BMKN.
Sekitar awal tahun 90-an, Ajip Rosidi mempelopori pemberian Hadiah Sastra Rencage. Penghargaan ini diberikan khusus kepada sastrawan-sastrawati yang mempunyai prestasi luar biasa dalam bidang Sastra Daerah yang diadakan setiap tahunnya sejak tahun 90-an sampai sekarang.
Karya-karya yang ditulisnya antara lain: kumpulan cerpen dan novelet Tahun-tahun Kematian (1955), Kumpulan-kumpulan Sajak Pesta (1956), Di Tengah Keluarga (1956), Sebuah Rumah buat Hari Tua (1957), Lutung Kasarung (1958), Cari Muatan (1959), terjemahannya bersama Matsuoka Kunio: Penari Jepang (1985) dan Daerah Salju (1987), dan kumpulan cerpen dan novel Yasunari Kawabata.     

  1. Muchtar Lubis
Lahir di Padang, 7 Maret 1922 dan meninggal di Jakarta,2 Juli 2004. Muchtar Lubis terkenal sebagai wartawan yang pernah memimpin surat kabar Indonesia Raya. Ia juga meraih hadiah Ramon Magsaysay untuk karya jurnalistiknya ketika meliput Perang Korea. Yakob Utama dari Kompas menjulukinya sebagai “Wartawan Jihad” karena kegigihannya memperjuangkan hak azasi manusia.
Selain menulis karya sastra ia juga menulis buku ilmiah. Diantaranya Manusia Indonesia (1977), Transformasi Budaya untuk Masa Depan dan buku tebal Catatan Subversif  yang ditulis berdasarkan pengalamannya ketika ditahan pada masa Orde Lama.
Mochtar Lubis juga seorang editor dan penerjemah beberapa buku. Diantaranya Pelangi 70 Tahun S.T.A, Bunga Rampai Korupsi, Hati Nurani Melawan Kezaliman: Surat-surat Bung Hatta kepada Presiden Sukarno, terjemahan Tiga Cerita dari Negeri Dollar (kumpulan cerpen Jophn Steinbeck,dll,1950), Kisah-kisah dari Eropa (1950), dan Cerita dari Tiongkok (1953).
Karya-karya lainnya antara lain kumpulan cerpen Si Jamal (1951), Tak Ada Esok (1951), Catatan Perang Korea (1951), novel terkenal Tak Ada Ujung (1952), Penyamun dalam Rimba (1972), Harimau! Harimau! (1975), Maut dan Cinta (1977), Sinbad Sang Pelaut dan cerpen Kuli Kontrak (1982) serta Bromocorah (1983). 
Pada tahun 1993 Mochtar Lubis menerima hadiah sastra Chairil Anwar.
  1. Toto Sudarso Bachtiar
Lahir di Cirebon,12 Oktober 1929. Penyair ini menulis kumpulan Sajak Suara (1959) dan Etsa (1958). Di dalam kedua buku tersebut kata dapat jumpai Pahlawan Tak Dikenal,Ibukota Senja, Gadis Peminta-minta, Tentang Kemerdekaan, dan lain-lain.
Toto Sudarto juga menerjemahkan beberapa novel seperti Hati yang Bahagia (karya Leo Tolstoy), Pelacur (karya J.P. Sartre,1954), Sulaiman yang Agung (karya Harold Lamb, 1958), Pertempuran Penghabisan (karya Ernest Hemingway, 1974), novel Bayangan Memudar (karya Breton de Nijs, 1975), drama Sanyasi (karya Tagore, 1979), Malam Terakhir (karya Yushio Misima, 1979).
  1. A.A. Navis
Lahir di Padang Panjang, Sumatra Barat,17 November 1924 dan meninggal disana pula pada tahun 2002. Pengarang alumni INS Kayutanam pernah menjadi pemimpin redaksi harian Semangat Padang, Anggota DPRD Sumatra Barat, Ketua Yayasan INS Kayutanam.
A.A. Navis terkenal sebagai pengarang kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami (1956), Bianglala (1963), Hujan Panas (1964), novel Kemarau dan Gerhana (1967), buku nonfiksi Alam Terkembang Jadi Guru (1984). Cerpennya yang berjudul Jodoh memenangkan sayembara Kincir Emas yang diadakan oleh Radio Nederland.
A.A. Navis pernah menerima Hadiah Seni Depdikbud RI tahun 1980, Hadiah Sastra ASEAN (SEA Award) tahun 1972 dan Satya Lencana Kebudayaan Pemerintah RI tahun 2000.
  1. Nugroho Notosusanto
Lahir di Rembang, 15 Juli 1931 dan meninggal di Jakarta, 3 Juli 1985. Pengarang yang pernah menjabat Mendikbud RI dan Rektor UI ini menulis kumpulan cerpen Hujan Kepagian (1958), Tiga Kota (1959) dan Rasa Sayange (1961). Buku-buku nonfiksi yang ditulisnya Sejarah Kemerdekaan Indonesia, 30 Tahun Indonesia Merdeka dan Wawasan Almamater.
  1. Motenggo Busye
Lahir di Kupangkota, Lampung, 21 November 1937 dan meninggal di Jakarta, 18 Juli 1999. Pengarang yang juga pelukis dan dramawan ini tetap aktif menulis hingga akhir hayatnya. Ia juga seorang penyair. Buku kumpulan puisinya berjudul Aurora Para Aulia.
Karya-karyanya yang berbentuk drama antara lain Malam Jahanam (1958), Badai Sampai Sore, Keberanian Manusia, Perempuan Itu bernama Barabah (1962), Nyonya dan Nyonya, Penganten Di Bukit Kera, Matahari dalam Kelam, Sejuta Matahari, Nasehat untuk Anakku, Dosa Kita Semua,legenda Buang Tonjam, Ahim Ha, Batu Serompak (1963), Titian Dosa di Atasnya (1964), novel Trilogi Tante Maryati (1967), Sri Ayati, Retno Lestari dan novel Dia Musuh Keluarga (1968).
5.      Sejarah Sastra Periode 1953-1961
  Sejarah Sastra Indonesia Periode 1953-1961
Sejarah sastra Indonesia periode 1953-1961 mengalami krisis sastra dan adanya sastra majalah.
1.      Krisis Sastra Indonesia
            Setelah Chairil Anwar meninggal dunia, lingkungan kebudayaan ‘Gelanggang Seniman Merdeka’, seakan-akan kehilangan vitalitas. Asrul Sani yang beberapa lamanya asik meniulis esai, sudah jarang sekali menulis sajak atau hasil sastra lainnya. Demikian pula Rivai Apin padahal kedua orang itu tadinya dianggap sebagai tumpuan- harap yang akan melanjutkan kepeloporan Chairil.
            Pada bulan April 19532 di Jakarta diselenggarakan sebuah simposion tentang “kesulitan-kesulitan zaman peralihan sekarang”. Dalam simposion yang diselenggarakan oleh golongan-golongan kebudayaan Gelanggang, Lekra, Liga Komponis, PEN-Club Indonesia dan Pujangga Baru itu telah dibahas kesulitan-kesulitan zaman peralihan, ditinjau dari sudut sosiologi psikologi, dan ekonomi. Di antara para pembaca adalah St. Sjahrir, Moh. Said, Mr. Sjafrudin Prawiranegra, Prof. Dr Slamet Iman Santoso, Dr J. Ismael, S. Takdir Alisjahbana, Boejoeng Saleh, dan lain-lain. Dalam simposion itu dilontarkan istilah “krisis akhlak”, “krisis ekonomi” dan berbagai krisis lainnya.
            Tahun 1953, di Amsterdam diselenggarakan sebuah simposion tentang kesusastraan Indonesia. Antara lain berbicara dalam simposion itu Asrul Sani, S. Takdir Alisjahbana, Prof. Dr. Wertheim dan lain-lain. Di sinilah untuk pertama kali dibicarakan tentang “impasse” (kemacetan) dan “krisis sastra Indonesia sebagai akibat dari gagalnya revolusi Indonesia”. Tetapi persoalan tentang krisis baru menjadi bahan pembicaraan yang ramai betul ketika terbit majalah Konfrontasi pada pertengahan tahun 1954. Dalam nomer pertama majalah itu dimuat sebuah esai Sudjatmoko (lahir di Sawahlunto tanggal 10 Januari 1922) berjudul ‘Mengapa Konfrontasi”. Dalam karangan itu secara tandas dikatakan oleh penulisnya bahwa sastra Indonesia sedang mengalami krisis.
2.      Sastra Majalah
Roman-roman karangan Pramoedya Ananta Toer yang dalam tahun-tahun 1950-51-52-53 selalu muncul dengan judul-judul baru, tebal-tebal pula, dielakkan oleh para penuduh itu dengan alas an bahwa roman-roman itu ditulis Pram dalam penjara, jadi sebelum tahun 1950.
Sejak tahun 1953, Balai Pustaka yang sejak zaman sebelum perang merupakan penerbit utama buat buku-buku sastra, kedudukannya tidak menentu. Penerbit ini yang bernaung dibawah kementrian P.P dan K.
Maka aktivitas sastra terutama hanya dalam majalah-majalah saja seperti Gelanggang/ Siasat, Mimbar Indonesia, Zenith, Pudjangga Baru dan lain-lain. Karena sifat majalah maka karangan-karangan yang mendapat tempat terutama yang berupa sajak, cerpen dan karangan-karangan lain yang tidak begitu panjang. Sesuai dengan yang dibutuhkan oleh majalah-majalah, maka tak anehlah jika para pengarangpun lantas hanya mengarang cerpen, sajak dan karangan-karangan lain yang pendek-pendek.
Keadaan seperti itulah yang menyebabkan lahirnya istilah “sastra majalah”. Istilah ini pertama kali dilansirkan oleh Nugroho Notosusanto dalam tulisannya “situasi 1954” yang tadi sudah disebut, dimuat dalam majalah kompas yang dipimpinnya.
Pada masa sekitar persoalan “krisis kesustraan Indonesia” diramaikan orang, ada pula persoalan lain yang menjadi pokok perhatian pada peminat sastra. Yaitu, persoalan lahirnya angkatan sesudah angkatan ’45, atau sesudah angkatan Chairil Anwar. Dalam simposion sastra yang diselenggarakan oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1955, Harijadi S. Hartowardojo memberikan sebuah prasaran yang berjudul ‘puisi Indonesia sesudah Chairil Anwar
Dalam simposion sastra yang dieselenggarakan di Jakarta pada tahun 1960, Ajip Rosidi memberikan sebuah prasaran tentang ‘Sumbangan  Angkatan Terbaru Sastrawaan Indonesia Kepada Perkembangan Kesustraan Indonesia’/ dalam prasaran itu dicoba untuk mencari cirri-ciri yang membedakan angkatan tebaru dengan angkatan ’45.
Lebih lanjut dalam prasaaran itu dikemukakan bahwa setiap budaya para sastrawan yang tergolong pada ‘angkatan baru’ merupakan sintensis dari pada dua sikap ekstrim mengenai konsepsi kebudayaan Indonesisa. Yang pertama adalah, sikap yang  berpendapat bahwa kebudayaan nosional Indonesia itu merupakan persatuan dari puncak-puncak kebudayaan daerah. Yang kedua adalah sikap yang berpendapat bahwa kebudayaan Indonsia adalah mendunia dan mempersetan kebudayaan daerah. Maka sikap sintesisnya adalah Kebudayaan Nasiaonal Indonesia akan berkembang berdasarkan kenyataan-kenyataan dalam masyarakat Indonesia masa kini, yaitu adanya kebudayaan daerah dan adanya pengaruh dari luar.
Dalam seminar kesusastraan yang diselenggarakan Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1963. Nugroho menekankan pada kenyataan bahwa para pengarang yang aktif mulai menulis pada period 1950 adalah mereka yang telah mempunyai “sebuah tradisi Indonesia sebagai titik tolak”. Sifat imitatif dari Belanda atu Eropah berkurang.
Dalam hal ini peranan majalah Kisah (1953-1956), tak bisa dibilang kecil, karena banyak para pengarang yang muncul dalam periode ini mengemukakan tulisannya yang mula-mula dalam majalah ini. Atau banyak pula pengarang yang sudah menulis sebelum tahun 1953, kemudian mendapat kesempatan berkembang sebaik-baiknya dalam majajalah Kisah.
Beberapa pengarang yang ada pada periode 1953-1961 diantaranya ada:
1.      Nugroho Notosusanto
2.      A.A. Navis
3.      W.S. Rendra
4.      N.H. Dini
5.      Nasjah Djamin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar