SEJARAH SASTRA PERIODE 1945-1953
SEJARAH
SASTRA
PERIODE
1945-1953
Oleh:
Indri Yuliana,Linda Susanti,Siti Saadah,Sri Julia Erni
1.
Latar Belakang
Secara kronologi pendekatan sastra dilihat dari periodisasi
dan angkatannya. Periodisasi adalah suatu rentang waktu tertentu yang
didalamnya terdapat tonggak-tonggak penting peristiwa kesusas traan. Sedangkan
angkatan adalah suatu peristiwa atau tonggak penting yang terjadi dalam
kesusastraan, dalam kurun waktu tertentu.
Periodisasi dilakukan sebagai upaya pelonggaran terhadap
kriteria definisi angkatan yang terlalu sempit. Periodisasi juga di gunakan
untuk mengukur ada tidaknya suatu kelompok sastrawan yang bertindak sebagai
suatu kesatuan yang berpengaruh pada suatu masa tertentu yang secara umum dalam
karya mereka menganut prinsip yang sama.
Kesusastraan Indonesia terbagi dalam beberapa periode.
Periode 1900-1933 disebut Angkatan Balai Pustaka, periode 1933-1942 disebut
Angkatan Pujangga Baru,periode 1942-1945 disebut Angkatan 45,
periode 1995-1950 disebut Angkatan 50,periode 1960-1970 disebut Angkatan 66, dan periode 1970-sekarang
disebut Angkatan 70 dan Angkatan 2000 atau Angkatan Melankolik.
2.
Visi dan Konsep Estetik Angkatan 50
Estetika berarti ilmu yang
membicarakan seluk-beluk. Dalam hal ini , yang dibicarakan adalah seluk beluk
sejarah sastra angkatan 50 atau periode 1945-1950. Angkatan 50 itu sendiri
ditandai oleh terbitnya majalah sastra kisah asuhan H.B.Jassin. angkatan ini
didominasi oleh cerita pendek. Pada angkatan ini muncul gerakan komunis
dikalangan sastrawan, yang bergabung dalam lembaga kebudayaan rakyat (lekra)
yang berkonsep sastra realisme-sosialis. Muncul perpecahan dan polemik yang
berkepanjangan dikalangan sastrawan.
Nama angkatan 50 itu sendiri
dikemukakan pertama kali oleh Rendra besreta kawan kawan dari jogja pada akhir
1953. Nama ini diberikan bagi sastrawan yang mulai menulis pada tahun 50 –an.
Ajip rosidi menulis naskah yang berjudul “sumbangan terbaru sastrawan indonesia
kepada kesusastraan indonesia
3.
Para Sastrawan Angkatan 50
Sastrawan yang termasuk Angkatan 50 yaitu:
- Ajip Rosidi
Lahir di Jatiwangi, Cirebon 31 Januari 1938. Dia menjadi
Profesor Tamu pada Osaka Gaidai di Jepang untuk mengajarkan Indonesiologi dan
menerima Bintang Jasa The Order of the Secred Treasure Gold Ray with Neck
Ribbon pada tahun 2000.
Pada usia 13 tahun telah memimpin majalah sekolah dan telah
menerbitkan buku pada usia 16 tahun. Ia pernah menjadi redaktur majalah Suluh
Pelajar,Prosa,Majalah Sunda, Budaya Jaya, Direktur Penerbit Cupumanik dan Duta
Rakyat. Selain itu juga pernah menjadi dosen luar biasa FS UNPAD
Bandung,Direktur Penerbit Pustaka Jaya, Ketua IKAPI, Ketua DKJ, hingga meraih
Hadiah Sastra Nasional BMKN.
Sekitar awal tahun 90-an, Ajip Rosidi mempelopori pemberian
Hadiah Sastra Rencage. Penghargaan ini diberikan khusus kepada
sastrawan-sastrawati yang mempunyai prestasi luar biasa dalam bidang Sastra
Daerah yang diadakan setiap tahunnya sejak tahun 90-an sampai sekarang.
Karya-karya yang ditulisnya antara lain: kumpulan cerpen dan
novelet Tahun-tahun Kematian (1955), Kumpulan-kumpulan Sajak Pesta (1956), Di Tengah Keluarga (1956),
Sebuah Rumah buat Hari Tua (1957), Lutung Kasarung (1958), Cari Muatan (1959), terjemahannya bersama Matsuoka Kunio: Penari
Jepang (1985) dan Daerah Salju
(1987), dan kumpulan cerpen dan novel Yasunari Kawabata.
- Muchtar Lubis
Lahir di Padang, 7 Maret 1922 dan meninggal di Jakarta,2
Juli 2004. Muchtar Lubis terkenal sebagai wartawan yang pernah memimpin surat
kabar Indonesia Raya. Ia juga meraih hadiah Ramon Magsaysay untuk karya
jurnalistiknya ketika meliput Perang Korea. Yakob Utama dari Kompas
menjulukinya sebagai “Wartawan Jihad” karena kegigihannya memperjuangkan hak
azasi manusia.
Selain menulis karya sastra ia juga menulis buku ilmiah.
Diantaranya Manusia Indonesia (1977), Transformasi Budaya untuk Masa Depan dan buku tebal Catatan Subversif yang
ditulis berdasarkan pengalamannya ketika ditahan pada masa Orde Lama.
Mochtar Lubis juga seorang editor dan penerjemah beberapa
buku. Diantaranya Pelangi 70 Tahun S.T.A, Bunga Rampai Korupsi, Hati Nurani
Melawan Kezaliman: Surat-surat Bung Hatta kepada Presiden Sukarno, terjemahan
Tiga Cerita dari Negeri Dollar (kumpulan cerpen Jophn Steinbeck,dll,1950),
Kisah-kisah dari Eropa (1950), dan Cerita dari Tiongkok (1953).
Karya-karya lainnya antara lain kumpulan cerpen Si Jamal
(1951), Tak Ada Esok (1951), Catatan Perang Korea (1951), novel terkenal Tak
Ada Ujung (1952), Penyamun dalam Rimba (1972), Harimau! Harimau! (1975), Maut
dan Cinta (1977), Sinbad Sang Pelaut dan cerpen Kuli Kontrak (1982) serta
Bromocorah (1983).
Pada
tahun 1993 Mochtar Lubis menerima hadiah sastra Chairil Anwar.
- Toto Sudarso Bachtiar
Lahir di Cirebon,12 Oktober 1929. Penyair ini menulis
kumpulan Sajak Suara (1959) dan Etsa (1958). Di dalam kedua buku tersebut kata
dapat jumpai Pahlawan Tak Dikenal,Ibukota Senja, Gadis Peminta-minta, Tentang
Kemerdekaan, dan lain-lain.
Toto Sudarto juga menerjemahkan beberapa novel seperti Hati
yang Bahagia (karya Leo Tolstoy), Pelacur (karya J.P. Sartre,1954), Sulaiman
yang Agung (karya Harold Lamb, 1958), Pertempuran Penghabisan (karya Ernest
Hemingway, 1974), novel Bayangan Memudar (karya Breton de Nijs, 1975), drama
Sanyasi (karya Tagore, 1979), Malam Terakhir (karya Yushio Misima, 1979).
- A.A. Navis
Lahir di Padang Panjang, Sumatra Barat,17 November 1924 dan
meninggal disana pula pada tahun 2002. Pengarang alumni INS Kayutanam pernah
menjadi pemimpin redaksi harian Semangat Padang, Anggota DPRD Sumatra Barat,
Ketua Yayasan INS Kayutanam.
A.A. Navis terkenal sebagai pengarang kumpulan cerpen
Robohnya Surau Kami (1956), Bianglala (1963), Hujan Panas (1964), novel Kemarau
dan Gerhana (1967), buku nonfiksi Alam Terkembang Jadi Guru (1984). Cerpennya
yang berjudul Jodoh memenangkan sayembara Kincir Emas yang diadakan oleh Radio
Nederland.
A.A. Navis pernah menerima Hadiah Seni Depdikbud RI tahun
1980, Hadiah Sastra ASEAN (SEA Award) tahun 1972 dan Satya Lencana Kebudayaan
Pemerintah RI tahun 2000.
- Nugroho Notosusanto
Lahir di Rembang, 15 Juli 1931 dan meninggal di Jakarta, 3
Juli 1985. Pengarang yang pernah menjabat Mendikbud RI dan Rektor UI ini
menulis kumpulan cerpen Hujan Kepagian (1958), Tiga Kota (1959) dan Rasa
Sayange (1961). Buku-buku nonfiksi yang ditulisnya Sejarah Kemerdekaan
Indonesia, 30 Tahun Indonesia Merdeka dan Wawasan Almamater.
- Motenggo Busye
Lahir di Kupangkota, Lampung, 21 November 1937 dan meninggal
di Jakarta, 18 Juli 1999. Pengarang yang juga pelukis dan dramawan ini tetap
aktif menulis hingga akhir hayatnya. Ia juga seorang penyair. Buku kumpulan
puisinya berjudul Aurora Para Aulia.
Karya-karyanya yang berbentuk drama antara lain Malam
Jahanam (1958), Badai Sampai Sore, Keberanian Manusia, Perempuan Itu bernama
Barabah (1962), Nyonya dan Nyonya, Penganten Di Bukit Kera, Matahari dalam
Kelam, Sejuta Matahari, Nasehat untuk Anakku, Dosa Kita Semua,legenda Buang
Tonjam, Ahim Ha, Batu Serompak (1963), Titian Dosa di Atasnya (1964), novel
Trilogi Tante Maryati (1967), Sri Ayati, Retno Lestari dan novel Dia Musuh
Keluarga (1968).
5.
Sejarah
Sastra Periode 1953-1961
Sejarah Sastra Indonesia Periode 1953-1961
Sejarah
sastra Indonesia periode 1953-1961 mengalami krisis sastra dan adanya sastra
majalah.
1. Krisis Sastra Indonesia
Setelah Chairil Anwar meninggal
dunia, lingkungan kebudayaan ‘Gelanggang Seniman Merdeka’, seakan-akan
kehilangan vitalitas. Asrul Sani yang beberapa lamanya asik meniulis esai,
sudah jarang sekali menulis sajak atau hasil sastra lainnya. Demikian pula
Rivai Apin padahal kedua orang itu tadinya dianggap sebagai tumpuan- harap yang
akan melanjutkan kepeloporan Chairil.
Pada bulan April 19532 di Jakarta
diselenggarakan sebuah simposion tentang “kesulitan-kesulitan zaman peralihan
sekarang”. Dalam simposion yang diselenggarakan oleh golongan-golongan
kebudayaan Gelanggang, Lekra, Liga Komponis, PEN-Club Indonesia dan Pujangga
Baru itu telah dibahas kesulitan-kesulitan zaman peralihan, ditinjau dari sudut
sosiologi psikologi, dan ekonomi. Di antara para pembaca adalah St. Sjahrir,
Moh. Said, Mr. Sjafrudin Prawiranegra, Prof. Dr Slamet Iman Santoso, Dr J.
Ismael, S. Takdir Alisjahbana, Boejoeng Saleh, dan lain-lain. Dalam simposion
itu dilontarkan istilah “krisis akhlak”, “krisis ekonomi” dan berbagai krisis
lainnya.
Tahun 1953, di Amsterdam
diselenggarakan sebuah simposion tentang kesusastraan Indonesia. Antara lain
berbicara dalam simposion itu Asrul Sani, S. Takdir Alisjahbana, Prof. Dr.
Wertheim dan lain-lain. Di sinilah untuk pertama kali dibicarakan tentang
“impasse” (kemacetan) dan “krisis sastra Indonesia sebagai akibat dari gagalnya
revolusi Indonesia”. Tetapi persoalan tentang krisis baru menjadi bahan
pembicaraan yang ramai betul ketika terbit majalah Konfrontasi pada pertengahan
tahun 1954. Dalam nomer pertama majalah itu dimuat sebuah esai Sudjatmoko
(lahir di Sawahlunto tanggal 10 Januari 1922) berjudul ‘Mengapa Konfrontasi”.
Dalam karangan itu secara tandas dikatakan oleh penulisnya bahwa sastra
Indonesia sedang mengalami krisis.
2. Sastra Majalah
Roman-roman
karangan Pramoedya Ananta Toer yang dalam tahun-tahun 1950-51-52-53 selalu
muncul dengan judul-judul baru, tebal-tebal pula, dielakkan oleh para penuduh
itu dengan alas an bahwa roman-roman itu ditulis Pram dalam penjara, jadi
sebelum tahun 1950.
Sejak
tahun 1953, Balai Pustaka yang sejak zaman sebelum perang merupakan penerbit
utama buat buku-buku sastra, kedudukannya tidak menentu. Penerbit ini yang
bernaung dibawah kementrian P.P dan K.
Maka
aktivitas sastra terutama hanya dalam majalah-majalah saja seperti Gelanggang/
Siasat, Mimbar Indonesia, Zenith, Pudjangga Baru dan lain-lain. Karena sifat
majalah maka karangan-karangan yang mendapat tempat terutama yang berupa sajak,
cerpen dan karangan-karangan lain yang tidak begitu panjang. Sesuai dengan yang
dibutuhkan oleh majalah-majalah, maka tak anehlah jika para pengarangpun lantas
hanya mengarang cerpen, sajak dan karangan-karangan lain yang pendek-pendek.
Keadaan
seperti itulah yang menyebabkan lahirnya istilah “sastra majalah”. Istilah ini
pertama kali dilansirkan oleh Nugroho Notosusanto dalam tulisannya “situasi
1954” yang tadi sudah disebut, dimuat dalam majalah kompas yang dipimpinnya.
Pada
masa sekitar persoalan “krisis kesustraan Indonesia” diramaikan orang, ada pula
persoalan lain yang menjadi pokok perhatian pada peminat sastra. Yaitu,
persoalan lahirnya angkatan sesudah angkatan ’45, atau sesudah angkatan Chairil
Anwar. Dalam simposion sastra yang diselenggarakan oleh Fakultas Sastra
Universitas Indonesia tahun 1955, Harijadi S. Hartowardojo memberikan sebuah
prasaran yang berjudul ‘puisi Indonesia sesudah Chairil Anwar
Dalam
simposion sastra yang dieselenggarakan di Jakarta pada tahun 1960, Ajip Rosidi
memberikan sebuah prasaran tentang ‘Sumbangan
Angkatan Terbaru Sastrawaan Indonesia Kepada Perkembangan Kesustraan
Indonesia’/ dalam prasaran itu dicoba untuk mencari cirri-ciri yang membedakan
angkatan tebaru dengan angkatan ’45.
Lebih
lanjut dalam prasaaran itu dikemukakan bahwa setiap budaya para sastrawan yang
tergolong pada ‘angkatan baru’ merupakan sintensis dari pada dua sikap ekstrim
mengenai konsepsi kebudayaan Indonesisa. Yang pertama adalah, sikap yang berpendapat bahwa kebudayaan nosional
Indonesia itu merupakan persatuan dari puncak-puncak kebudayaan daerah. Yang
kedua adalah sikap yang berpendapat bahwa kebudayaan Indonsia adalah mendunia
dan mempersetan kebudayaan daerah. Maka sikap sintesisnya adalah Kebudayaan Nasiaonal
Indonesia akan berkembang berdasarkan kenyataan-kenyataan dalam masyarakat
Indonesia masa kini, yaitu adanya kebudayaan daerah dan adanya pengaruh dari
luar.
Dalam
seminar kesusastraan yang diselenggarakan Fakultas Sastra Universitas Indonesia
tahun 1963. Nugroho menekankan pada kenyataan bahwa para pengarang yang aktif
mulai menulis pada period 1950 adalah mereka yang telah mempunyai “sebuah
tradisi Indonesia sebagai titik tolak”. Sifat imitatif dari Belanda atu Eropah
berkurang.
Dalam
hal ini peranan majalah Kisah (1953-1956), tak bisa dibilang kecil, karena
banyak para pengarang yang muncul dalam periode ini mengemukakan tulisannya
yang mula-mula dalam majalah ini. Atau banyak pula pengarang yang sudah menulis
sebelum tahun 1953, kemudian mendapat kesempatan berkembang sebaik-baiknya
dalam majajalah Kisah.
Beberapa
pengarang yang ada pada periode 1953-1961 diantaranya ada:
1. Nugroho Notosusanto
2. A.A. Navis
3. W.S. Rendra
4. N.H. Dini
5. Nasjah Djamin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar